'Waspada Gibran Jadi Presiden Saat Hukum Belum Bisa Dipercaya'
Oleh: Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Saat ini, sejarah pemerintahan Republik Indonesia telah memasuki babak baru dengan transisi dari Presiden RI ke-7, Joko Widodo, kepada Presiden RI ke-8, Prabowo Subianto.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan di sektor kebudayaan politik, ekonomi, dan terutama penegakan hukum (law enforcement) kontemporer masih mencerminkan pola-pola era Jokowi. Hal ini terlihat dari beberapa indikator berikut:
1. Keberlanjutan Wajah Lama di Kabinet
Beberapa menteri masih diisi oleh figur yang sama dari pemerintahan sebelumnya, mencerminkan kesinambungan kebijakan tanpa terobosan signifikan.
2. Kebijakan Ekonomi Populis dan Pragmatis
Kebijakan ekonomi yang pragmatis, seperti usulan Sri Mulyani untuk menaikkan pajak menjadi 12%, juga menimbulkan pertanyaan.
Bahkan, Ketua DPD mengusulkan agar dana Zakat, Infak, dan Sedekah (ZIS) digunakan untuk mendanai program “Makan Bergizi Gratis” (MBG), salah satu janji kampanye Prabowo, dengan alasan bahwa negara belum mampu menutupi kebutuhan total untuk program tersebut.
3. Disfungsi Penegakan Hukum
Lembaga-lembaga penegak hukum, seperti Polri, Kejaksaan, KPK, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi, menunjukkan disfungsi tugas dan kewenangan.
Hal ini diduga karena adanya “kontrak politik jabatan,” di mana penegakan hukum hanya diarahkan kepada kelompok tertentu sesuai pesanan.
Contohnya adalah kasus-kasus yang melibatkan Gibran, Kaesang, Bobby Nasution, serta Firli Bahuri yang telah berstatus tersangka tetapi tidak ditahan.
Kasus-kasus lainnya, seperti pinjaman online yang melibatkan pejabat dan artis, juga menguap tanpa kejelasan.
Dengan kondisi ini, bangsa ini harus segera mengantisipasi risiko keterpurukan yang lebih dalam.
Pola budaya politik yang didominasi pragmatisme semu harus diubah sebelum bangsa ini terjebak lebih jauh ke dalam krisis multidimensi.
Sejalan dengan hukum ketatanegaraan, apabila Presiden Prabowo berhalangan menjalankan tugasnya akibat kondisi tertentu (“force majeure”), maka secara otomatis Gibran akan menggantikan posisinya sebagai presiden.
Namun, hal ini menimbulkan kekhawatiran besar mengingat rekam jejak Gibran yang dinilai tidak patut dan tidak mencerminkan adab serta budaya bangsa.
Indikasi Ketidakpatutan Gibran Sebagai Presiden
Figur Gibran memiliki sejumlah indikator yang menunjukkan ketidakpatutannya, termasuk adanya dugaan kuat praktik KKN dalam perjalanan politiknya menuju Pilpres 2024. Selain itu, perilaku Gibran yang tercermin melalui akun media sosial “Fufu Fafa” dinilai jorok, amoral, dan bahkan menunjukkan potensi abnormal secara psikologis.
Langkah Strategis yang Harus Segera Diambil
Untuk mengatasi ancaman ini, Presiden Prabowo harus mengambil langkah strategis melalui hak prerogatifnya, termasuk:
- Mengganti Kapolri dengan Wakapolri yang lebih kompeten sesuai jenjang karier;
- Mengganti Ketua KPK beserta jajarannya dengan figur yang lebih independen dan kredibel;
- Mengganti Jaksa Agung dengan tokoh yang memiliki rekam jejak baik di mata publik;
- Mengganti Ketua Mahkamah Konstitusi dengan hakim yang dihormati masyarakat hukum;
- Berkoordinasi dengan Megawati Soekarnoputri serta menerima masukan dari tokoh-tokoh bangsa, ulama, dan akademisi lintas disiplin yang mayoritas kritis terhadap pemerintahan sebelumnya.
Langkah-langkah ini diharapkan dapat memitigasi ancaman “darurat Jokowi dan polemik Gibran,” termasuk pengaruh oligarki politik yang merusak tatanan bangsa.
Dengan demikian, Prabowo Subianto dapat menjalankan tugasnya secara optimal, membawa bangsa ini menuju cita-cita besar yang melintasi sekat SARA, dan mewujudkan harapan rakyat Indonesia. ***