EKBIS KRIMINAL POLITIK

IRONI! Rintihan Warga Tersisih Proyek PIK 2: 'Tanah Kami Kau Minta, Sungai Punya Tuhan Pun Kau Rampas'

DEMOCRAZY.ID
Januari 19, 2025
0 Komentar
Beranda
EKBIS
KRIMINAL
POLITIK
IRONI! Rintihan Warga Tersisih Proyek PIK 2: 'Tanah Kami Kau Minta, Sungai Punya Tuhan Pun Kau Rampas'



DEMOCRAZY.ID - Darma (56) tidak pernah menyangka siang itu akan menjadi pertemuannya yang terakhir dengan Kali Malang, sungai yang selama puluhan tahun menjadi tumpuan hidupnya.


Dengan jala yang sudah usang dan tas kecil berisi alat pancing, ia berjalan perlahan di tepian sungai di Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang. 


Harapan sederhana mengiringi langkahnya: membawa pulang ikan untuk makan malam keluarga. 


Tapi, yang ia temukan bukanlah aliran sungai yang riuh, melainkan hamparan pasir menggunung, menutupi nadi kehidupan yang dulu mengalir tanpa henti.


“Biasanya ikan-ikan banyak di sini, tinggal lempar jala. Tapi sekarang? Kosong. Sunyi,” ujar Darma dengan suara getir. 


Ia berdiri memandangi sungai yang telah berubah wujud, seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. 


Di balik gumulan pasir yang menutup aliran sungai, Darma hanya bisa meratapi lenyapnya sumber rezeki. 



“Saya juga enggak tahu ini siapa yang bikin. Tiba-tiba saja ada pasir tinggi di sini,” lanjutnya, menggoyangkan kepala penuh keputusasaan.


Tiga jam sudah ia bersama seorang kawan menyusuri anak-anak sungai yang tersisa. Namun, tak satu pun ikan berhasil ditangkap. 


Jala yang biasa penuh hasil tangkapan, kini hanya membawa kayu patah dan sisa-sisa jembatan kecil buatan warga yang sudah hancur. 


Kali Malang, yang dulu menjadi tempat favorit para pencari ikan, kini seperti kuburan sunyi yang kehilangan kehidupan.


“Nasib…nasib,” gerutu Darma setiap kali menarik jalanya yang kosong. 


Tangan kasarnya menggenggam jala, sementara matanya nanar menatap aliran sungai yang telah berubah sempit, tertutup timbunan pasir.



Darma bukan satu-satunya yang kehilangan. Anak sungai ini, yang dahulu menjadi sumber irigasi bagi sawah dan tambak warga di Desa Kronjo dan Desa Muncung, kini berubah menjadi tumpukan pasir. 


Penimbunan besar-besaran yang diduga dilakukan oleh pengembang Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, telah mengubah wajah lingkungan ini secara dramatis. 


Namun, tidak ada pemberitahuan resmi, tidak ada sosialisasi, dan tidak ada yang peduli terhadap nasib warga.


Bisik-bisik di antara penduduk menyebut proyek ini bertujuan membuka akses jalan untuk pembangunan besar-besaran. 


Tapi bagi Darma dan warga lainnya, proyek ini tak lebih dari mimpi buruk yang merampas segalanya. 


Sawah-sawah di desa juga ikut diuruk, menjadikan tanah-tanah produktif berubah fungsi. 


“Katanya buat jalan tol, tapi siapa yang tahu kebenarannya?” ujar Darma sambil menunjuk ke arah selatan.


Kali Malang, meski hanya sebuah anak sungai, memiliki arti penting bagi kehidupan warga. 


Ia adalah urat nadi bagi tambak, empang, dan sawah, yang selama bertahun-tahun menjadi sumber penghidupan. Kini, nadi itu tersumbat oleh kepentingan besar para pemodal.


Tak hanya sungai, warga Desa Kronjo juga harus merelakan lahan-lahan mereka dibeli dengan harga murah. Sawah yang dulu menjadi kebanggaan, kini berubah menjadi milik para pengembang. 


Proses jual beli tanah ini dilakukan dengan cara yang jauh dari adil. Calo-calo berbadan tegap mendatangi rumah warga, membawa tawaran yang sulit ditolak.


“Sawah dihargai cuma Rp50 ribu per meter, tambak malah lebih murah, Rp35 ribu. Tapi kalau tidak dijual, sawahnya langsung diuruk begitu saja,” kata Syaiful (39), warga setempat. 


Suaranya datar, nyaris tanpa emosi, meski matanya memancarkan kesedihan.


Lebih menyakitkan lagi, pembayaran sering dilakukan secara mencicil. Warga, yang sudah terdesak kebutuhan ekonomi dan tekanan psikologis, tak punya banyak pilihan selain menyerahkan tanah mereka. 


“Kadang ada yang menolak jual, tapi tetap saja tanahnya diuruk. Kami benar-benar tidak berdaya. Sungai yang jelas punya negara, atau punya Tuhan lah istilahnya, tetap diambil sama mereka," ujar Syaiful.


Perlawanan yang Senyap


Namun, warga Kronjo dan Muncung tidak tinggal diam. Berulang kali mereka menggelar aksi protes, menyuarakan ketidakadilan yang mereka alami. 


Pada Rabu petang (15/1/2025), puluhan warga menggelar demonstrasi di depan kantor Desa Muncung. 


Mereka membawa spanduk dan poster, menuntut pengembang menghentikan proyek yang telah merusak lingkungan dan memiskinkan masyarakat.


“Sebenarnya aksi ini percuma. Pemerintah desa, RT, RW, semuanya sudah ‘masuk angin’. Tapi setidaknya, ini usaha terakhir kami supaya viral, biar Presiden dengar,” ujar seorang warga yang tak mau disebutkan namanya.



Sayangnya, hasil dari perjuangan itu belum terlihat. Sungai yang dulu lebarnya lebih dari 10 meter kini hanya menyisakan aliran kecil selebar 2-3 meter. 


Pagar laut yang dibangun di pesisir pantai tetap berdiri kokoh, menghalangi aktivitas nelayan. Warga hanya bisa berharap, suatu hari keadilan akan berpihak kepada mereka.


Kisah Darma dan warga Kronjo adalah potret kecil dari bagaimana pembangunan sering kali mengorbankan mereka yang lemah. 


Sungai, sawah, dan tambak yang seharusnya menjadi bagian dari kehidupan, dirampas atas nama kepentingan ekonomi. 


Mereka yang tak bersuara, akhirnya hanya bisa menanggung luka di tanah kelahiran mereka sendiri.


Sumber: INILAH

Penulis blog