'Jangan Biarkan Publik Mengira Jokowi Masih Presiden, Lalu Prabowo Itu Apa?'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Dalam dinamika politik Indonesia pasca-Pemilu 2024, ada satu fenomena menarik yang tengah berkembang dalam persepsi publik: seolah-olah pemerintahan masih berada di bawah kendali penuh Joko Widodo (Jokowi), padahal mandat kepemimpinan sudah seharusnya beralih kepada Prabowo Subianto sebagai Presiden terpilih dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden.
Jika tidak diantisipasi, persepsi ini bisa berkembang menjadi opini umum yang menciptakan kebingungan politik dan merusak legitimasi kepemimpinan baru.
Salah satu kasus yang mencerminkan problematika ini adalah kebijakan pemagaran laut yang menimbulkan polemik besar.
Prabowo, yang kini telah menjabat sebagai Presiden, telah memerintahkan agar pagar tersebut dicabut.
Namun, yang menjadi perhatian publik bukan hanya soal pencabutan kebijakan itu, melainkan bagaimana peran Jokowi dalam keputusan awal pemasangan pagar tersebut.
Situasi ini menegaskan bahwa meskipun secara resmi bukan lagi Presiden, bayang-bayang Jokowi masih sangat kuat dalam berbagai kebijakan pemerintahan.
Ketika kebijakan ini menuai protes luas, para menteri yang seharusnya bertanggung jawab mulai cuci tangan, menghindari tanggung jawab, dan saling melempar beban.
Akhirnya, sorotan kembali tertuju pada Jokowi sebagai sosok yang berada di balik banyak keputusan kontroversial.
Bahkan orang yang paling awam dalam politik pun bisa melihat dengan jelas bagaimana pengaruh Jokowi masih mendominasi jalannya pemerintahan.
Fenomena ini berbahaya jika dibiarkan terus berkembang. Jika opini publik semakin mengarah pada anggapan bahwa Jokowi masih menjadi Presiden de facto, maka posisi Prabowo sebagai pemimpin yang sah akan menjadi semakin lemah di mata rakyat.
Kredibilitasnya sebagai kepala negara bisa tergerus jika ia tidak segera mengambil langkah tegas untuk menunjukkan bahwa ia benar-benar pemegang kendali penuh atas pemerintahan.
Maka, tantangan terbesar bagi Prabowo saat ini bukan hanya sekadar menjalankan roda pemerintahan, tetapi juga membangun persepsi publik bahwa ia adalah pengambil keputusan utama, bukan sekadar figur simbolis yang berada di bawah bayang-bayang pendahulunya.
Jika tidak, maka situasi ini bisa menjadi bom waktu yang meledak di kemudian hari, menggerus kepercayaan rakyat dan memperumit stabilitas politik nasional. ***