CATATAN PERISTIWA POLITIK

'Peristiwa Malari dan Rivalitas Elite Militer'

DEMOCRAZY.ID
Januari 14, 2025
0 Komentar
Beranda
CATATAN
PERISTIWA
POLITIK
'Peristiwa Malari dan Rivalitas Elite Militer'


'Peristiwa Malari dan Rivalitas Elite Militer'


Peristiwa Malari selalu aktual, mengingat gerakan mahasiswa tahun 1974 telah menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya untuk terus melawan rezim Orde Baru, hingga Soeharto benar-benar turun pada Mei 1998. 


Sebagai sebuah gerakan mahasiswa, Malari memunculkan seorang tokoh legendaris, yaitu Hariman Siregar, yang menjadi inspirasi bagi aktivis gerakan mahasiswa generasi berikutnya.


Hariman Siregar sendiri adalah pribadi yang unik, artinya orang dengan nama sebesar dia, Hariman tetap bisa menjaga jarak dengan kekuasaan. 


Kemampuannya menjaga jarak dengan kekuasaan menjadikannya figur independen, dan selalu bebas menyampaikan kritik pada penguasa, pada rezim apa pun.


Pada rezim Prabowo hari ini, bahkan Peristiwa Malari menemukan aktualitasnya yang lain. Bila ditelusuri lebih jauh, sejatinya antara Prabowo dan Hariman Siregar masih berasal dari lingkaran atau komunitas yang sama, yaitu keluarga besar PSI (Partai Sosialis Indonesia). 


Prabowo dan Hariman sama-sama berkerabat dengan tokoh PSI, Prabowo melalui ayahnya (Pak Cum), dan Hariman melalui ayah mertuanya (Sarbini Sumawinata). 


Pak Cum dan Sarbini adalah generasi pertama ekonom Indonesia pascakemerdekaan, dan keduanya bersahabat erat, yang salah satu jejaknya masih kokoh sampai sekarang, yakni FEB UI (d/h FEUI), yang pada suatu masa pernah mendapat julukan The Jakarta School of Economics, sebutan yang terinspirasi dari The London School of Economics (LSE).


Seandainya Hariman bersedia merapat ke Istana, untuk bergabung dengan kekuasaan, bukanlah hal yang sulit. 


Melihat latar belakang kekerabatan seperti itu, bisa jadi akses Hariman ke Prabowo masih lebih kuat dibanding (sebut saja) figur Sufmi Dasco Ahmad (Partai Gerindra) atau Kaesang Pangarep (Ketua Umum PSI dan calon Wapres 2029), yang terbilang politisi generasi baru. 


Hubungan Hariman dan Prabowo berdasarkan prinsip kesetaraan, seperti hubungan Prabowo dan dua orang sahabatnya sejak taruna Akmil, yakni Glenny Kairupan (Komisaris PT Garuda Indonesia) dan Sjafrie Sjamsoeddin (Menhan).


Rivalitas Elite Militer


Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974) sampai sekarang masih menyimpan sejumlah misteri. 


Misteri dimaksud berdasar narasi yang beredar, bahwa Peristiwa Malari bukan murni gerakan mahasiswa, namun lebih disebabkan adanya konflik elite, dalam hal ini konflik antara dua tokoh militer, yaitu Mayjen Ali Murtopo (meninggal Mei 1984) dan Jenderal Soemitro (meninggal Mei 1998).


Wacana yang berkembang selama ini lebih menonjolkan konflik antara Ali Murtopo dan Soemitro, sementara aspek gerakan mahasiswa seolah dalam posisi sekunder. 


Setelah sekian lama, baru muncul tafsir bahwa wacana yang seolah “merendahkan” gerakan mahasiswa tidak lepas dari kepentingan rezim Orde Baru.


Sebagaimana ungkapan selama ini, bahwa sejarah selalu ditulis pihak yang menang, dalam hal ini rezim Soeharto.


Rezim Orde Baru memiliki kepentingan, lebih tepatnya kekhawatiran, agar Peristiwa Malari jangan sampai menjadi inspirasi bagi gerakan mahasiswa generasi berikutnya, untuk sama-sama melawan rezim Soeharto. 


