CATATAN HUKUM POLITIK

Mengadili Pemimpin Pasca Kekuasaan: 'Pelajaran dari Soeharto dan Potensi Kasus Jokowi'

DEMOCRAZY.ID
Desember 17, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
HUKUM
POLITIK
Mengadili Pemimpin Pasca Kekuasaan: 'Pelajaran dari Soeharto dan Potensi Kasus Jokowi'


Mengadili Pemimpin Pasca Kekuasaan: 'Pelajaran dari Soeharto dan Potensi Kasus Jokowi'


Usai lengser pada tahun 1998, Presiden Soeharto menghadapi gelombang tuntutan hukum. Ia diduga terlibat dalam berbagai skandal korupsi selama 32 tahun pemerintahannya. Namun, proses hukum terhadapnya tidak pernah benar-benar tuntas. 


Berbagai alasan, termasuk kondisi kesehatannya, digunakan sebagai dasar untuk menghentikan penyelidikan. 


Meski begitu, langkah menyeret Soeharto ke pengadilan menjadi preseden penting bahwa seorang pemimpin harus bertanggung jawab atas tindakan selama masa jabatannya, terutama jika melanggar hukum.


Kini, sejarah tampaknya berpotensi berulang. Setelah hampir satu dekade berkuasa, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menghadapi gelombang kritik dan tuduhan serius. 


Isu pelanggaran konstitusional, seperti dugaan intervensi terhadap Mahkamah Konstitusi (MK), muncul sebagai salah satu alasan utama yang mendorong wacana pemecatan dan kemungkinan proses hukum terhadapnya. 


Dalam konteks demokrasi dan supremasi hukum, langkah membawa Jokowi ke ranah hukum bisa menjadi simbol penting bagi tegaknya keadilan di Indonesia.


Soeharto: Awal dari Penegakan Hukum terhadap Pemimpin


Kasus Soeharto menunjukkan tantangan besar dalam mengadili pemimpin pasca kekuasaan. Selama memimpin, Soeharto memiliki pengaruh besar terhadap institusi negara, sehingga proses hukum yang berjalan setelah kejatuhannya menghadapi banyak hambatan. 


Selain alasan kesehatan, ada kekhawatiran mengenai stabilitas politik dan ekonomi, sehingga penyelesaian kasusnya dilakukan dengan cara kompromi politik. Akibatnya, keadilan bagi rakyat yang dirugikan selama pemerintahannya terabaikan.


Meski tidak tuntas, langkah hukum terhadap Soeharto memberi pesan bahwa tidak ada yang kebal hukum, termasuk mantan presiden. 


Namun, keberanian untuk melanjutkan proses hukum sering kali berbenturan dengan kepentingan politik yang lebih besar.


Jokowi: Tuduhan dan Potensi Kasus Hukum


Di era Jokowi, isu pelanggaran konstitusional menjadi salah satu tuduhan paling serius. Salah satu yang paling mencuat adalah dugaan intervensi terhadap MK terkait perubahan masa jabatan kepala daerah, yang dianggap sebagai langkah strategis untuk melanggengkan kekuasaan melalui jalur politik. 


Tindakan semacam ini bertentangan dengan semangat konstitusi yang mengutamakan demokrasi dan keadilan.


Selain itu, kebijakan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang kontroversial, dugaan nepotisme, serta pengelolaan anggaran negara yang dinilai tidak transparan, memperkuat alasan bagi pihak yang menginginkan Jokowi bertanggung jawab atas pemerintahannya. 


Jika PDIP, partai yang mengantarkannya ke kursi kepresidenan, benar-benar menyeret Jokowi ke ranah hukum, ini akan menjadi langkah berani yang menunjukkan komitmen terhadap supremasi hukum, meski berisiko menciptakan konflik politik internal.


Pentingnya Proses Hukum bagi Demokrasi


Mengadili mantan presiden bukan sekadar soal menghukum individu, tetapi juga tentang memperbaiki sistem. 


Proses ini memberikan pelajaran bahwa kekuasaan tidak boleh disalahgunakan. Dalam kasus Jokowi, jika dugaan pelanggaran benar terbukti, maka penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu. 


Hal ini juga akan menjadi pembelajaran bagi pemimpin masa depan untuk lebih berhati-hati dalam menjalankan amanah.


Namun, tantangan terbesar adalah memastikan bahwa proses hukum tidak dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. 


Proses hukum harus dilakukan secara adil, transparan, dan berdasarkan bukti yang kuat. Jika tidak, upaya ini hanya akan memperburuk polarisasi politik di Indonesia.


Penutup: Jalan Menuju Keadilan


Dari Soeharto hingga Jokowi, perjalanan mengadili pemimpin pasca kekuasaan menunjukkan bahwa keadilan adalah proses yang kompleks. 


Stabilitas politik, kepentingan partai, dan persepsi publik sering kali menjadi faktor yang memengaruhi langkah penegakan hukum. 


Namun, jika Indonesia ingin terus maju sebagai negara demokrasi, supremasi hukum harus ditegakkan, meski itu berarti menghadapi mantan pemimpin yang pernah dielu-elukan.


Mengadili Jokowi, jika memang ada bukti pelanggaran hukum, bukanlah soal balas dendam politik, tetapi langkah untuk menunjukkan bahwa tidak ada yang berada di atas hukum. 


PDIP, sebagai partai pengusung, memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan hal ini. 


Seperti kata pepatah, “Keadilan tidak boleh ditunda, karena keadilan yang tertunda adalah keadilan yang dinafikan.”


Sumber: FusilatNews

Penulis blog