DEMOCRAZY.ID - Polemik penerbitan sertifikat lahan seluas 300 hektare di pesisir laut Desa Kohod, Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, terus menjadi sorotan.
Jika lahan tersebut benar bersertifikat, nilai estimasi transaksi ditaksir mencapai Rp6 triliun.
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang, Yayat Ahadiat Awaludin dilansir tempo, menyatakan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) tersebut diterbitkan pada Agustus 2023, setelah Peraturan Daerah disahkan.
Yayat, atas arahan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid, sedang mendata pemilik sertifikat lahan di wilayah pesisir itu.
Sumber dari Poros Jakarta memperkirakan bahwa jika lahan tersebut bersertifikat, total pembayaran untuk 300 hektare lahan mencapai Rp6 triliun.
"Tidak masuk akal jika laut memiliki Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Seharusnya tidak ada sejarah lahan yang abrasi diterbitkan PBB," ujar sumber tersebut.
Dalam video di akun TikTok @muannas.alaidid, Arsin bin Sanip mengklaim membantu proses pengurusan PBB hingga lahan tersebut bisa diproses pembayaran.
Namun, beberapa akun media sosial menyebutkan bahwa Arsin bin Sanip memiliki berbagai mobil mewah, baik di kantor maupun di rumahnya.
Jika benar ia menerima fee dari transaksi Rp6 triliun, maka diduga ia memperoleh komisi 2,5 persen, setara Rp150 miliar.
Sementara itu, situs ATR BPN menunjukkan perubahan warna kuning pada peta Desa Kohod, mengindikasikan keberadaan sertifikat tersebut.
Ada informasi, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid direncanakan menggelar konferensi pers terkait isu 300 hektar ini pada Senin, 19 Januari 2025, di kantornya.
300 Hektar Tanah Bersertifikat di Laut desa Kohod Ulah Komplotan Mafia?
Terbitnya sertifikat sebanyak 300 hektar di desa Kohod, Pakuhaji, Kabupaten Tangerang dipertanyakan sejumlah pihak.
Apalagi diungkap kepala BPN Tangerang seperti dikutip tempo, bahwa terbit sertifikat atas perintah menteri ATR BPN, Nusron Wahid.
Informasi yang beredar, Senin 20/1, Nusron Wahid akan mengadakan jumpa pers terkait hal tersebut.
"Nusron Wahid akan jumpa pers terkait sertifikat di atas laut," ucap sumber.
MAFIA TANAH
Kasus Mafia Tanah di Desa Kohod, Tangerang: AJB Palsu Terungkap!
Kasus pemalsuan Akta Jual Beli (AJB) di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, pernah terungkap tahun lalu.
Pada Januari 2024, Polres Metro Tangerang Kota menetapkan tiga tersangka dalam kasus mafia tanah yang melibatkan dokumen palsu.
Para tersangka adalah Rohaman (52), mantan Kepala Desa Kohod, Hengki Susanto (58), dan Hendra (64).
Dokumen Palsu Tanah Timbul Kapolres Metro Tangerang Kota, Komisaris Besar Zain Dwi Nugroho, menjelaskan bahwa ketiga tersangka terlibat dalam pembuatan dokumen palsu untuk tanah timbul di laut yang kemudian diubah menjadi tanah garapan.
“Mereka memalsukan surat keterangan tanah garapan untuk kepentingan pribadi,” ungkap Zain pada Jumat (26/1/2024).
Proses Penyelidikan Kasus ini berawal dari laporan masyarakat pada Agustus 2023.
Setelah laporan diterima, unit Harda Satreskrim Polres Metro Tangerang Kota memulai penyelidikan dengan memeriksa tujuh saksi, termasuk ahli dari Dinas Kelautan dan Perikanan serta ahli hukum pidana.
Berdasarkan hasil penyelidikan, diketahui bahwa tanah timbul tersebut sebenarnya merupakan daratan yang terbentuk secara alami akibat pengendapan di pantai dan seharusnya dikuasai oleh negara.
Modus Operandi Rohaman, sebagai mantan kepala desa, membuat dokumen palsu atas permintaan Hengki dan Hendra.
Total ada 94 bidang tanah seluas 553 hektare yang dibuatkan dokumen palsu. Tanah tersebut kemudian ditawarkan kepada sejumlah pengembang.
Sebagai imbalan, Rohaman menerima uang dari Hengki dan Hendra untuk menandatangani dokumen palsu tersebut.
Persyaratan Pemanfaatan Tanah Timbul Zain menjelaskan bahwa tanah timbul di laut bisa dimanfaatkan jika memenuhi persyaratan, yaitu memiliki Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Laut.
Namun, dalam kasus ini, para tersangka melanggar aturan tersebut.
Kendala Pengungkapan Kasus Pengungkapan kasus ini memakan waktu karena Hengki dan Hendra beberapa kali mangkir dari panggilan polisi.
Bahkan, Hendra sempat masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Akhirnya, ketiganya ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Pasal 263 KUHP ayat 1 dan 2 tentang pemalsuan dokumen, dengan ancaman hukuman penjara enam tahun.
Kasus ini menjadi peringatan penting bahwa tindakan pemalsuan dokumen tanah memiliki konsekuensi hukum yang serius.
Selain itu, masyarakat diimbau untuk berhati-hati dan memeriksa keaslian dokumen tanah sebelum melakukan transaksi.
👇👇
Sumber: PorosJakarta