Indonesia Dikuasai Asing: Indonesia “Harga Mati” atau Indonesia “Mati”?
ISU tentang dominasi asing dalam berbagai sektor di Indonesia telah menjadi perdebatan panjang yang membakar emosi dan nasionalisme banyak pihak.
Di satu sisi, ada suara-suara yang berteriak lantang tentang bagaimana tanah air ini perlahan-lahan kehilangan kedaulatannya karena terlalu bergantung pada investasi dan pengaruh luar.
Di sisi lain, ada argumen bahwa keterbukaan terhadap dunia luar adalah harga yang tak terhindarkan dalam era globalisasi.
Lantas, di persimpangan ini, mana yang harus dipilih?
Apakah Indonesia harus bertahan mati-matian menjaga kedaulatan mutlak, atau menerima kenyataan bahwa kemitraan global adalah bagian dari strategi bertahan hidup di dunia yang terus berubah?
Indonesia, dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, sejak lama telah menjadi incaran banyak negara dan perusahaan multinasional.
Sejarah mencatat bagaimana eksploitasi asing di masa kolonial menyebabkan penderitaan panjang bagi rakyat Nusantara.
Namun, setelah lebih dari tujuh dekade merdeka, apakah kita benar-benar telah membebaskan diri dari bayang-bayang kolonialisme ekonomi?
Penguasaan asing terlihat dalam berbagai sektor strategis. Mulai dari pertambangan, perbankan, hingga infrastruktur, investor asing sering kali mendapatkan porsi kepemilikan yang dominan.
Sementara itu, perusahaan dalam negeri kerap terjebak dalam peran sebagai pemain kecil di negeri sendiri.
Tak heran bila muncul kritik bahwa bangsa ini telah menyerahkan kendali ekonominya kepada pihak luar.
Namun, apakah keterlibatan asing ini sepenuhnya negatif?
Dalam beberapa kasus, kehadiran investor luar membawa teknologi, pengetahuan, dan akses pasar yang sulit dicapai secara mandiri.
Pembangunan infrastruktur besar-besaran seperti jalan tol, pelabuhan, dan bandara sering kali tidak mungkin terwujud tanpa aliran dana dari luar.
Apalagi, dalam era kompetisi global, menutup diri dari dunia internasional justru dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Pertanyaannya adalah bagaimana menyeimbangkan keterbukaan dan kedaulatan. Apakah kita memiliki regulasi yang cukup kuat untuk melindungi kepentingan nasional?
Apakah pemerintah memiliki strategi yang jelas untuk memastikan bahwa keterlibatan asing tidak mengorbankan kesejahteraan rakyat?
Jika tidak, maka tuduhan bahwa kita kembali ke zaman penjajahan dengan wajah baru mungkin tidak sepenuhnya salah.
Di sisi lain, nasionalisme yang berlebihan juga berpotensi kontraproduktif. Jika kita memaksakan kebijakan proteksionis tanpa mempertimbangkan dinamika global, kita bisa tertinggal jauh dalam persaingan ekonomi.
Dunia bergerak cepat, dan negara-negara yang tidak mampu beradaptasi akan terpuruk dalam kemiskinan dan keterbelakangan.
Solusi dari dilema ini adalah menemukan titik keseimbangan antara mempertahankan kedaulatan dan menerima keterbukaan yang terukur.
Kita harus memiliki visi yang berfokus pada pembangunan jangka panjang, di mana sumber daya manusia menjadi prioritas utama.
Dengan pendidikan yang baik, teknologi yang dikuasai sendiri, dan inovasi yang berkembang, ketergantungan terhadap asing dapat dikurangi secara bertahap.
Pada akhirnya, pertanyaan besar yang harus dijawab oleh bangsa ini adalah: apakah kita memilih untuk berjuang dengan harga mati menjaga semua aset tanpa kompromi, atau kita memilih untuk mati perlahan karena stagnasi akibat ketertutupan terhadap dunia luar? Jawabannya tidak pernah sesederhana hitam atau putih.
Yang pasti, masa depan Indonesia bergantung pada kemampuan kita untuk memadukan kemandirian dan kolaborasi dalam mengarungi gelombang globalisasi. ***