Secara sengaja warna gerakan mahasiswa disamarkan, diganti dengan konflik elite militer, untuk memberi kesan betapa kuatnya kelompok militer. 


Dibelokannya informasi seperti ini adalah hal yang biasa saat itu, sebagai cara Soeharto untuk mengintimidasi rakyatnya, atau kelompok masyarakat sipil lainnya, agar jangan coba-coba melawan rezim yang sedang menyusun kekuatannya, meski pada akhirnya kelak tumbang juga pada Mei 1998.


Penguasa saat itu, maupun para pelaku sendiri, sengaja menyamarkan motivasi gerakan. Penguasa memiliki kepentingan, jangan sampai gerakan Malari menjadi semacam lokomotif bagi gerakan perlawanan (terhadap Soeharto) secara bergelombang. 


Sementara bagi para pelaku, sengaja menyamarkan motivasi yang sebenarnya, sekadar untuk menghindari tekanan yang lebih berat, namun pada akhirnya publik bisa mengerti.


Peristiwa Malari bisa jadi masih menyisakan misteri, namun lewat Malari pula, ada hikmah lain yang diperoleh bangsa ini, ketika Benny Moerdani bisa muncul kembali di Jakarta, setelah cukup lama bertugas di Kuala Lumpur dan Seoul. 


Sejak dekade sebelumnya, nama Benny sudah dikenal publik, salah satunya karena Benny memiliki akses pada Presiden Soekarno. 


Sebagai perwira, Benny memang fenomenal, karena bisa dekat dengan Soekarno dan Soeharto dalam satu tarikan nafas, sementara Soekarno dan Soeharto sendiri dalam posisi diametral.


Saat peristiwa Malari meledak, posisi Benny masih di Seoul. Berdasar rekomendasi Ali Murtopo, Benny dipanggil ke Jakarta oleh Soeharto, sebagai “jalan tengah” mengatasi rivalitas antara Ali Murtopo dan Soemitro. 


Dalam waktu relatif singkat, Benny selanjutnya menjadi sandaran politik Soeharto, hingga mencapai puncaknya saat dia dilantik sebagai Panglima TNI (d/h Panglima ABRI) tahun 1983.


Hampir semua peristiwa besar di Tanah Air tidak bisa dipisahkan dari konflik internal militer, termasuk Gerakan Reformasi 1998. 


Gerakan Reformasi 1998, yang berujung lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, merupakan “kolaborasi” dari dua gerakan atau medium, yakni konflik internal militer dan gerakan mahasiswa, yang di antara keduanya bisa jadi tidak terhubung secara langsung.


Sebagaimana peristiwa-peristiwa sebelumnya, semisal gerakan mahasiswa 1966 dan Peristiwa Malari (1974), yang selama ini selalu diklaim sebagai capaian aktivis gerakan mahasiswa, juga diwarnai konflik militer, bahkan sejatinya (konflik itu) lebih signifikan. 


Seiring berjalannya waktu, posisi konflik militer terkait peristiwa mulai dilupakan publik, sementara di saat yang sama, para tokoh gerakan mahasiswa sangat menikmati posisinya sebagai figur publik jauh hari selepas peristiwa.


Kita lihat saja pada Reformasi 1998, yang sangat kental diwarnai oleh konflik antara Jenderal Wiranto (Akmil 1968, Panglima TNI saat itu) dan Letjen Prabowo Subianto (Akmil 1974, Pangkostrad), dua figur militer yang sama-sama dekat dengan Soeharto. 


Singkatnya, konflik saat itu sebenarnya segitiga: kubu Wiranto, kubu Prabowo, dan kubu Benny Moerdani.


Sebagaimana yang sudah-sudah, konflik internal militer segera dilupakan publik, itu karena tiga pihak yang berkonflik pada tahun 1998 lalu, hari ini terlihat solid dan berkumpul di sekitaran Presiden Prabowo. 


Figur yang dianggap representasi kubu Benny Moerdani, yakni Agum Gumelar Luhut Binsar Panjaitan, juga sudah duduk tenang, terlebih saat Agum Gumelar bisa menitipkan menantunya untuk masuk kabinet. 


