CATATAN POLITIK

Menanti Siasat Prabowo Jadikan Megawati Kartu Truf Benahi Kabinet ‘Rasa Jokowi'

DEMOCRAZY.ID
Januari 26, 2025
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
Menanti Siasat Prabowo Jadikan Megawati Kartu Truf Benahi Kabinet ‘Rasa Jokowi'


Menanti Siasat Prabowo Jadikan Megawati Kartu Truf Benahi Kabinet ‘Rasa Jokowi'


Kinerja 100 hari pemerintah menjadi ajang pembuktian Presiden Prabowo Subianto dalam merealisasikan janji-janji kampanyenya di Pemilu 2024. Meski tidak berjalan mulus, namun publik menunggu gebrakan Prabowo untuk mengevaluasi kinerja para pembantunya mulai dari menteri, kepala badan hingga staf/utusan khusus.


Harapan publik terhadap Presiden Prabowo untuk bisa menyejahterakan rakyat masih tetap menyala, meski banyak permasalahan-permasalahan yang terjadi selama 100 hari kerja pemerintahan.


Mungkin publik masih penasaran dengan gaya kepemimpinan Prabowo Subianto sebenarnya dalam memimpin Bangsa Indonesia. 


Hal wajar, karena Prabowo adalah satu-satunya tokoh yang sudah bertarung dalam tiga kali pemilihan presiden (pilpres) sejak 2014-2024.


Semua pihak sudah mengetahui jika Prabowo memiliki karakter kepemimpinan yang tegas dan ‘keras’. 


Hal ini bisa dilihat saat karena dalam dua kontestasi pilpres 2014 dan 2019, Prabowo sangat ‘berapi-api’ ingin membenahi sistem pemerintahan yang dinilainya tidak berjalan baik.


Namun, karakter tersebut belum terlihat lagi setelah Prabowo resmi dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia ke-8. 


Banyak pihak yang menilai, sikap tak luwes Prabowo ini disebabkan karena masih ada bayang-bayang Presdien RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) di pemerintahan Prabowo.


Hal ini dimaklumi karena Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sendiri adalah putra sulung dari Jokowi. 


Bahkan beberapa menteri di Kabinet Merah Putih (KMP) masih banyak diisi orang-orang dari Jokowi.


Melihat hal itu, sejumlah pihak mengambil momentum 100 hari kerja pemerintah untuk mendorong Prabowo mengevaluasi kinerja semua pembantunya mulai dari menteri, wakil menteri hingga kepala badan. 


Sebagian lainnya juga mengambil keuntungan dari 100 hari kerja pemerintah untuk menggoreng isu reshuffle kabinet.


Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro mengamini adanya dorongan publik ke Prabowo mengevaluasi kinerja para pembantunya. Pasalnya kapabilitas pejabat negara sudah bisa dilihat dari 100 hari kerjanya.


“Kalau yang bagus dia apresiasi misalkan anggarannya dinaikkan, kalau yang bermasalah ya menterinya dikasih kartu kuning (peringatan),” katanya kepada Inilah.com.


Menurutnya, meski sudah layak dievaluasi, namun hal itu tidak harus berujung pada reshuffle kabinet. 


Karena dia mengakui dengan struktur dan komposisi kabinet saat ini pasti masih banyak kekurangan, khususnya soal koordinasi dan komunikasi antar kementerian atau lembaga.


“Kalau enam bulan atau satu tahun ke depan nanti masih bermasalah, ya otomatis harus di reshuffle untuk menunjukkan bahwa Prabowo itu memang pemimpin yang tegas dan disiplin,” imbuhnya.


Lebih lanjut, Agung menilai, belum maksimalnya kinerja menteri KMP ini bukan hanya karena ketidaktegasan atau masih ada bayang-bayang Jokowi di belakang Prabowo. Namun hal ini lebih karena teknis pelaksanaan di kementerian saat ini berbeda dengan sebelumnya.


Contohnya adanya beberapa kementerian dipecah menjadi dua sampai tiga kementerian baru. Kebijakan ini membuat kementerian baru itu akan beradaptasi kembali dengan sistem yang ada.


Agung mengaku tidak terlalu mengkhawatirkan adanya bayang-bayang Jokowi dalam pemerintahan Prabowo. Stigma dan anggapan itu dinilai wajar, karena Jokowi merupakan presiden dua periode.


