JOKOWI: 'Saat Jadi Presiden Bikin Repot Rakyat, Saat Jadi Rakyat Bikin Repot Presiden!'
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Muhammad Said Didu seolah menyentil Mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dia menyebut soal presiden yang membuat rakyat repot hingga jabatannya berakhir malah merepotkan presiden terpilih.
“Saat jadi Presiden - bikin repot rakyat. Saat jadi rakyat - bikin repot Presiden,” tulis Said Didu dalam akun X, pribadinya, Selasa, (21/1/2025).
Tak sedikit warganet yang mengomentari unggahan Said Didu tersebut.
“Namanya jokowidodo juara dunia korupsi,” balas @ki***
“Pokoknya Mulyono bikin semua repot,” imbuh @Ag***
“Liat kelakuan-kelakuan pembantu-pembantunya presiden, lama-lama presiden bisa stroke. Pecat smua antek-antek mulyono, cari orang-orang yang benar-benar kompeten di bidangnya jangan cuman bagi-bagi jabatan. Mumpung blom ambyar,” tambah @Yan***.
👇👇
Saat jadi Presiden - bikin repot rakyat.
— Muhammad Said Didu (@msaid_didu) January 21, 2025
Saat jadi rakyat - bikin repot Presiden.
Diketahui, tak sedikit pejabat yang masuk di Kabinet Merah Putih merupakan orang-orang Mantan Presiden Jokowi.
Bahkan yang terakhir viral soal pelantikan buzzer Jokowi, Rudi Susanto atau Rusi Valinka sebagai Stafsus Menteri Komdigi.
'Segala Sesuatu Yang Benar-Benar Jahat, Seringkali Dimulai Dari Kepolosan'
(Mengilustrasikan Pemerintahan Jokowi melalui Lensa Ernest Hemingway)
Ketika Ernest Hemingway menulis bahwa “Segala sesuatu yang benar-benar jahat, seringkali dimulai dari kepolosan,” ia mungkin tidak membayangkan kutipannya akan relevan dengan kepemimpinan seorang presiden di belahan dunia lain.
Namun, pernyataan ini seolah menjadi gambaran yang pas untuk membaca perjalanan pemerintahan Joko Widodo, seorang pemimpin yang pernah dielu-elukan sebagai figur sederhana, jujur, dan tulus.
Jokowi, yang memulai karier politiknya dari seorang pengusaha mebel dan kemudian menjadi Wali Kota Solo, tampak seperti simbol harapan. Sosoknya bersahaja, gayanya berbeda dari para elite politik tradisional.
Banyak rakyat Indonesia yang terpikat oleh “kepolosan” Jokowi—keinginan kuatnya untuk bekerja nyata, blusukan, dan memprioritaskan pembangunan infrastruktur.
Namun, di balik semua itu, ada nuansa ironis yang akhirnya menonjol seiring waktu: bagaimana kepolosan ini, dengan segala niat baiknya, justru menjadi landasan bagi tindakan-tindakan yang tidak hanya merugikan rakyat tetapi juga mencerminkan sifat-sifat kekuasaan yang jahat.
Kepolosan sebagai Kedok Kekuasaan
Awal kepemimpinan Jokowi diwarnai dengan janji-janji besar yang memukau rakyat. Ia berjanji untuk membangun Indonesia dari pinggiran, memperkuat sektor pertanian, serta memberantas korupsi.
Namun, setelah hampir dua periode menjabat, janji-janji itu tak jarang terasa hanya sebagai formalitas politik.
Infrastruktur yang dibangun dengan ambisi besar ternyata lebih sering melayani kepentingan modal dan oligarki daripada kebutuhan rakyat kecil.
Kepolosan Jokowi yang tampak pada gaya komunikasinya ternyata juga menjadi kedok yang sempurna untuk melanggengkan praktik-praktik nepotisme, konflik kepentingan, dan akumulasi kekuasaan di lingkaran keluarganya.
Dari pemilihan anaknya, Gibran Rakabuming, sebagai Wakil Presiden, hingga posisi strategis yang diraih oleh para sekutu dekatnya, kebijakan Jokowi mulai menunjukkan pola yang tidak lagi sederhana, tetapi penuh perhitungan politis.
“Kepolosan” yang Mengarah pada Otoritarianisme
Ketika rakyat percaya bahwa seorang pemimpin polos dan tidak punya niatan buruk, kontrol terhadap kekuasaan sering kali mengendur.
Hal ini membuka celah bagi munculnya otoritarianisme yang terselubung. Di era Jokowi, kebebasan berpendapat mengalami tekanan yang signifikan.
Aktivis, akademisi, hingga mahasiswa yang kritis terhadap pemerintah sering kali diintimidasi atau dikriminalisasi.
Semua ini terjadi dalam narasi yang tampaknya “baik”—bahwa pemerintah hanya ingin menjaga stabilitas.
Retorika Jokowi yang terus-menerus menekankan “kerja nyata” tanpa banyak bicara juga menjadi alat untuk menutupi ketidakmampuan pemerintahannya dalam menyelesaikan isu-isu mendasar seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan.
Kebijakan populis seperti pembagian sembako atau bantuan langsung tunai hanya menjadi solusi jangka pendek yang mengabaikan kebutuhan mendesak untuk membangun sistem ekonomi yang adil dan berkelanjutan.
Akhir dari Kepolosan: Transformasi Menjadi Jahat
Seperti yang Hemingway katakan, jahat seringkali berawal dari kepolosan. Ketika seorang pemimpin menggunakan kepolosan sebagai tameng untuk menghindari kritik, ia membuka pintu bagi kejahatan sistematis.