Elite militer ini seolah tidak mempedulikan lagi konflik mereka pada tahun 1998, kendati konflik mereka hampir saja membakar habis Jakarta, dan memakan sejumlah korban rakyat biasa.


Adalah hal yang biasa ketika Prabowo, Wiranto, dan Luhut Panjaitan, saling jabat erat hari-hari ini, setidaknya saat diambil gambarnya oleh pewarta foto. 


Dengan kata lain, citra yang dibangun selama ini, bahwa seolah ada konflik laten antara LBP (sebagai proxy Benny Moerdani) dan Prabowo, ternyata cuma kisah abal-abal.


Konflik parsial semacam itu, secara otomatis bakal gugur ketika menghadapi kekuatan lain, dalam hal ini rivalitas laten antara militer dan polisi. 


Seandainya ada konflik pun, konflik antara Luhut dan Prabowo belum sebanding dengan apa yang dulu pernah terjadi pada Ali Murtopo dan Soemitro pada Peristiwa Malari, yang masih sedikit ada muatan ideologisnya.


Gerakan Mahasiswa dan Kekuasaan


Dari sekian generasi gerakan mahasiswa, Generasi 66 termasuk generasi yang beruntung, sebab durasi perjuangannya relatif cepat, dan cepat pula menuai hasil. 


Bila awal perjuangan Generasi 66 dihitung sejak lahirnya Tritura (tri tuntutan rakyat) tanggal 10 Januari 1966, dua bulan kemudian generasi ini sudah mencapai kesuksesan, ditandai dengan lahirnya Supersemar, 11 Maret 1966, tonggak bagi berkuasanya Jenderal Soeharto.


Beda dengan generasi sesudahnya, yakni Generasi 74, Generasi 78, dan seterusnya, yang kemunculannya berdasar sikap perlawanan terhadap rezim yang sedang berkuasa. Menjadikan rentang waktu perjuangan mereka juga menjadi lebih lama. 


Ketika Soeharto benar-benar jatuh pada 1998, figur seperti Hariman Siregar atau Indro Tjahjono (Gerakan 1978), seolah telah kehilangan momentum untuk menjadi pejabat publik, mengingat termasuk senior dari segi usia.


Demikian juga dengan Generasi 98, yang sebagian dari mereka sudah masuk kabinet sekarang, berarti ada penantian sekitar 26 tahun. 


Menjadi menteri pada kabinet Presiden Prabowo seolah merupakan hak sejarah Generasi 98, bila ukurannya adalah “keringat dan darah” dalam perjuangan. 


Kalau Generasi 66, yang tidak begitu berkeringat saja, bisa mendudukkan eksponennya berkali-kali dalam kabinet, tentu Generasi 98 lebih pantas lagi.


Salah satu cara untuk melanjutkan gerakan mahasiswa adalah memastikan kapasitas pendidikan. Aktivis gerakan mahasiswa, khususnya dari masyarakat bawah, harus sekolah yang setinggi-tingginya, agar memperoleh akses menuju kekuasaan. 


Sudah menjadi hukum besi sejarah, bahwa publik lebih percaya pada omongan orang yang berpendidikan tinggi.


Untuk menjadi pejabat publik atau tokoh masyarakat, faktor pendidikan sangatlah membantu. Kita bisa belajar dari keluarga penguasa masa lalu, (khususnya) Soeharto, yang sekolah anak-anaknya tidak terlalu berhasil, ketika dana untuk sekolah begitu melimpah. 


Sungguh ironis memang, sementara Soeharto sendiri menyelenggarakan program beasiswa Supersemar, yang telah menolong ribuan mahasiswa kurang mampu, untuk menjadi sarjana.


Adalah faktor pendidikan sebagai penentu, yang paling berperan menuju alam kemerdekaan. Tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Sutan Sjahrir, dan seterusnya, adalah generasi terdidik dan senang membaca, di awal Abad 20. 


Saat menjadi Wapres pada tahun 1945, latar belakang pendidikan Hatta sudah setara S-2 (calon doktor), sementara Wapres sekarang cukup berijazah diploma, namun tetap didukung publik, utamanya di luar wilayah Jabodetabek.


Sumber: INILAH

Penulis blog