MK dan KPK: ‘Anak Kandung’ Jokowi Dalam Politik Nepotisme?
Oleh: Damai Hari Lubis
Mujahid 212
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perkara 62/PUU-XXI/2023, yang dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo pada Kamis (2/1/2025), mengabulkan seluruh materi Judicial Review (JR) tersebut.
Dalam putusan ini, MK menyatakan bahwa ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dalam UU RI Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu—yang menetapkan minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional—bertentangan dengan UUD 1945.
Sebagai konsekuensi dari putusan MK yang bersifat final and binding, DPR dan Presiden Prabowo wajib merevisi UU Pemilu berdasarkan keputusan tersebut.
Namun, pandangan publik terhadap MK tidak lepas dari bayang-bayang skeptisisme. Bagi sebagian kalangan, MK dan KPK dianggap identik dengan pengaruh Jokowi.
Hal ini didasarkan pada beberapa keputusan kontroversial, seperti putusan yang mengizinkan Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden meskipun usianya kurang dari batas minimum, serta hubungan nepotisme dengan Ketua MK Anwar Usman, yang merupakan paman Gibran.
Sementara itu, ketidakpercayaan terhadap KPK muncul dari dugaan kasus korupsi yang melibatkan Gibran, Kaesang, dan Bobby Nasution, yang hingga kini belum ditindaklanjuti.
Laporan tersebut seolah “menghilang di udara.”
Publik pun mulai melihat pola politik Jokowi yang diduga menggunakan institusi seperti MK dan KPK untuk mendukung agenda politik keluarganya.
Dengan dinamika ini, wajar jika banyak yang pesimistis terhadap Pilpres 2029.
Ada kekhawatiran bahwa Gibran, Kaesang, atau Bobby akan maju sebagai kandidat presiden atau wakil presiden, didukung oleh kekuatan oligarki dan kendaraan politik partai kecil yang disulap menjadi besar—seperti partai yang kini dipimpin Kaesang.
Di sisi lain, partai-partai besar di luar lingkaran kekuasaan “Raja Jawa” berpotensi menjadi target operasi KPK.
Fenomena ini mengingatkan pada kasus-kasus sebelumnya, seperti yang menimpa Hasto Kristiyanto dan isu yang menyeret Anies Baswedan jelang Pilpres 2024.
Jika pola ini terus berlanjut, demokrasi Indonesia mungkin menghadapi degradasi serius.
Demokrasi liberal yang seolah bebas, namun berujung pada penderitaan kolektif, hanyalah pesta pora semu.
Partai-partai baru yang muncul tanpa basis ideologi kuat hanya akan menjadi alat tawar-menawar politik dan uang.
Pada akhirnya, rakyat lagi-lagi menjadi korban. Revolusi mental ala Jokowi, ditambah keputusan MK yang kontroversial, hanya melahirkan politik oportunis yang mengorbankan kepentingan bangsa.
Dengan adanya indikasi seperti ini, apakah kita sedang menuju fase “celaka 13” dalam demokrasi Indonesia? ***