Jokowi mungkin tidak pernah secara eksplisit berniat menjadi “jahat,” tetapi kebijakannya yang sering mengabaikan akuntabilitas, transparansi, dan suara rakyat telah menempatkannya pada jalur tersebut.
Jokowi adalah contoh bagaimana “kepolosan” seorang pemimpin bisa menjadi kendaraan untuk melanggengkan praktik-praktik yang tidak etis dan bahkan merugikan bangsa.
Narasi awal yang membangun harapan kini berubah menjadi kenyataan pahit yang penuh kekecewaan.
Pada akhirnya, Hemingway benar: segala sesuatu yang benar-benar jahat memang seringkali dimulai dari sesuatu yang tampak sederhana, polos, dan tulus.
Penutup
Kisah kepemimpinan Jokowi adalah pelajaran tentang bagaimana rakyat harus berhati-hati terhadap pemimpin yang terlalu polos untuk terlihat nyata.
Karena di balik wajah sederhana itu, kekuasaan bisa menyelinap masuk, bertransformasi, dan pada akhirnya menunjukkan wujud aslinya.
Kepolosan hanyalah awal; bagaimana kekuasaan digunakanlah yang menentukan apakah sejarah akan mengingatnya sebagai berkah atau kutukan.
SIMAK! Panda Nababan Membongkar Siapa Sebenarnya Jokowi
DEMOCRAZY.ID - Meskipun telah selesai masa jabatannya sebagai Presiden, namun berbicara soal rekam jejak Jokowi sepertinya tidak pernah usai.
Apalagi, belum lama ini ayah dari Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka itu masuk dalam nominasi lima besar pejabat paling korup di dunia.
Politikus PDIP Panda Nababan yang hadir dalam podcast Keadilan TV mengaku tidak heran dengan pembicaraan soal Jokowi.
Bahkan, kata dia, narasi yang selama ini digaungkan di publik soal Jokowi pembohong adalah sesuatu yang bisa diverifikasi.
"Narasi soal Jokowi pembohong bukan dari kami, dirinya sendiri yang memproklamirkan," ujar Panda dikutip pada Kamis (16/1/2025).
Dikatakan Panda, ia bersama para aktivis sosial lainnya tidak serta-merta mengatakan bahwa Presiden dua periode itu pembohong.
"Buktinya banyak, yah kan? Jadi tidak fitnah, tidak tuduhan, jadi jangan pikir dari saya yah," cetusnya.
Seperti menjelang detik-detik terakhir masa jabatannya sebagai Presiden, kata Panda, Jokowi meninggalkan kebohongan luar biasa.
"Banyak contoh, investor sudah ke IKN dari timur tengah, Singapura, Jepang, dari apa gitu kan. Rocky Gerung sudah teriak-teriak, bohong nda benar itu. Ternyata memang betul bohong," timpalnya.
Tidak berhenti di situ, Panda menyinggung soal pengakuan Sugianto Kusuma alias Aguan adalah bos Pantai Indah Kapuk PIK 2 dan Agung Sedayu Group.
"Lebih terang benderang lagi waktu dia bawa oligarki ke IKN yang dipimpin Aguan. Lebih konyol lagi ada pengakuan Aguan, kami dipaksa, harus selamatkan wajahnya Presiden Jokowi," Panda menuturkan.
Tambahnya, melihat pengakuan Aguan seakan-akan Jokowi tidak memiliki kehormatan lagi sebagai mantan orang nomor satu di Indonesia.
"Coba di mana kehormatan Jokowi dikomentari kayak gitu, kalau tidak buah daripada bohong," bebernya.
Panda bilang, kebohongan lain dari Jokowi bisa dilihat pada kasus mobil Esemka yang pernah dibangga-banggakan bakal sukses besar.
"Belum lagi cerita yang lain-lain, mobil Esemka sudah banyak yang nawar. Kalau kita mau inventarisasi banyak gitu loh," tandasnya.
Berangkat dari rentetan kebohongan Jokowi, Panda menegaskan bahwa narasi yang terbangun selama ini bukan karangan yang tidak mampu dipertanggungjawabkan.
"Artinya bukan kita menambah-nambah, dia sendiri yang memproklamirkan dirinya. Gak usah jauh-jauh, inilah kebohongan yang dia lakukan," kuncinya.
SIMAK SELENGKAPNYA VIDEO...
[VIDEO]
Rahasia Pilpres 2024 Terungkap, Panda Nababan Bongkar 'Sikap Asli' Jokowi ke Megawati
DEMOCRAZY.ID - Politisi senior PDIP, Panda Nababan, membongkar 'borok' Presiden ketujuh Joko Widodo atau Jokowi saat masa Pilpres 2024 lalu.
Sikap 'mencla-mencle' Jokowi soal pilihan politiknya diungkap Panda Nababan.
Menurut Panda, Jokowi disebutnya sebagai sosok yang tak jujur.
Dia menyebut, Jokowi sedari awal tidak jujur terhadap Megawati, terutama soal pilihan politiknya saat Pilpres 2024 lalu.
Ketidakjujuran itu, kata Panda, adalah pada kenyataannya pilihan politik Jokowi adalah mendukung Prabowo. Padahal, saat itu Jokowi masih sebagai kader PDIP.
"Jokowi tidak jujur ke Mega. Bu, saya ke Prabowo. Dia menciptakan missunderstanding. Seakan-akan kemudian sentimen tidak mau Prabowo biar maju, gitu lho," katanya.
Kata Panda, dengan sikap tak jujur Jokowi itu, membuat hubungannya dengan Megawati menjadi kacau.
"Jokowi tidak terbuka, tidak jujur mengatakan bahwa dia beralih dari Ganjar ke Prabowo. Itu cikal bakalnya," kata Panda.