CATATAN POLITIK

Jokowi: 'Ijazah Yang Tak Pernah Tampak - Gaduh Yang Tak Pernah Reda'

DEMOCRAZY.ID
Januari 30, 2025
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
Jokowi: 'Ijazah Yang Tak Pernah Tampak - Gaduh Yang Tak Pernah Reda'


Jokowi: 'Ijazah Yang Tak Pernah Tampak - Gaduh Yang Tak Pernah Reda'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Ketika Rocky Gerung menyebut Jokowi sebagai “bajingan dan dungu,” dunia gemuruh, namun ia sendiri tetap diam. 


Tidak ada amarah yang membuncah, tidak ada bantahan yang menggelegar, hanya kaki tangan yang bergerak, melaporkan, menyeret kata-kata ke meja hukum. 


Tetapi Rocky, dengan cerdasnya, memberi makna—bahwa itu bukan serangan kepada tubuh, bukan kepada pribadi, melainkan pada kebijakan-kebijakan yang lahir dari kepemimpinan. 


Itu persoalan penilaian, kata Rocky. Dan dalam demokrasi, penilaian itu sah. That’s okay.


Namun, ketika tuduhan lain menghampiri, bukan sekadar kritik tetapi sebuah dakwaan: ijazah palsu, kebisuan yang sama kembali terjadi. 


Kali ini, diam yang tidak menyanggah, tidak menjelaskan, tidak menampilkan secarik bukti yang seharusnya bisa memadamkan api yang membakar.


Jika lembaran ijazah asli itu ada, mengapa tak diangkat ke cahaya? 


Jika keabsahan itu nyata, mengapa dibiarkan bising? Apakah karena keangkuhan atau ada yang perlu disembunyikan? 


Seharusnya, cukup satu tindakan kecil—selembar dokumen diperlihatkan, dan badai pun reda. Tapi mengapa tidak?


Diam yang pertama adalah kekuatan. Diam yang kedua adalah tanda tanya.


Negeri ini gaduh bukan hanya karena suara, tetapi juga karena kebisuan. 


Dan dalam diam itu, kita dipaksa bertanya: ada apa? Sebuah keheningan yang tak menghapus kecurigaan, malah menumbuhkannya. 


Sebab dalam politik, kadang kata-kata bisa membunuh, tetapi diam bisa lebih mematikan.


Ada sesuatu yang ironis dalam kebisuan ini. Dalam sistem yang seharusnya transparan, mengapa sebuah bukti sederhana seperti ijazah menjadi begitu sulit dihadirkan? 


Apakah ini tentang lebih dari sekadar dokumen? Apakah ini simbol dari sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang rapuh dalam landasan kepemimpinan yang seharusnya kokoh? Rakyat hanya ingin kepastian, bukan teka-teki. 


Namun, keheningan itu sendiri malah menjerat nalar, membuat publik bertanya-tanya, siapa yang sebenarnya sedang melindungi siapa? Atau lebih tepatnya, apa yang sedang dilindungi?


Di sisi lain, kehebohan ini juga memperlihatkan betapa ruang publik kita dipenuhi dengan polemik-polemik yang semestinya mudah diselesaikan. 


Sebuah dokumen yang diperlihatkan bisa mengubah arah perbincangan nasional, mengembalikan fokus kepada persoalan-persoalan yang lebih penting, seperti nasib rakyat kecil, ketimpangan sosial, atau persoalan ekonomi. 


Tapi sebaliknya, kasus ini dibiarkan bergulir, seakan-akan menjadi panggung bagi pihak-pihak tertentu untuk bermain drama politik.


Diam yang pertama mengajarkan ketenangan. Diam yang kedua meninggalkan kegaduhan. 


Antara keduanya, ada rakyat yang menunggu jawaban, di tengah riuhnya pertanyaan yang terus menggantung tanpa kepastian. ***


Sumber: FusilatNews

Penulis blog