'Jejak Prabowo Dalam Peristiwa Lengkong'
Antara Grogol (Jakarta Barat) dan Kota Tangerang, dihubungkan jalan raya yang sangat panjang, yaitu Jalan Daan Mogot.
Kendati terbilang panjang (sekitar 27 km), publik agak kesulitan mengenali jalan ini, mengingat tidak ada tempat yang dianggap penting (vintage), selain Terminal Kalideres dan stasiun media elektronik Indosiar.
Sangat berbeda, misalnya, dengan Jalan Slamet Riyadi (12 km) yang membelah Kota Solo, sektor jasa dan kuliner menumpuk di jalan ini, sehingga publik sangat familier.
Pengetahuan publik yang serba terbatas terhadap Jl Daan Mogot, seolah merupakan cerminan, bahwa publik juga kurang mengenal siapa itu Daan Mogot. Bagi Indonesia hari ini, nama Daan Mogot sejatinya bisa kembali aktual, ketika Prabowo Subianto menjadi presiden.
Sejak masih aktif sebagai militer, dan sepertinya belum pernah diganti, Prabowo adalah Ketua Umum Yayasan 25 Januari 1946.
Yayasan 25 Januari adalah paguyuban atau komunitas yang menghimpun bagi mereka yang pernah terlibat dalam sebuah pertempuran singkat, yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Lengkong (sekitaran Serpong, Tangsel sekarang), tanggal 25 Januari 1946.
Clash singkat itu terjadi antara tentara Jepang, dan pasukan TNI, yang umumnya adalah organik dari Akademi Militer Tangerang (AMT), dan Mayor Daan Mogot sendiri adalah Direktur AMT, dalam istilah sekarang kira-kira setara Gubernur Akademi Militer.
Dalam pertempuran singkat itu telah gugur Mayor Daan Mogot, dua orang instruktur dan 34 taruna. Dua paman Presiden Prabowo ikut gugur dalam Peristiwa Lengkong, masing-masing adalah Letnan Subianto Djojohadikusumo (instruktur) dan (taruna) Sujono Djojohadikusumo.
Ikatan batin paman dan keponakan
Saat evakuasi korban, dalam kantung baju seragam jasad Letnan Subianto ditemukan secarik kertas, berisi selarik puisi: Kami hanya pengangkut batu/Kamilah angkatan yang mesti musnah/Agar menjelma angkatan baru.
Puisi yang terselip di baju Letnan Subianto itu, seolah memberi ramalan bagi perjalanan hidup Prabowo, yang kini telah menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Dengan menjadi presiden, Prabowo memang sekadar “pengangkut batu”, yang berarti menjalankan program strategis nasional, seperti pendidikan, kesehatan, dan makan bergizi gratis (MBG), untuk menciptakan “angkatan baru”.
Angkatan baru dimaksud yang sedang disiapkan Prabowo, adalah Gen Z dan Gen Alpha yang berkualitas dan cerdas, yang akan memimpin bangsa ini menjelang Indonesia Emas 2045.
Dengan membaca puisi di atas, kita juga melihat seolah ada hubungan batin erat antara paman dan keponakan, kendati antara keduanya tidak pernah bertemu langsung (Prabowo lahir Oktober 1951).
Rupanya Letnan Subianto yang menjadi inspirasi Prabowo untuk memilih jalan hidup sebagai tentara, nama keduanya juga mirip, sama-sama ada unsur Subianto.
Bila dua paman Prabowo dan Prabowo sendiri memilih jalan hidup sebagai militer, bisa dihubungkan dengan tradisi banyumasan. Baik Pak Cum (ayah Prabowo) dan Prabowo sendiri, selalu dengan nada bangga untuk menyatakan diri sebagai orang Banyumas.
Pak Cum sendiri lahir di Kebumen (1917), sementara ayah Pak Cum (jadi kakek Prabowo), yaitu Margono Djojojadikusumo, lahir di Purbalingga (tidak jauh dari Purwokerto), 16 Mei 1894.
Pertemuan terakhir Pak Cum dengan kedua adiknya merupakan epik tersendiri. Itu terjadi seputar tahun 1942, di Paris, saat Pak Cum sedang melanjutkan studinya di sana. Pada sebuah liburan, kedua adiknya berkesempatan menjenguknya.
Ketika Subianto dan Sujono akan kembali ke Amsterdam dengan menumpang kereta api, Pak Cum masih sempat mendampingi adiknya sampai stasiun Metro Paris. Sungguh tak ada yang menduga, bila perpisahan di stasiun kereta api Paris itu, sebagai pertemuan terakhir tiga bersaudara tersebut.
Sebagai kenangan terhadap kedua adiknya yang gugur dalam Peristiwa Lengkong, Pak Cum menamakan dua anak lelakinya dengan mengambil nama kedua adiknya tersebut.
Subianto untuk Prabowo, dan Sujono untuk Hashim, sehingga lengkapnya adalah Hashim Sujono Djojohadikusumo. Hashim kini banyak membantu pemerintahan Prabowo dalam program strategis transisi energi dan sebagai utusan khusus isu perubahan iklim.
Secara administratif, Kebumen sebenarnya masuk dalam wilayah eks-Karesidenan Kedu, namun secara kultur, lebih dekat dengan tradisi Banyumasan.
Dalam budaya Jawa, Banyumasan merupakan subkultur tersendiri, dibanding kultur Mataraman (Yogya dan Solo). Perbedaan itu bukan hanya berdasarkan dialek, namun juga perilaku, kultur Banyumasan dianggap lebih terbuka atau blak-blakan.
