CATATAN POLITIK

'Incompetency' Lebih Berbahaya daripada 'Kejahatan': Celakanya Jokowi Adalah Kombinasi dari Keduanya!

DEMOCRAZY.ID
Januari 16, 2025
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
'Incompetency' Lebih Berbahaya daripada 'Kejahatan': Celakanya Jokowi Adalah Kombinasi dari Keduanya!


'Incompetency' Lebih Berbahaya daripada 'Kejahatan': Celakanya Jokowi Adalah Kombinasi dari Keduanya!


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Ketidakmampuan (incompetency) sering kali lebih berbahaya daripada kejahatan. 


Jika kejahatan adalah tindakan sadar yang dilakukan dengan tujuan tertentu, ketidakmampuan merupakan ketidaktahuan atau ketidakmampuan untuk bertindak dengan benar, yang dampaknya justru bisa jauh lebih merusak. 


Dalam konteks kepemimpinan nasional, bahaya ini menjadi lebih signifikan karena melibatkan nasib jutaan orang. 


Ironisnya, era kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) di Indonesia menunjukkan kombinasi keduanya—sebuah tragedi bagi negara yang seharusnya melangkah maju.


Bahaya Incompetency dalam Kepemimpinan

Seorang pemimpin yang tidak kompeten sering kali gagal memahami kompleksitas permasalahan yang ada. 


Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan tidak hanya tidak efektif tetapi juga berpotensi merugikan. 


Sebagai contoh, fokus Jokowi pada proyek-proyek infrastruktur besar seperti pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) menunjukkan prioritas yang tidak seimbang. 


Sementara itu, sektor pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat tertinggal jauh.


Ketidakmampuan ini terlihat dari keputusan-keputusan strategis yang tidak mempertimbangkan implikasi jangka panjang. 


Proyek-proyek besar yang membanggakan di media sering kali tidak disertai dengan perencanaan yang matang. 


Hasilnya adalah pembengkakan anggaran, utang negara yang terus meningkat, dan kualitas hidup masyarakat yang tidak membaik. 


Ketidakmampuan seperti ini bahkan lebih berbahaya dibandingkan kejahatan karena sering kali disamarkan dengan retorika “niat baik” yang menyesatkan.


Ketika Kejahatan Melengkapi Ketidakmampuan

Lebih buruk lagi, ketidakmampuan Jokowi sebagai pemimpin sering kali berjalan beriringan dengan elemen-elemen kejahatan dalam pemerintahannya. 


Nepotisme yang mencolok, mulai dari penempatan keluarga dalam posisi strategis hingga politisasi lembaga negara, menunjukkan bagaimana kekuasaan digunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.


Sebagai contoh, pengangkatan Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum PSI tidak dapat dilepaskan dari narasi dinasti politik. 


Ini bukan hanya soal etika, tetapi juga tentang bagaimana institusi politik yang seharusnya menjadi ruang demokrasi berubah menjadi alat kekuasaan keluarga. 


Ketika kombinasi antara ketidakmampuan dan kejahatan ini terjadi, kerusakan yang dihasilkan menjadi jauh lebih besar dan sulit diperbaiki.


Efek Sistemik: Kehancuran yang Terstruktur

Gabungan antara incompetency dan kejahatan menciptakan efek sistemik yang menghancurkan. 


Ketidakmampuan menghasilkan kebijakan yang lemah dan salah arah, sementara kejahatan memperparahnya dengan mengorbankan kepentingan rakyat demi keuntungan segelintir pihak.


Korupsi menjadi endemik, hukum tumpul terhadap elite, dan ketidakadilan sosial semakin meluas.


Sebagai contoh, utang luar negeri Indonesia terus membengkak tanpa diimbangi oleh peningkatan produktivitas ekonomi. 


Sementara itu, rakyat yang tercekik dengan kenaikan harga kebutuhan pokok tidak mendapatkan solusi nyata dari pemerintah. 


Situasi ini menunjukkan bagaimana ketidakmampuan dalam mengelola negara diperburuk oleh ketidakjujuran dalam menjalankan amanah.


Harapan yang Terkikis

Kombinasi antara ketidakmampuan dan kejahatan ini menghancurkan kepercayaan rakyat terhadap institusi negara. 


Ketika pemimpin tidak mampu memberikan solusi atas masalah yang dihadapi bangsa, sementara kejahatan terus terjadi tanpa konsekuensi yang nyata, harapan rakyat perlahan terkikis. Ini adalah kondisi yang sangat berbahaya bagi masa depan demokrasi di Indonesia.


Kesimpulan: Sebuah Seruan untuk Perubahan

Era kepemimpinan Jokowi menjadi cerminan tragis bagaimana incompetency dan kejahatan dapat berjalan beriringan dan menciptakan kerusakan yang masif. 


Ini adalah pengingat bahwa seorang pemimpin tidak hanya harus memiliki integritas, tetapi juga kompetensi. 


Indonesia membutuhkan pemimpin yang mampu memahami kompleksitas permasalahan bangsa, sekaligus memiliki keberanian untuk menegakkan keadilan dan kejujuran.


Jika ketidakmampuan adalah bahaya tersembunyi dan kejahatan adalah luka yang terlihat, maka kombinasi keduanya adalah malapetaka yang tidak boleh dibiarkan berlanjut. 


Sudah saatnya bangsa ini bergerak menuju arah yang lebih baik, dengan memilih pemimpin yang benar-benar mampu dan bersih, demi masa depan yang lebih cerah.


Sumber: FusilatNews

Penulis blog