DEMOCRAZY.ID - Ugal-ugalan membangun properti, membuat perekonomian China dilanda krisis.
Pertumbuhan ekonominya anjlok dua kuartal. Rumah dijual murah namun tak laku juga. Sehingga banyak wilayah di China kosong, dijuluki kota hantu.
Atas meredupnya perekonomian China, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengingatkan pemerintah.
Dampak memburuknya perekonomian di China ke Indonesia, naga-naganya lebih mengerikan ketimbang terpilihnya Donald Trump di Pilpres AS.
Saat ini, kata mantan Menko Kemaritiman dan Investasi (Marves) itu, pemerintah telah menggelontorkan stimulus yang angkanya super jumbo.
Mencapai US$3,4 triliun atau setara Rp52,7 kuadriliun (kurs Rp15.500/US$). Dana stimulus itu setara dengan 19 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) China.
Risikonya, kata Luhut, produk China bakal semakin banyak yang 'dibuang' ke pasar Indonesia.
Dikhawatirkan, produk lokal bakal tak laku yang berdampak kepada tutupnya industri di tanah air.
"Anda bisa bayangin, itu dampaknya gimana? ia bisa nanti oversupply, bisa dump juga," kata Luhut dalam acara ASN Talent Academy Explore di Kantor Lembaga Administrasi Negara (LAN), Jakarta Pusat, Senin (2/12/2024).
Luhut betul. Saat ini, perekonomian negeri Panda itu, tengah diguncang krisis.
Indikatornya, pertumbuhan ekonomi China mencapai 5,3 persen di kuartal I-2024.
Kuartal II, perekonomian China tertekan ke posisi 4,7 persen. Kuartal III-2024 kembali anjlok ke level 4,6 persen.
"Pemerintah China itu memberikan stimulus sangat besar karena keadaan ekonominya tidak baik-baik saja. Sekarang very-very jelek keadaan ekonomi dia (China)," ujar dia.
"Karena di provinsi, di daerah, mereka enggak bisa jual tanah, tidak bisa minjam, membuat ekonomi mereka stuck. Tapi dia keluarin stimulus sekarang," sambungnya.
Meski demikian, China merupakan mitra dagang penting Indonesia. Selain itu, Luhut mengapresiasi peran China dalam mendukung pembangunan di Indonesia, baik melalui investasi, teknologi, maupun tenaga kerja.
"Hubungan kita sama China, itu super penting juga. Tanpa China, kita enggak akan seperti hari ini. Itu kita harus akui. Ada investasinya, ada teknologinya, ada manusianya," ujarnya.
Lebih lanjut, Luhut juga menyoroti tantangan jangka menengah yang dihadapi Indonesia.
Di antaranya adalah ketahanan pangan global, perubahan iklim, transisi menuju ekonomi rendah karbon, disrupsi digital dan kecerdasan artifisial (AI), serta fragmentasi geopolitik.
Semua tantangan tersebut membutuhkan pendekatan yang hati-hati dan berbasis data.
Oleh karena itu, Indonesia perlu terus memperkuat tata kelola dan memastikan kebijakan berbasis data yang akurat.
Atas kondisi ini, menurutnya, Indonesia perlu mencermatinya hal-hal semacam ini, dengan baik.
Apalagi di saat yang bersamaan, Indonesia juga menghadapi berbagai tantangan jangka menengah yang tidak kalah besar beratnya, seperti ketahanan pangan.
"Kita harus lihat bagaimana ini. Kita bagaimana beras kita, bagaimana gula kita. Makanya dulu saya ngusulin, tapi dulu nggak disetujui. Ya sudah Pertamina ambil, misalnya untuk etanol di Brazil, dan kita impor barang kita sendiri. Tapi bilang mau bikin di tempat lain, ya silahkan kita lihat," kata Luhut.
Sumber: Inilah