Tradisi Banyumasan (termasuk kultur Bagelen di Purworejo) memiliki posisi khas dalam sejarah kemiliteran di Tanah Air. Bisa jadi itu berkat keberadaan Gombong, kota kecamatan dalam Kabupaten Kebumen.
Di kota ini pernah berdiri lembaga pendidikan bagi calon anggota KNIL (tentara kolonial Hindia Belanda). Keberadaan pusat latihan ini ibarat simbiosis mutualisme, mengingat wilayah Banyumas dan Purworejo, sejak lama dikenal sebagai sumber rekrutmen bagi calon anggota KNIL.
Dari sinilah tradisi perwira asal Banyumas itu bermula dan pada satu masa sangat mewarnai sejarah militer Tanah Air, terutama pada unsur pimpinannya. Pada seputar tahun 1840, pernah berdiri Sekolah Militer di Kedung Kebo, Purworejo.
Siswa atau tarunanya diambil dari anak-anak anggota KNIL yang tinggal di tangsi di sekitaran sekolah tersebut. Tentu anak-anak peranakan Belanda (Indo) lebih diprioritaskan.
Sekolah Militer justru menjadi terkenal setelah dipindahkan ke Fort Cochius, Gombong (masuk Kabupaten Kebumen). Sampai sekarang jejak sekolah ini masih terlihat, ketika gedung dan fasilitas lainnya dijadikan Secaba atau Secata di bawah Rindam IV/Diponegoro.
Beberapa perwira legendaris yang pernah dididik di Gombong (di bawah KNIL), antara lain adalah Gatot Subroto dan Suharto (mantan presiden). Suharto di kemudian hari sempat menjadi besan Pak Cum.
Sosok Dading Kalbuadi
Sempat ramai di media sosial dan media daring, foto besar Letjen Purn Dading Kalbuadi (meninggal 10 Oktober 1999) terpampang di ruangan kerja Prabowo, saat masih menjadi Menhan.
Keberadaan gambar itu sudah cukup jelas, bahwa Prabowo sangat menghormati figur Dading Kalbuadi. Mungkin sudah menjadi kehendak sejarah, bahwa Prabowo dan Dading berasal dari satuan yang sama (Korps Baret Merah), dan sama-sama berlatar belakang kultur Banyumasan.
Dading sendiri muncul pada saat tepat, pada pertengahan dekade 1970-an, ketika TNI membutuhkan komandan lapangan yang mumpuni guna memimpin operasi pendahuluan untuk menyerbu wilayah Timor Leste (d/h Timor Timur), yang bersandi Operasi Flamboyan itu.
Sejak itu, nama Dading menjadi identik dengan operasi di Timor Leste. Adalah wajar bila kemudian Prabowo sangat respek pada Dading.
Prabowo lulus Akmil tahun 1974, dan kemudian bergabung Korps Baret Merah (Kopassus), dan langsung ditugaskan ke palagan Timor Timur. Saat Prabowo menjadi Komandan Yonif 328/Kujang II Kostrad (1985-1988), satuan ini ditetapkan sebagai satuan terbaik dalam Operasi Seroja.
Panglima atau komandan operasi di Timor Leste acapkali berganti, tetapi yang paling diingat publik selalu Dading Kalbuadi. Keterlibatan Dading dalam Operasi Flamboyan (dan Seroja) semula tak lepas dari sentuhan Benny Moerdani, sahabat lamanya dari Solo.
Namun, dalam perkembangannya, Dading mampu membangun reputasi sebagai panglima perang pamungkas di era Indonesia modern.
Satu catatan penting: Dading bisa menjadi jendela untuk memahami bagaimana dunia batin perwira berlatar tradisi Banyumasan bila dikaitkan dengan perwira tipikal Mataraman (utamanya Suharto). Saat masih duduk di bangku SMP Purwokerto, Dading sudah tergabung dalam Pasukan Pelajar IMAM ("Indonesia Merdeka atau Mati"). Mayoritas anggota IMAM adalah pelajar yang bermukim di Purwokerto, ibu kota eks-Karesiden Banyumas.
Satuan ini terbilang unik karena Pasukan Pelajar IMAM secara komando terpisah dari Tentara Pelajar (TP) Jateng yang berpusat di Solo, yang dipimpin oleh Mayor Achmadi. Rupanya hal ini sudah bagian dari semangat tradisi Banyumasan sebagai daerah “pinggiran”, yang tak selalu tunduk pada Solo dan Yogya (pusat budaya Mataraman).
Nama Pasukan Pelajar IMAM kini diabadikan sebagai nama jalan pada sejumlah kota eks-karesiden Banyumas, dan tidak ditemukan di tempat lain.
Dalam militer Indonesia, tradisi berdasarkan rumpun atau primordial bisa dianggap sudah berakhir. Pudarnya pembentukan perwira berbasis tradisi ini terjadi secara gradual, selain karena surutnya keberadaan figur sentral sebagaimana telah dipaparkan di muka.
Faktor penentu lain adalah keberadaan sekolah perwira, misalnya Akademi Militer dan akademi bagi matra-matra lain. Proses pendidikan di Akmil dan sistem rotasi kewilayahan dalam penugasan ketika menjadi perwira tak memungkinkan lagi munculnya ikatan primordial seperti masa lalu.
Sepudar-pudarnya perwira tradisi Banyumasan, dengan munculnya Prabowo sebagai Presiden, publik akan ingat kembali, bahwa wilayah kultur Banyumas pernah memberikan kontribusi besar dalam pembentukan militer di tanah air, baik secara kelompok (pasukan) maupun dalam figur pimpinan, bahkan jauh hari sebelum Indonesia merdeka.
Sumber: Inilah