Politisasi Tragedi: 'Trump, Prabowo, dan Kepentingan Kekuasaan'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Kecelakaan tragis yang melibatkan pesawat American Airlines dan helikopter Black Hawk di Washington kembali mengguncang dunia penerbangan Amerika Serikat.
Insiden ini tidak hanya menyoroti aspek teknis dan investigasi penyebab kecelakaan, tetapi juga menjadi bahan perdebatan politik yang melibatkan mantan Presiden Donald Trump.
Dalam pernyataannya, Trump menyalahkan kebijakan Presiden Joe Biden dan mantan Presiden Barack Obama, menuding bahwa kebijakan mereka telah menyingkirkan karyawan kompeten dari Administrasi Penerbangan Federal (FAA) demi agenda politik.
Trump dengan tegas menyatakan bahwa keselamatan harus diutamakan di atas segalanya, berbeda dengan kebijakan Demokrat yang ia nilai lebih mengedepankan ideologi ketimbang kompetensi.
Dengan retorika khasnya, ia menuduh bahwa kebijakan yang disebutnya sebagai “terlalu putih” telah membuat FAA kehilangan tenaga kerja berkualitas.
Di sisi lain, penyelidikan terkait kecelakaan ini masih berlangsung, dan berbagai pihak menyerukan pendekatan yang lebih objektif ketimbang menjadikannya sebagai senjata politik.
Namun, pendekatan Trump dalam menghubungkan kecelakaan dengan kebijakan pemerintahan sebelumnya bukanlah hal baru dalam lanskap politik Amerika.
Politisasi tragedi sering kali digunakan untuk membangun narasi yang menguntungkan pihak tertentu, baik untuk meraih dukungan politik maupun untuk menggiring opini publik.
Fenomena serupa juga terlihat dalam dinamika politik di Indonesia, di mana kebijakan penerus sering kali dianggap sebagai kelanjutan atau koreksi terhadap pemerintahan sebelumnya.
Di Indonesia, Presiden Prabowo Subianto menyatakan keinginannya untuk melanjutkan berbagai kebijakan Presiden Joko Widodo.
Pernyataan ini memunculkan spekulasi bahwa Prabowo tidak hanya ingin meneruskan kebijakan strategis Jokowi, tetapi juga memperkuat dominasi oligarki yang telah mengakar dalam sistem politik Indonesia.
Banyak pihak menilai bahwa kesinambungan kebijakan ini tidak sekadar didasarkan pada kepentingan nasional, tetapi juga pada kepentingan segelintir elite ekonomi dan politik yang mengendalikan kekuasaan.
Kesamaan pola antara Trump dan Prabowo dalam membangun narasi politik cukup mencolok.
Trump menggunakan insiden kecelakaan pesawat untuk menyalahkan Demokrat dan menonjolkan keunggulan kebijakannya sendiri, sementara Prabowo menegaskan keberlanjutan kebijakan Jokowi demi menjaga stabilitas dan kepentingan oligarki.
Keduanya memanfaatkan isu-isu besar untuk memperkuat legitimasi politik masing-masing.
Dalam konteks demokrasi, keselamatan penerbangan maupun kebijakan ekonomi dan politik haruslah didasarkan pada pertimbangan rasional dan objektif, bukan sekadar alat untuk kepentingan politik sesaat.
Tragedi seperti kecelakaan pesawat di AS seharusnya menjadi momen refleksi bagi para pemimpin untuk memperbaiki sistem, bukan sekadar ajang saling menyalahkan atau membangun narasi politik.
Baik di AS maupun Indonesia, politik yang mengutamakan kepentingan elite ketimbang kesejahteraan masyarakat luas hanya akan memperpanjang masalah tanpa ada solusi nyata.
Oleh karena itu, publik harus lebih kritis dalam melihat setiap pernyataan politik yang muncul pasca-tragedi, serta memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar membawa manfaat bagi banyak orang, bukan hanya untuk kepentingan segelintir kelompok berkuasa. ***
Sumber: FusilatNews