Gibran Telah Mendapat Rapor Merah: 'Lalu Harus Bagaimana? DO Saja!'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Kritik tajam kepada Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka semakin deras mengalir, bak air bah yang tak terbendung.
Sosok muda yang seharusnya membawa harapan dan pembaruan justru kini terjebak dalam labirin kegagalan dan ketidakmampuan.
Netizen, sebagai representasi suara rakyat, terang-terangan memberi rapor merah kepada Gibran.
Sebuah catatan buruk yang mencerminkan ketidakpuasan terhadap kinerja dan kapasitasnya. Maka, pertanyaannya: apa yang harus dilakukan?
Dari Ambisi ke Kekecewaan
Keputusan Gibran untuk maju dalam dunia politik nasional dipandang banyak pihak sebagai ambisi pribadi yang lebih mengandalkan privilege ketimbang kemampuan. Nama besar keluarga Jokowi jelas menjadi tiket emas yang membawanya ke puncak kekuasaan.
Namun, kekuasaan tanpa kompetensi hanya akan menjadi bencana. Lihat saja, dalam waktu singkat, berbagai isu terkait kepemimpinannya mencuat, mulai dari kebijakan yang tidak tegas hingga ketidakmampuannya menghadapi tekanan politik.
Ketika rakyat membutuhkan seorang pemimpin yang tangguh, cerdas, dan mampu menghadapi tantangan, Gibran justru terlihat canggung dan terkesan sebagai boneka kekuasaan.
Keberadaan di lingkaran elite politik membuatnya lebih sibuk mengamankan kepentingan oligarki daripada fokus pada tugas utamanya: melindungi, mencerdaskan, dan mensejahterakan rakyat.
Rapor Merah untuk Wakil Rakyat
Rapor merah yang diberikan netizen bukan tanpa alasan. Kebijakan-kebijakan strategis yang seharusnya menunjukkan keberpihakannya pada rakyat kecil justru nihil.
Program-program yang digadang-gadang mampu membawa perubahan, seperti peningkatan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan, tak lebih dari janji manis tanpa realisasi yang berarti.
Sebaliknya, kebijakan populis yang sekadar mencari popularitas terus bermunculan. Hal ini hanya membuktikan bahwa Gibran belum memiliki visi kepemimpinan yang jelas.
Dalam situasi negara yang penuh dengan tantangan global seperti inflasi, ketimpangan ekonomi, dan ancaman kedaulatan nasional, Indonesia butuh lebih dari sekadar sosok muda yang hanya membawa nama besar. Indonesia butuh pemimpin sejati.
DO dari Istana?
Pendapat netizen yang meminta Gibran “di-DO” dari Istana mencerminkan kemarahan rakyat terhadap minimnya kontribusi nyata dari sang wakil presiden. Ide ini, meski terdengar ekstrem, layak menjadi refleksi bagi para elite politik.
Mengapa rakyat, yang seharusnya menjadi tujuan utama dari segala kebijakan, justru merasa tidak terlindungi, tidak terdidik, dan tidak sejahtera di bawah kepemimpinan mereka?
Jika pemimpin yang sedang menjabat tidak mampu memenuhi ekspektasi, maka mengganti dengan sosok yang lebih kompeten, tegas, jujur, dan berintegritas adalah solusi yang logis.
Demokrasi bukan tentang melanggengkan kekuasaan, melainkan tentang memastikan bahwa kepemimpinan selalu berada di tangan yang terbaik.
Belajar dari Sejarah
Sejarah Indonesia penuh dengan sosok pemimpin yang dihormati bukan karena privilege mereka, melainkan karena keberanian dan ketulusan mereka dalam membela rakyat.
Nama-nama seperti Bung Karno dan Bung Hatta tidak pernah diingat hanya karena mereka berasal dari keluarga terhormat, tetapi karena ide-ide besar dan keberanian mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa.
Bandingkan dengan saat ini, ketika nama besar lebih diutamakan daripada rekam jejak dan kapasitas. Jika keadaan ini dibiarkan, demokrasi Indonesia akan terus mundur, dan rakyat akan semakin kehilangan kepercayaan pada pemerintah.
Saatnya Bertindak
Rapor merah untuk Gibran adalah sinyal bahwa rakyat tidak puas dengan kinerja sang wakil presiden.
Hal ini seharusnya menjadi peringatan bagi seluruh elite politik untuk lebih serius dalam menjalankan amanah rakyat.
