Dinamika Kekuasaan: 'Dari Jokowi ke Gibran, Apa Yang Dipertaruhkan?'
Oleh: Damai Hari Lubis
Pengamat Kebijakan Umum, Hukum, dan Politik
Apakah Indonesia bisa bubar? Semoga tidak. Namun, jika dilihat dari perspektif sejarah perkembangan sosiologi, antropologi, dan dinamika bangsa-bangsa secara holistik, hal ini menjadi peringatan yang patut direnungkan.
Pemikiran ini mengacu pada teori Ibnu Khaldun (1332-1406 M), seorang filsuf dan sejarawan Muslim yang terkenal melalui karya monumentalnya, Muqaddimah.
Dalam kitabnya, ia menguraikan sejarah sebagai catatan tentang peradaban manusia yang menyeluruh, memadukan unsur sosiologi, antropologi, dan filsafat moral.
Ibnu Khaldun menekankan bahwa filsafat moral, khususnya yang berlandaskan ajaran Islam, bukan sekadar elemen tambahan, tetapi menjadi “ruh” sejarah.
Menurutnya, kehancuran suatu negara kerap disebabkan oleh sifat kecongkakan, hedonisme, dan ketidakadilan yang merajalela.
Al-Qur’an juga menegaskan bahwa kejayaan dan kehancuran suatu bangsa merupakan bagian dari siklus kehidupan:
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia.” (QS Ali Imran: 140)
Sejarah mencatat berbagai contoh negara yang runtuh, seperti Yugoslavia dan Uni Soviet.
Bahkan dalam konteks lokal, Indonesia pernah kehilangan Timor Timur akibat perpecahan.
Pelajaran dari sejarah menunjukkan bahwa kehancuran suatu bangsa sering kali terjadi akibat kepemimpinan yang tidak bijaksana, disertai dengan ketidakmampuan menjaga persatuan dan keadilan.
Ibnu Khaldun juga menguraikan bahwa kehidupan manusia selalu mengalami perubahan, baik berupa kemajuan maupun kemunduran.
Perubahan ini didorong oleh watak masyarakat, seperti solidaritas golongan, revolusi, hingga pemberontakan yang kerap memunculkan kerajaan atau negara baru. Namun, ketika kepemimpinan mulai kehilangan moralitas, kehancuran menjadi ancaman nyata.
Sejarah modern juga memberikan pelajaran penting. Di Eropa, konsep sejarah sebagai disiplin ilmiah baru dipopulerkan pada abad ke-19 oleh Hegel dan Leopold von Ranke, jauh setelah Ibnu Khaldun memaparkan gagasannya di abad ke-14.
Hegel, misalnya, membagi sejarah ke dalam tiga kategori: sejarah asli, sejarah reflektif, dan sejarah filosofis.
Namun, Ibnu Khaldun telah lebih dahulu menawarkan pendekatan yang menyeluruh, mencakup analisis sebab-akibat hingga tinjauan filosofis tentang moralitas sebagai dasar peradaban.
Dalam konteks Indonesia, pertanyaan tentang “bubar atau tidaknya” negara ini relevan ketika dikaitkan dengan kondisi politik saat ini.
Apakah negara ini akan mampu bertahan jika pola kepemimpinan terus diwariskan secara nepotis?
Sosok seperti Jokowi yang dianggap gagal menjaga keadilan dan kesejahteraan rakyat kemudian digantikan oleh putranya, Gibran, melalui jalur yang penuh kontroversi, jelas memunculkan kekhawatiran.
Analoginya, sejarah mencatat bahwa kerajaan Babilonia runtuh akibat kesewenang-wenangan pemimpinnya, meski ada Nabi Ibrahim yang melawan.
Jika rakyat Indonesia tidak berani menolak praktik-praktik politik yang korup dan manipulatif, kehancuran bisa menjadi ancaman nyata.
Oleh karena itu, mempertahankan moralitas, keadilan, dan integritas kepemimpinan adalah kunci untuk memastikan keberlanjutan negara.
Jangan sampai negeri ini terpecah belah hanya karena ketidakberanian melawan pemimpin yang korup dan sistem yang curang. ***