DEMOCRAZY.ID - Henri Kusuma selaku Tim Advokasi Warga Desa Kohod, mengungkap Kepala Desa Kohod bawa alat berat dan mengurug paksa tanah desa untuk reklamasi.
Dari informasi terkini terkait pembongkaran pagar laut di perairan utara Kabupaten Tangerang, ternyata muncul fakta baru.
Warga melayangkan protes karena merasa nama mereka dicatut dalam surat kepemilikan tanah.
Dugaan ini mengarah pada keterlibatan oknum dari Pemerintah Kabupaten Tangerang.
Salah seorang Warga Kohod mengungkap bahwa namanya dicatut namanya untuk penerbitan sertifikat HGB tanah di laut seluas 14.978 meter persegi.
Henri Kusuma selaku Tim Advokasi Warga Desa Kohod juga mengungkap awalnya ada 120 warga yang menggugat, namun setelah ada intimidasi sekarang tinggal 55 warga/KK yang masih melakukan gugatan.
SIMAK SELENGKAPNYA VIDEO (ada 3 video)
[VIDEO]
Wah terbongkar ....kuasa hukum ungkap Tanah Desa Kohod di keruk "Paksa " Kades demi Reklamasi pic.twitter.com/YsrEU5GbRf
— Yurisa Agustina Samosir (@Yurissa_Samosir) January 29, 2025
Pengakuan Mantan Mandor Pagar Laut Tangerang: Dapat Tugas Pasang '20 Hektare' dari Oknum Aparat Desa
DEMOCRAZY.ID - Pengakuan mantan mandor pemasang pagar laut TANGERANG yang dapat tugas pasang 20 hektare oleh oknum aparat desa.
Akan tetapi setelah melakukan pekerjaanya, mantan mandor tidak mendapatkan bayaran dan telah berusaha menagih janji pada aparat desa yang memberinya pekerjaan untuk pemasangan pagar laut di pesisir Tangerang.
Dalam pengakuannya ke Disway.id, mantan mandor tersebut menjelaskan jika dirinya mengerjakan pemasangan pagar laut sepanjang 5.000 meter persegi.
Menurutnya pekerjaan pemasangan pagar laut tersebut dilakukan pada 2024 lalu.
“Pengerjaan pagar laut yang saya komandoi bersama kurang lebih 10 pekerja dan saya juga ikut turun tangan,” ungkap mantan mandor yang engan namanya disebutkan ini.
Mantan mandor tersebut diperintahkan oleh oknum aparat desa untuk memasang pagar laut sekitar 20 hektare dengan nominal upah sesuai surat yang ada di perjanjian.
Akan tetapi harapan mantan mandor mendapatkan upah tinggal harapan dan hingga saat ini gajinya tak kunjung dibayarkan oleh oknum tersebut.
“Janjinya saya akan diberi gaji oleh oknum itu, tapi setelah selesai bekerja selama sebulan 10 hari, saya tidak dibayar,” terangnya.
Mantan mandor sempat merasa geram karena keringatnya tak kunjung dibayar, malahan saat menagih, oknum aparat desa terus berdalih dengan berbagai alasan.
Sang mandor juga mencari berbagai informasi terkait pembayarannya, bahkan dirinya langsung menanyakan pada pihak PT atau perusahaan yang memberi pekerjaan pemasangan pagar laut.
Mantar mandor itu menjelaskan jika dirinya mendapatkan pekerjaan memasang pagar laut hingga 20 hektare.
Akan tetapi saat setengan perjalanan pekerjaan pemasangan pagar lau, dirinya menjadi curiga dan mencium adanya kejanggalan.
Adapun besaran gaji yang diterima oleh mandorl lainnya perminggu untuk 10 pekerja sebesar Rp5 juta dengan pengerjaan selama 8 minggu.
Menurutnya, gaji yang diperolehnya tidak sama dengan mendor lain dan bayarannya lebih rendah.
Meskipun sempat menanyakan pada pihak PT, namun mantan mandor engan menyebutkan nama PT yang memberi pekerjaan melalui oknum aparat desa tersebut.