Bukan hanya Gibran, tetapi juga semua pemimpin yang saat ini menduduki jabatan strategis harus mengevaluasi diri. Jika mereka tidak mampu memenuhi ekspektasi, maka mereka harus rela mundur demi kebaikan bangsa.
Rakyat Indonesia sudah cukup lelah dengan pemimpin-pemimpin yang hanya pandai berbicara tanpa bukti nyata.
Indonesia butuh sosok yang bisa membawa perubahan, melindungi rakyat, mencerdaskan bangsa, dan mensejahterakan seluruh lapisan masyarakat.
Jika Gibran tidak mampu menjadi sosok tersebut, maka bukan hal yang berlebihan untuk meminta ia keluar dari Istana.
Pada akhirnya, jabatan adalah amanah, bukan hak. Jika amanah itu gagal dijalankan, maka kepergian dari kursi kekuasaan bukanlah aib, melainkan sebuah tanggung jawab.
Demi Indonesia yang lebih baik, sudah saatnya para pemimpin, termasuk Gibran, belajar menerima kritik dan mengambil langkah yang benar. Karena di balik rapor merah ini, ada suara rakyat yang tak boleh diabaikan. ***
Rapor 100 Hari Kerja Wapres Gibran Merah: Hanya Bernilai 3 dari 10
DEMOCRAZY.ID - Kinerja Wakil Presiden Grabowo Gibran mendapatkan rapor merah selama 100 hari pertama menjabat.
Berdasarkan hasil survei Center of Economic and Law Studies (Celios) Gibran hanya mendapatkan nilai 3 dari 10.
Bahkan sebanyak 31% hanya memberikan skor satu yang artinya sangat buruk dalam bekerja.
"Kinerja Wapres Gibran mendapatkan rapor sangat merah, skornya hanya 3 dari 10 atau sangat buruk," kata Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar dalam rilis hasil survei Kinerja Prabowo-Gibran, Selasa (21/1).
Lebih detil, dilihat dari beberapa aktivitas, para panel menilai kinerja wapres lebih banyak mengundang kontroversi seperti aplikasi lapor mas wapres dan bantuan wapres.
Selain itu, Gibran juga dinilai jarang memberikan pengarahan dan komunikasi publik di media sosial.
Meski begitu, Gibran mendapatkan nilai positif karena turut mengawasi berjalannya program makan bergizi gratis (MBG).
Namun, tetap saja para panel menilai Gibran hanya suka terhadap aktivitas-aktivitas populis.
"Walaupun ini menarik sebenarnya karena Gibran berjalan sendiri, bahkan Presiden Prabowo terlihat tidak banyak memantau pelaksanaan MBG," ujar Media.
Sebagai tambahan informasi, metodologi penilaian kinerja 100 hari kabinet Prabowo-Gibran menggunakan survey berbasis ekspert judgement.
Panel juri terdiri dari para jurnalis yang memiliki wawasan mendalam tentang kinerja pemerintah dari beragam media massa baik elektronik dan cetak.
Kemudian, setiap panelis memberikan penilaian berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Keberagaman panelis memastikan bahwa penilaian mencakup berbagai persepektif.
100 Hari Pertama, Prabowo Lebih Baik Dari Jokowi, Tapi Sejumlah Menteri Bermasalah
Kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka melebihi di era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun dibalik kepuasan publik, sejumlah menteri menunjukkan catatan negatif.
Diberitakan Kompas.com, survei Litbang Kompas periode Januari memperlihatkan bahwa tingkat kepuasan publik terhadap 100 hari kinerja pemerintahan Prabowo-Gibran sangat tinggi.
Berdasarkan survei Litbang Kompas terhadap 1.000 respoden yang dipilih secara acak menggunakan metode pencuplikan sistematis bertingkat di 38 provinsi Indonesia pada 4-10 Januari 2025, 80,9 persen responden menyatakan puas dengan kinerja pemerintahan Prabowo-Gibran di 100 hari pertama.
Sementara itu, hanya 19,1 persen responden yang menyatakan tidak puas dengan kinerja pemerintahan di bawah Prabowo-Gibran.
“Ini kalau kita lihat per bindang, jadi di politik keamanan paling tinggi ya, 85,8 persen,” kata Manajer Riset Litbang Kompas Ignatius Kristanto dalam memaparkan survei "Evaluasi 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran" secara virtual, Jumat (17/1/2025).
Dari data Litbang Kompas, tingkat kepuasan tersebut lebih tinggi dibanding bidang kesejahteraan sosial 83,7 persen; ekonomi 74,5 persen; dan hukum 72,1 persen.
