Berkaca Kepada SBY: 'Melihat Keresahan Jokowi Atas Dirinya Sendiri'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Michel Foucault pernah berkata bahwa kekuasaan itu adalah penderitaan. Kutipan ini terasa relevan jika kita melihat apa yang dilakukan oleh Joko Widodo (Jokowi) hari-hari ini.
Meskipun ia telah meninggalkan kursi presiden, langkah-langkahnya masih seperti seorang kepala negara aktif.
Aktivitasnya yang blusukan ke berbagai segmen masyarakat, menemui tokoh politik, dan menghadiri acara-acara strategis mencerminkan kegelisahan yang tak kunjung usai.
Ini adalah bentuk “penderitaan” yang dimaksud Foucault—beban kekuasaan yang tidak pernah benar-benar lepas, bahkan setelah mandat berakhir.
Dalam dunia psikologi, fenomena ini bisa dikaitkan dengan istilah ephosteis, sebuah kondisi kegelisahan sosial yang membuat seseorang terus-menerus merasa cemas dan tertekan dalam upaya menjaga citra atau mencari penerimaan publik.
Pada Jokowi, kegelisahan ini tampak menyatu dengan usahanya melindungi warisan politik dan, lebih khusus lagi, masa depan anaknya, Gibran Rakabuming Raka.
Kontrasnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan gambaran yang berbeda tentang bagaimana seorang mantan presiden menjalani masa pensiunnya. Ia memilih menulis, melukis, dan sesekali berjalan-jalan untuk melepas penat.
SBY terlihat tenang dengan dirinya sendiri, seolah telah berdamai dengan masa lalunya sebagai pemimpin.
Namun, ketenangan ini bukan datang begitu saja; ia adalah hasil dari kepercayaan diri yang tumbuh dari persiapan matang untuk generasi penerus, termasuk Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
SBY telah menyiapkan AHY untuk menjadi aktor politik yang matang. Dengan pengalaman di dunia militer, pendidikan yang teruji, dan pendewasaan di Partai Demokrat, AHY bukan hanya sekadar pewaris, melainkan pemimpin yang disiapkan untuk menghadapi dinamika politik nasional.
Ketika SBY memberikan dukungannya kepada Prabowo Subianto, banyak pihak menilai ini sebagai langkah untuk melapangkan jalan bagi AHY.
Namun, ini lebih tepat dilihat sebagai strategi politik yang memperhitungkan kepentingan bangsa, bukan sekadar ambisi keluarga.
Sebaliknya, Jokowi tampaknya belum memiliki keyakinan yang sama terhadap Gibran. Dengan latar belakang yang jauh lebih singkat di politik, Gibran melompat dari wali kota Solo ke kursi Wakil Presiden terpilih dalam waktu yang sangat singkat.
Ketidakmatangan ini membuat Jokowi bergerak aktif, menemui berbagai tokoh politik, termasuk Prabowo Subianto, untuk memastikan anaknya mendapat perlindungan politik yang memadai.
Ketika kita membandingkan kedua mantan presiden ini, terlihat jelas dua pendekatan yang berbeda terhadap kekuasaan dan warisan.
SBY, dengan segala kontroversinya, memilih jalur yang lebih tenang dan terukur, sementara Jokowi tampak masih terjebak dalam bayang-bayang kekuasaannya sendiri.
Masa pasca-kepemimpinan SBY mencerminkan pemimpin yang percaya diri dengan keputusan dan persiapannya, sedangkan Jokowi terlihat mencerminkan seseorang yang masih dibebani oleh ephosteis—kegelisahan sosial yang memaksanya untuk terus bergerak dan mencari validasi.
Dalam satu dekade kekuasaannya, Jokowi membawa banyak perubahan, tetapi juga meninggalkan jejak kontroversi, mulai dari nepotisme hingga berbagai pelanggaran hukum yang kerap disorot publik.
Pada akhirnya, kita bisa melihat bahwa kekuasaan tidak pernah benar-benar meninggalkan seorang pemimpin.
Jika SBY menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk membangun generasi penerus, maka Jokowi seolah masih bertarung dengan bayang-bayang masa lalunya sendiri.
Kedua mantan presiden ini memberikan kita pelajaran penting: kekuasaan, seperti kata Foucault, adalah penderitaan—tetapi bagaimana penderitaan itu dihadapi adalah pilihan masing-masing individu.
Sumber: FusilatNews