Jokowi Ketidakikhlasan Yang Terlihat: 'Tak Rela Dua Periode'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Selama dua periode menjabat sebagai Presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) membangun citra sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat melalui blusukan dan pembagian bantuan sosial (bansos).
Gaya kepemimpinannya yang sederhana dan terkesan merakyat menjadi ciri khas yang membedakannya dari para pendahulunya.
Namun, setelah lengser dari kursi kepresidenan, gerak-geriknya masih menjadi sorotan.
Tak lagi dikaitkan dengan kebijakan negara, aktivitasnya di ruang publik justru memunculkan spekulasi: apakah Jokowi benar-benar telah rela meninggalkan kekuasaan, ataukah ia masih ingin berada dalam orbit kekuatan politik?
Saat masih menjabat, blusukan Jokowi dikaitkan dengan pemantauan proyek infrastruktur, penyaluran bantuan sosial, serta interaksi langsung dengan masyarakat untuk mengetahui kondisi lapangan.
Namun, kini, kunjungannya ke berbagai daerah dan keterlibatannya dalam berbagai acara lebih sering dikaitkan dengan upaya mempertahankan pengaruh politik.
Kehadirannya di tengah warga tidak lagi bermakna sebagai bentuk tanggung jawab eksekutif, melainkan sebagai upaya untuk tetap relevan dalam konstelasi kekuasaan.
Yang lebih mencolok, Jokowi juga kerap menanggapi isu-isu nasional dengan nada yang masih terasa seperti seorang pemimpin aktif, bukan sebagai mantan presiden yang memberi ruang bagi penggantinya.
Hal ini memperkuat anggapan bahwa ia belum sepenuhnya ikhlas meninggalkan jabatannya.
Ia mungkin tidak secara eksplisit menyatakan keinginannya untuk menjabat tiga periode, tetapi gestur politiknya menunjukkan indikasi bahwa wacana itu bukan sesuatu yang ia tentang dengan tegas.
Di berbagai negara, seorang mantan presiden umumnya mengambil posisi sebagai negarawan, memberikan masukan strategis ketika diperlukan, atau mengabdikan diri dalam bidang sosial dan akademik. Namun, Jokowi tampak berbeda.
Alih-alih berjarak dari politik praktis, ia seolah masih ingin mengendalikan dinamika kekuasaan dari luar lingkaran resmi.
Ini semakin diperkuat dengan kiprah keluarganya di dunia politik, termasuk keterlibatan putranya, Gibran Rakabuming Raka, dalam pemilihan wakil presiden.
Jika benar Jokowi ingin tetap menjadi sosok berpengaruh di panggung politik, maka pertanyaannya adalah: untuk kepentingan siapa?
Apakah demi memastikan keberlanjutan programnya, ataukah demi mengamankan kepentingan pribadi dan kelompoknya?
Di tengah semua ini, publik tentu berharap bahwa transisi kepemimpinan berlangsung dengan sehat.
Seorang mantan presiden seharusnya mampu menunjukkan keteladanan dengan menjaga marwah demokrasi, bukan terus bermain di belakang layar.
Sejauh mana Jokowi bisa menerima bahwa masa pemerintahannya telah berakhir? Jawabannya akan ditentukan oleh langkah-langkahnya ke depan. ***
Sumber: FusilatNews