CATATAN POLITIK

Manipulatif: 'Klaim Era Jokowi Tingkat Kepuasan Publik Tinggi - Ternyata Cuma Ilusi Keberhasilan'

Media Democrazy
Januari 30, 2025
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
Manipulatif: 'Klaim Era Jokowi Tingkat Kepuasan Publik Tinggi - Ternyata Cuma Ilusi Keberhasilan'


Manipulatif: 'Klaim Era Jokowi Tingkat Kepuasan Publik Tinggi - Ternyata Cuma Ilusi Keberhasilan'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Dalam berbagai survei, tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan sering kali menjadi tolok ukur keberhasilan seorang pemimpin. 


Namun, apakah kepuasan ini benar-benar mencerminkan kualitas kinerja pemerintahan? 


Mari kita tinjau kasus Presiden Jokowi yang selama lima tahun terakhir memiliki tingkat kepuasan berkisar di angka 70%, serta Prabowo Subianto yang bahkan mencapai 80% dalam 100 hari sebagai presiden. 


Dengan angka setinggi itu, seharusnya ada perbaikan nyata dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. 


Namun, mari kita uji sejauh mana kepuasan tersebut mencerminkan realitas yang ada.


1. Apakah Ekonomi Kita Membaik?

Jika kepuasan publik mencerminkan kesejahteraan ekonomi, maka kita harus melihat indikator utama seperti pertumbuhan ekonomi, ketimpangan, dan daya beli masyarakat. 


Nyatanya, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih stagnan di angka 5%, dengan defisit perdagangan yang terus membayangi. 


Sementara itu, utang negara meningkat signifikan, dan ketergantungan terhadap investasi asing semakin besar. Kepuasan publik yang tinggi tidak otomatis berarti ekonomi yang lebih kuat.


2. Bagaimana dengan Penegakan Hukum?

Hukum seharusnya menjadi pilar utama dalam pemerintahan yang efektif. Namun, di era kepuasan 70% terhadap Jokowi, kita menyaksikan berbagai kasus yang menunjukkan lemahnya supremasi hukum. 


Kasus-kasus korupsi sering kali hanya menjerat pihak-pihak yang tidak memiliki kekuatan politik, sementara yang memiliki koneksi kuat sering kali lolos dari jerat hukum. 


Kepolisian, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum, justru kerap disorot karena tindakan yang kontroversial.


3. Apakah Perlindungan Hak Asasi Manusia Membaik?

Seharusnya, kepuasan publik yang tinggi sejalan dengan peningkatan perlindungan hak asasi manusia. Namun, realitasnya, kebebasan berekspresi justru semakin tergerus. 


Kritik terhadap pemerintah sering kali berujung pada ancaman hukum, baik melalui UU ITE maupun kriminalisasi terhadap aktivis. Demonstrasi damai pun sering kali berakhir dengan tindakan represif dari aparat.


4. Apakah Kebebasan Berpendapat Makin Terjamin?

Di era digital, kebebasan berpendapat seharusnya lebih terlindungi. Namun, dengan berbagai kebijakan yang membatasi akses informasi, masyarakat justru semakin takut untuk menyuarakan pendapatnya. 


Narasi yang berseberangan dengan pemerintah cenderung diserang, baik melalui buzzer maupun tindakan hukum. Apakah kepuasan publik benar-benar mencerminkan peningkatan demokrasi?


5. Apakah Polisi Makin Profesional?

Dalam banyak kasus, kepolisian justru menjadi alat kekuasaan daripada penegak keadilan. Kasus-kasus pelanggaran etik dan hukum oleh aparat kerap mencoreng institusi ini. 


Dalam kondisi seperti ini, bagaimana mungkin kepuasan terhadap pemerintahan bisa tinggi jika aparat yang seharusnya melindungi masyarakat malah menjadi momok bagi sebagian besar rakyat?


6. Apakah Kesenjangan Kaya-Miskin Makin Mengecil?

Data menunjukkan bahwa kesenjangan ekonomi masih menjadi masalah besar di Indonesia. Sementara sebagian kecil elite menikmati kekayaan luar biasa, masyarakat kelas bawah masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar. 


Jika kepuasan publik benar-benar bermakna, seharusnya angka kemiskinan berkurang secara signifikan, bukan sekadar permainan statistik.


7. Apakah Dinasti Politik Berkurang?

Salah satu indikator demokrasi yang sehat adalah berkurangnya praktik dinasti politik. Namun, di era kepuasan 70% terhadap Jokowi, justru dinasti politik semakin mengakar. 


Jabatan-jabatan strategis semakin banyak diisi oleh orang-orang yang memiliki hubungan keluarga dengan elite politik. 


Keadaan ini tidak hanya mencerminkan kemunduran demokrasi, tetapi juga membahayakan masa depan bangsa.


Studi Kasus: Pagar Bambu di Laut

Salah satu contoh nyata dari buruknya tata kelola pemerintahan adalah kasus “pagar bambu di laut.” Butuh berbulan-bulan bagi pemerintah hanya untuk mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas pemasangan pagar tersebut. 


Kasus ini bukan sekadar soal bambu di laut, tetapi gambaran bagaimana birokrasi yang tidak efisien dan kurangnya akuntabilitas menyebabkan masalah kecil pun bisa menjadi rumit. 


Jika dalam hal sesederhana ini pemerintah kewalahan, bagaimana bisa kita percaya bahwa sistem pemerintahan kita benar-benar bekerja dengan baik?


Kesimpulan: Kepuasan Tidak Sama dengan Kemajuan

Dari berbagai indikator di atas, tampak jelas bahwa kepuasan publik tidak selalu mencerminkan keberhasilan kinerja pemerintahan. 


Angka kepuasan yang tinggi bisa jadi merupakan hasil dari narasi yang dibangun oleh media dan propaganda politik, bukan cerminan dari kondisi riil. 


Jika kepuasan tinggi tidak menghasilkan ekonomi yang lebih baik, hukum yang lebih adil, demokrasi yang lebih kuat, dan pemerintahan yang lebih transparan, maka apa sebenarnya arti dari kepuasan itu bagi bangsa ini?


Maka, pertanyaan kritis yang harus diajukan: Apakah kita akan terus puas dengan ilusi keberhasilan, atau mulai menuntut pemerintahan yang benar-benar bekerja untuk rakyat?


Sumber: FusilatNews

Penulis blog