Tidak hanya itu, mantan mandor juga menjelaskan jika dirinya tidak mengetahui soal penerbitan Sertifkat Hak Guna Bangunan (SGHB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM).
Sedangkan dalam sebuah video yang beredar di akun TikTok @6angsyam memperlihatkan sejumlah pekerja tengah merapikan tumpukan bambu.
Salah satu pekerja mengatakan bahwa bambu tersebut akan dipergunakan untuk pemasangan pagar laut di perairan Pulau Cangkir.
Bahkan pekerja itu membenarkan saat ditanyai apakah yang memberi perintah dirinya dan pekerja lain untuk bangun pagar laut adalah Agung Sedayu Group.
Warga Desa Kohod Akui 'Diintimidasi' di Polres, Tokoh Pemuda Banten: Gak Selesai di Lapangan, Lanjut Ditekan di Kantor!
DEMOCRAZY.ID - Berbagai cerita terkait pengusaan tanah masyarakat atas proyek PIK 2, salah satunya warga Desa Kohod akui diintimidasi di Polres.
Warga Desa Kohod yang tidak mau disebutkan namanya ini mengatakan bahwa dirinya dan warga lainnya juga telah berusahan untuk mempertanyakan pencaplokan tanah mereka.
Adapun pihak-pihak yang melakukan pencaplokan tanah mereka adalah pihak ketiga yang menggunakan nama Agung Sedayu.
Warga tersebut mengakui jika dirinya pernah dipanggil ke Polres dan setelah berada di sana mereka mendapatkan intimidasi
“Diintimidas, di Polres, kriminalisasi kami,” paparnya pada Disway.id.
“Kami yang nama tadi hidup disini tenang, damai, tentram, saat datang pengembang, akhirnya kami apa sekarang?,” paparnya.
“Rumah kami lihat tuh yang dihancur-hancurin sama Satpol PP, sama Bina Marga. Banyak yang di rubuhkan, digusur, diancurin, digusur, tanpa ganti rugi,” jelasnya.
Selain itu warga lain yang bernama Haji Surdian dalam potcast Amhad Khozainuddin di akun@realitatv menyampaikan bahwa tanahnya dikuasai oleh pengembangan PIK 2.
Dirinya mengakui sejak tanahnya seluas 28 hektare dicaplok pada 2019 lalu hingga saat ini belum mendapatkan bayaran.
Bahkan saat ini kondisi tanahnya yang berada di Salembaran Jaya telah menjadi perumahan di PIK 2.
"Saat saya tanyakan terkat pembayaraan tanah, mereka bilangnya sabar-sabar saja," ungkapnya.
Haji Surdin juga mengakui diirnya telah melayangkan aduan ke Kantor Desa, namun tidak mendapatkan tanggapan apapun.
Selain itu diirnya juga mengakui takut untuk terus mendesak ke pihak pengembang menyelesaikan urusan tanahnya yang telah dibangun tersebut.
Anak dari Haji Surdin mejelaskan jika mereka juga takut melaporkan peristiwa ini ke pihak kepolisian karena banyak cerita saat melapor malahan masuk penjara.
Intimidasi yang didapat warha ini juga senada dengan apa yang dijelaskan oleh Iwan Darmawan selaku tokoh pemuda Banten dalam podcast Abraham Samad Speak UP.
Iwan menyampaikan bahwa tanah warga ditawar dengan harga yang tidak manusiawi dan jika menolak maka mereka didatangi preman hingga aparat desa.
Menurut Iwan warga yang menolak juga dicari kesalahan bahkan sampai ada yang dipenjara dan ditakuti hingga mereka melepas tanahnya.
“Kurungin, masih hidup lu, itu bahasa-bahasa yang mereka sampaikan,” papar Iwan.
“Itu bahasanya Ali Hanafi, jika tidak bisa diselesaikan di bawah, warga dibawa ke kantor kemudian di sanalah mereka ditekan,” tambahnya.
Iwan menjelaskan bahwa Ali Hanafi merupakan orang kepercayaan Aguan yang merupakan bagian dari korporasi.
Sumber: Disway