DEMOCRAZY.ID - Kepolisian mengungkap alasan belum juga membuka penyidikan soal dugaan tindak pidana pembangunan pagar laut di pesisir Utara Tangerang, Banten.
Direktorat Kepolisian Perairan dan Udara (Ditpolairud) Polda Metro Jaya menyatakan, korps Bhayangkara tersebut menghormati langkah penyidikan yang sudah digelar lebih dulu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Polri pun akan menunggu hasil pemeriksaan pagar misterius sepanjang 30,16 kilometer tersebut.
Direktur Polairud Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Joko Sadono menilai, kepolisian baru akan membuka penyidikan usai investigasi Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP menemukan indikasi pidana pada keberadaan pagar laut misterius tersebut.
“Kami hanya menyelidiki terkait dengan apa-apa saja yang di lapangan, ada tindak pidana atau tidak, tapi karena sudah diambil oleh KKP kita tunggu saja dari KKP. Ya sementara kita belum temukan adanya tindak pidana dan sekarang ranahnya masih di KKP ya kita tunggu saja," kata Joko, Selasa (28/1/2025).
Menteri Wahyu Sakti memang mengungkap sejumlah alasan KKP tak langsung membongkar pagar laut di Tangerang.
Pertama, dia mengatakan pagar laut tersebut akan menjadi barang bukti terjadinya pelanggaran pemanfaatan ruang laut.
Kedua, kata dia, pihak yang harus dan wajib membongkar pagar laut bukanlah pemerintah. Akan tetapi, menurut dia, para pembangun pagar tersebut yang harus keluar biaya dan bertanggung jawab membongkarnya.
Ketiga, menurut dia, pembongkaran pagar laut puluhan kilometer tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar.
Dia berdalih kementeriannya tak punya anggaran khusus untuk kegiatan tersebut.
"Bagaimana kalau menjadi temuan BPK," kata Wahyu Sakti.
Pada saat ini, TNI AL dan sejumlah instansi memulai pembongkaran pagar laut akhir pekan lalu.
Saat itu, pembongkaran berfokus pada pagar sepanjang dua kilometer yang menutup akses nelayan dari pesisir menuju wilayah laut.
Selain KKP, TNI AL hingga BPK, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikabarkan sedang menelaah laporan dari Masyarakat Anti Korupi Indonesi (MAKI).
Sementara Kejaksaan Agung (Kejagung) juga ikutan mengeroyok kasus tersebut, yakni menyoal dugaan korupsi penerbitan SHM dan SHGB-nya.
Sementara di Polri, melalui Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBHAP), PP Muhammadiyah meminta Bareskrim Polri untuk tetap melanjutkan proses penegakan hukum.
Meskipun pagar laut sepanjang 30,16 kilometer yang membentang di perairan laut Tangerang, Provinsi Banten dibongkar TNI Angkatan Laut (TNI AL).
Ketua Riset dan Advokasi Publik LBHAP PP Muhammadiyah, Ghufroni meminta Bareskrim Polri untuk memanggil tujuh pihak terlapor. Namun, ia tak membeberkan identitas ke-7 terlapor.
"Jadi, bagi mereka yang merasa sebetulnya segera membongkar, tapi ternyata dalam tenggat waktu 3x24 jam, itu ternyata tidak ada yang membongkar, maka tentu kita akan lanjutkan pada upaya hukum yang tersedia," kata Ketua Riset dan Advokasi Publik LBHAP PP Muhammadiyah, Ghufroni di Bareskrim Polri beberapa waktu lalu.
ISESS Soroti Sikap Diam Polri di Kasus Pagar Laut Tangerang
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mempertanyakan langkah Polri yang masih diam terkait permasalahan pagar laut sepanjang 30,16 km di Kabupaten Tangerang, Banten.
Bambang menyebut dalam permasalahan ini Polri bisa saja membuat laporan model A untuk melakukan proses penyelidikan. Artinya, tak perlu menunggu laporan dari pihak lain atau laporan model B.
"Tetapi sejauh ini kita tidak melihat mekanisme laporan model A dilakukan oleh kepolisian. Bareskrim Polri juga belum bergerak," kata Bambang dalam keterangannya, Jumat (24/1).
Bambang pun mempertanyakan mengapa Polri masih membisu atas persoalan tersebut. Sebab, menurut dia, hal ini juga bisa memunculkan berbagai asumsi terhadap Polri sebagai institusi penegakan hukum.
"Ada apa dengan Polri? Apakah Polri menunggu perintah Presiden? Atau Polri tersandera kepentingan? Hal-hal itulah yang muncul karena kelambatan respon Polri dalam kasus pagar tersebut," ucap dia.
Bambang mengamini bahwa banyak institusi yang memiliki otoritas di laut, mulai dari Kementerian Kelautan dan Perikanan hingga Bakamla.
Namun, kata dia, masalah penegakan hukum tetap menjadi domain Polri.
Dengan kondisi ini, Bambang meminta pemerintah untuk membentuk tim gabungan pencari fakta guna mengusut permasalahan tersebut.
"Sekaligus mengembalikan marwah kepolisian sebagai penegak hukum. Tanpa ada tim yang lebih independent, potensi penyelidikan yang hanya mengarah pada aktor atau operator di lapangan tanpa menyentuh otak pelaku dari kasus tersebut," tutur Bambang.
Sumber: MonitorIndonesia