Meski menempati posisi paling tinggi, kenaikan tingkat kepuasan di bidang politik dan keamanan sebenarnya tidak terlalu tinggi jika dibandingkan pada hasil survei Litbang Kompas periode Juni 2024 atau saat pemerintahan dipegang oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Tingkat kepuasan pada bidang politik dan keamanan hanya naik 0,3 persen dari era Jokowi. Lonjakan paling tajam justru terlihat pada bidang hukum dengan angka kepuasan dari 57,4 persen pada Juni 2024 menjadi 72,1 persen pada Januari 2025 atau bertambah 14,7 persen.
“Yang naik drastis yang penegakan hukum ini, dari pemerintahan jokowi terkahir itu 57,4 itu melonjak ke 72,1 karena isu korupsi yang gencar ini ditangkap-tangkap itu,” kata Kris.
Prabowo kalahkan Jokowi
Namun, secara keseluruhan memang tingkat kepuasan publik terhadap 100 hari pertama kerja pemerintahan Prabowo-Gibran memang sangat tinggi mencapai 80,9 persen.
Bahkan, Litbang Kompas memotret bahwa tingkat kepuasan publik terhadap 100 hari kinerja Prabowo-Gibran melampaui tingkat kepuasan terhadap kinerja 100 hari pemerintahan Presiden Jokowi.
Berdasarkan data Litbang Kompas, tingkat kepuasan publik pada 100 hari kerja Jokowi pada periode awal menjabat yakni periode 2014-2019.
Pada Januari 2015 atau 100 hari kinerja pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, Litbang Kompas mencatat bahwa tingkat kepuasan publik berada di angka 65,1 persen.
Meskipun, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi di akhir pemerintahannya, yakni pada 2024 mencapai 75,6 persen.
"Kepuasan terhadap kinerja Prabowo-Gibran tinggi 80,9 persen ini termasuk tinggi. Pak Jokowi kan 75,6 persen (di akhir periode pemerintahan)," ujar Kris.
"Pak Jokowi 65 (persen, pada 100 hari kinerja), sementara Pak Prabowo langsung 80 (persen),” katanya lagi.
Menteri-Menteri bermasalah
Dibalik tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Prabowo yang tinggi, sejumlah menteri menunjukkan catatan yang antagonis.
Hari ini, Senin 20 Januari 2024, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (diktisaintek), Satryo Soemantri Brodjonegoro, didemo anak buahnya.
ASN Kemendiktisaintek berunjuk rasa menentang kepemimpinan Satryo Soemantri sebagai Menteri Diktisaintek yang dianggap arogan. Belum jelas, ada masalah apa dibalik tuduhan itu.
Kemendiktisaintek juga belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait masalah ini.
Namun berbagai foto unjuk rasa di Kemendiktisaintek telah viral di media sosial pada Senin pagi. Di media sosial X (dahulu Twitter), kata "Dikti" menjadi trending di Indonesia pagi ini.
Dari berbagai foto yang beredar, salah satunya foto depan gedung Kemendiktisaintek yang terpampang spanduk besar bertuliskan "Pak Presiden, Selamatkan Kami Dari Menteri Pemarah, Suka Main Tampar, dan Main Pecat".
Ada juga video yang menunjukkan pegawai Kemendiktisaintek yang berunjuk rasa di depan kantor dengan membawa spanduk bertuliskan "Institusi Negara, Bukan Perusahaan Pribadi Satryo dan Istri". Ada juga spanduk bertuliskan "Kami ASN Dibayar Negara, Bekerja Untuk Negara, Bukan Babu Keluarga".
Selain spanduk, di depan pintu masuk utama gedung Kemendiktisaintek juga banyak karangan bunga yang isinya senada dengan aksi unjuk rasa tersebut.
Tak hanya di Kementerian Diktisaintek, Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Sakti Trenggono juga disorot publik. Pasalnya, pejabat nomor satu yang mengurusi soal laut ini mengaku tidak tahu adanya pagar laut di pantai utara Tangerang.
Padahal, pagar laut yang terbuat dari bambu itu sepanjang lebih dari 30 kilometer (KM).
Terbaru, Presiden Prabowo memerintahkan TNI AL untuk mencabut seluruh pagar bambu itu karena tidak berizin dan menyulitkan masyarakat.
Namun Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Sakti Trenggono malah meminta TNI AL menghentikan pencabutan pagar bambu itu. Alasannya, pihak KKP masih investigasi pihak yang bertanggung jawab atas pemagaran laut tersebut.
Sumber: KONTAN