HUKUM POLITIK

Pakar HTN UGM Heran: MK Baru Sadar PT 20 Persen Salah Usai 33 Kali Digugat, Kenapa?

DEMOCRAZY.ID
Januari 12, 2025
0 Komentar
Beranda
HUKUM
POLITIK
Pakar HTN UGM Heran: MK Baru Sadar PT 20 Persen Salah Usai 33 Kali Digugat, Kenapa?



DEMOCRAZY.ID - Pakar hukum tata negara (HTN) Zainal Arifin Mochtar mempertanyakan mengapa Mahkamah Konstitusi (MK) baru bisa menghapus peraturan ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT), sebesar 20 persen setelah permohonan gugatan ke-33. Dia mengatakan MK cukup terlambat menyadari bahwa aturan tersebut salah.


Mulanya, Zainal membeberkan pengalamannya menguji salah satu disertasi milik mahasiswa Universitas Brawijaya. 


Disertasi tersebut membahas mengenai implementasi Presidential Threshold selama ini. 


“Dia mengkompilasi semuanya perkara,” kata Zainal dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (12/1/2025).


Dalam disertasi tersebut, Zainal menemukan tidak ada perbedaan permohonan pencabutan yang sudah sejak lama diajukan hingga saat ini.


Bahkan, pengajuan gugatan tersebut sudah mencapai lebih dari 30 permohonan.


“Nah di situ sebenarnya kalau saya baca disertasi dan saya baca berbagai perkara, to be honest, nyaris tidak ada lagi alasan baru yang dibawa ke MK, enggak ada. Semua permohonan, semua segi, semua analisis itu sudah dituangkan dalam sekitar 30-an permohonan itu. Enggak ada yang baru ini,” ujarnya.


Zainal lantas mengatakan jika hanya satu perbedaan yang berhasil ia temukan adalah mengenai pemilihan waktu kapan gugatan tersebut diajukan ke MK.


“Kalau kita baca apa yang membedakan dari berbagai permohonan sebelumnya itu hanya soal timingnya saja. Dia mengatakan bahwa sekarang saatnya sudah ada praktik yang keliru dari Presidential Threshold dan tolong diputus sekarang. Itu saja bedanya,” ungkap akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) menambahkan.


Oleh karena itu, dia mempertanyakan mengapa MK baru sadar jika aturan ambang batas pencalonan keliru.


Ia pun mengaku heran bagaimana sebuah lembaga besar yang menerima gugatan tersebut mulai dari tahun 2014 hingga 2024 baru memahami kesalahannya.


“Itu sebabnya saya sering mengatakan apa emang apa memang MK membutuhkan 33 permohonan baru kemudian sadar bahwa praktik presidensial threshold menyimpang. Betulkah MK membutuhkan 33 permohonan baru kemudian dia sadar ini praktiknya keliru?” tanyanya.


Sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi menghapus ketentuan ini, usai mengabulkan gugatan bernomor  62/PUU-XXII/2024 yang digelar di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).


"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK, Suhartoyo saat membacakan putusan.


Dia menjelaskan, dikabulkan permohonan tersebut karena norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan UUD 1945.


Adapun Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 berbunyi, "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya."


Pada poin putusan berikutnya Suhartoyo menyatakan, "pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau suara sah secara nasional."


Dalam proses putusan, dua dari sembilan hakim konstitusi, yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic dinyatakan memiliki pendapat berbeda. 


Menurut Suhartoyo, keduanya menyatakan pemohon tak memiliki legal standing.


Putusan ini jadi kado tahun baru bagi partai politik yang tak memiliki perolehan suara sebanyak partai besar pada pemilu sebelumnya, tetapi ingin mencalonkan jagoannya.


Sumber: Inilah

Penulis blog