Namun menurutnya, stigma itu akan hilang jika nantinya Prabowo bertemu dengan Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) dalam waktu dekat. Pasalnya Megawati dan Jokowi saat ini sedang tidak akur pasca pecah kongsi di Pilpres 2024.


“Sebenarnya dengan sendirinya itu akan terjadi (Prabowo lepas dari bayang-bayang Jokowi) ketika misalkan Pak Prabowo bertemu Ibu Megawati. Otomatis kan bandul politiknya akan menjadi lebih seimbang,” ungkapnya.


Keberadaan Megawati Bisa Perkuat Pemerintahan Prabowo


Menurutnya, peluang Prabowo merangkul Megawati menjadi sekutunya untuk lima tahun ke depan sangat terbuka lebar. 


Keduanya memang memiliki kedekatan yang intim sejak lama. Sikap inilah yang tidak dimiliki oleh presiden pendahulunya seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jokowi.


Meski Jokowi lahir dari PDIP, namun pasca Pemilu 2024, hubungan keduanya menjadi renggang, karena mantan Wali Kota Solo itu dinilai telah mengkhianati partai dan Megawati.


Selain itu, Agung mengatakan, ke depannya Jokowi juga harus realistis dalam melihat dinamika politik yang akan terjadi. Sehingga Jokowi tidak selama bisa terus membayangi Prabowo.


“Walaupun dia (Jokowi) punya sumbangsih besar memenangkan Pak Prabowo, tapi dengan sendirinya akan memudar seiring berjalannya waktu dan kepentingan-kepentingan politik yang berbeda satu sama lain,” imbuhnya.


Wacana pertemuan Prabowo dengan Megawati nampaknya masih akan menjadi drama politik yang menghiasi beberapa waktu ke depan. 


Pertemuan kedua tokoh ini menjadi magnet karena akan mempengaruhi konstelasi politik khususnya di intenal KIM.


Dualisme KIM Sikapi Peluang PDIP Berkoalisi


Belum lama ini, Partai Demokrat, salah satu anggota KIM, sempat memberikan sinyal jika mereka sedikit keberatan dengan rencana PDIP bergabung dengan koalisi Presiden Prabowo. 


Meski tak disebutkan secara jelas, namun Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sempat menyinggung soal nasib partainya saat menjadi oposisi selama satu dekade.


Menurut AHY, Demokrat seakan selalu dijegal oleh sejumlah pihak saat ingin bergabung dengan koalisi pemerintah era Presiden Jokowi.


"Setiap kali kita (Demokrat) ingin mengambil peran-peran itu, jalan kita ditutup. Betul? Politik memang seperti itu. Tidak ada perlu disesali, tapi memang tidak mudah,” ucap dia saat berpidato dalam acara Perayaan Natal dan Tahun Baru Partai Demokrat, di TMII, Jakarta Timur, Selasa (21/1/2025).


Curhatan AHY ini nampaknya tertuju kepada satu parpol yakni PDIP. Pasalnya selama 10 tahun PDIP berkuasa, Demokrat memang tidak mendapatkan ruang baik di parlemen maupun di pemerintahan. Hal ini yang membuat Demokrat akhirnya memilih menjadi oposisi bersama PKS.


Tak harmonisnya PDIP dan Demokrat ini buka rahasia umum lagi, karena Ketum PDIP dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang tidak akur sejak 2004. 


Awal mula perseteruan keduanya ini tidak jauh berbeda dengan kisah yang dialami Jokowi dan keluarganya sekarang.


Selain itu, berdasarkan informasi yang diperoleh, memang ada beberapa pihak khususnya di internal KIM yang tidak ingin PDIP bergabung dengan koalisi. 


Penolakan ini didasari berbagai faktor salah satunya karena ‘proposal’ yang diajukan PDIP sebagai syarat berkoalisi dengan Prabowo dinilai tak realistis.


Meski begitu, pihak Gerindra nampaknya tak menggubris soal kegelisahan Demokrat soal PDIP. Sekjen Gerindra Ahmad Muzani justru memastikan jika komunikasi antara Prabowo dan Megawati semakin intens. 


Sumber: Inilah

Penulis blog