'Gerbong Militer Prabowo Tidak Terangkut ke Istana'
Hampir seratus hari sudah Prabowo berkuasa, optimisme mengembang, terutama di kalangan pendukungnya. Namun ada soal yang nyaris terlupakan, ternyata ada beberapa orang dekat Prabowo sejak lama, yang tidak kunjung muncul di Istana, maksudnya tidak ada pengumuman resmi, mereka ini dapat posisi atau tidak.
Beberapa nama perwira yang sejak dulu dikenal dekat dengan Prabowo adalah Mayjen Purn Kivlan Zen (Akmil 1971) dan Mayjen Purn Muchdi Pr (Akmil 1970). Memang ada adagium yang mengatakan, tidak ada lawan atau kawan abadi dalam politik. Namun adagium ini kurang tepat untuk menggambarkan Kivlan dan Muchdi. Keduanya tentu saja tetap kawan bagi Prabowo, hanya mungkin kini sedikit berjarak, yang menjadikan keduanya tidak terbawa ke Istana.
Terpaksa Meninggalkan Teman
Koalisi yang mendukung Prabowo terlampau besar, itu sebabnya ketika ada pembagian “kue” jabatan, dengan terpaksa Prabowo melupakan sejenak kawan-kawan lamanya di militer, agar bisa memberi tempat pada elemen lain. Kita bisa menjadi paham sekarang, mengapa pada akhirnya Kivlan dan Muchdi tidak kunjung diumumkan untuk memperoleh jabatan tertentu. Sementara orang seperti Luhut Panjaitan (Akmil 1970), yang selama ini dianggap tidak terlalu dekat dengan Prabowo, justru masih mendapatkan tempat.
Saat menjadi taruna Akmil, Prabowo sempat tidak naik kelas, itu sebabnya Prabowo memiliki dua linkage lulusan Akmil, yaitu Akmil 1973 dan Akmil 1974. Pada masing-masing angkatan tersebut, Prabowo memiliki teman akrab (soulmate), yakni dengan Glenny Kairupan (Akmil 1973) dan Sjafrie Sjamsoeddin (Akmil 1974). Dalam hal ini Prabowo (mungkin dengan terpaksa) tidak bisa memberikan posisi menteri kepada Glenny, sebagaimana yang sudah diberikan kepada Sjafrie.
Karena itu tadi, Prabowo harus lebih memprioritaskan pihak luar, yang selama ini mendukungnya. Sehingga acapkali muncul nama-nama yang mungkin kurang familier di telinga publik, bahkan terkesan “ajaib”, saat diumumkan sebagai anggota kabinet atau posisi strategis lainnya di sekitaran kekuasaan. Glenny sempat disebut-sebut sebagai Menteri Sekretaris Negara, namun akhirnya tidak beranjak dari posisinya sekarang sebagai Komisaris PT Garuda Indonesia. Dan sebagai sahabat lama, tentu Glenny menerima ini dengan jiwa besar, dan tetap mendukung Prabowo dengan cara lain.
Selain dari generasi Akmil 1970-an, Prabowo juga memiliki lingkaran pertemanan dengan generasi yang lebih muda, yakni lulusan Akmil 1980-an, seperti Musa Bangun (Akmil 1983), Nugroho Widyotomo (Akmil 1983), dan Andogo Wiradi (Akmil 1981). Musa Bangun sempat disebut-sebut akan masuk kabinet, namun akhirnya luput juga.
Musa Bangun seharusnya pantas masuk, karena dia adalah pendukung militan Prabowo sejak Pilpres 2024. Dan lagi Musa Bangun (bersama Nugroho Widyotomo) aktif menggalang dukungan di kalangan purnawirawan, melalui PPIR (Purnawirawan Pejuang Indonesia Raya), organisasi sayap dari Gerindra. Musa Bangun adalah Ketua Umum PPIR.
Nama-nama dari generasi 1980-an tersebut, sudah berhubungan dengan Prabowo sejak masih sama-sama aktif di pasukan. Andogo Wiradi dan Musa Bangun, secara berturut-turut pernah menjadi Komandan Yonif Linud 328/Kujang II Kostrad pada pertengahan dekade 1990-an, yang kini lebih dikenal sebagai Yonif Para Raider 328/Dirgahayu, satuan yang juga pernah dipimpin Prabowo di masa lalu.
Andogo bahkan termasuk perwira generasi awal ketika Detasemen 81 (Den-81) Kopassus baru saja dibentuk oleh Prabowo (bersama Luhut Panjaitan). Andogo satu angkatan di Akmil maupun di Den-81 dengan Lodewijk Paulus, yang baru saja ditetapkan sebagai Wakil Menkopolkam, hanya karena “garis tangan” Andogo sedikit tertinggal. Yonif 328 dan Detasemen 81, adalah satuan yang sangat dicintai Prabowo.
Bila faktor usia kita jadikan ukuran, nama-nama seperti Musa Bangun, Nugroho Widyotomo, Andogo Wiradi, dan seterusnya, masih ada harapan untuk masuk lingkaran kekuasaan, setidaknya sebagai komisaris BUMN atau staf ahli di kementerian. Seandainya kelak ada perombakan kabinet, nama mereka adalah nominasi utama untuk masuk formasi. Mereka bisa belajar dari Glenny, yang tetap sabar dan berjiwa besar, kendati tidak masuk kabinet.
Berbeda halnya dengan Kivlan Zen dan Muchdi, yang sudah terlalu senior, apa mungkin akan ditarik (lagi) Prabowo ke lingkaran kekuasaan. Tentu berbeda dengan Luhut Panjaitan atau Agum Gumelar, yang masih memiliki posisi tawar terhadap Prabowo, kendati tipis-tipis saja. Agum bahkan berhasil “menitipkan” menantunya masuk dalam kabinet.
Dan lagi Kivlan dalam perkembangannya, terlampau sering bicara di forum publik, dan apa yang disampaikannya itu belum tentu selaras dengan visi Prabowo. Itu sebabnya Prabowo tidak mau terbebani. Apa boleh buat, bila Kivlan telah menjadi masa lalu bagi Prabowo.
Demikian juga dengan Muchdi, mengapa sejak awal tidak bergabung dengan Gerindra? Mungkin Muchdi memiliki perhitungan politik sendiri, sehingga lebih memilih bergabung ke partai lain. Tentu Muchdi bisa paham bila akhirnya juga bernasib seperti Kivlan, sama-sama “rehat” di luar lingkaran kekuasaan.
Belajar dari SBY dan Mas Eros
Situasi seperti yang dialami Prabowo, hampir mirip dengan yang dialami SBY saat berkuasa dulu. SBY adalah lulusan (terbaik) Akmil 1973, jadi sekelas dengan Glenny Kairupan, hanya mungkin keduanya berada pada lingkaran pertemanan yang berbeda. SBY lebih dekat pada lulusan Akmil 1973 yang lain, seperti Agus Wirahadikusumah (almarhum, terakhir Pangkostrad) dan Robert Romulo Simbolon (terakhir Sekretaris Menkopolhukam).
Saat menjadi Presiden (2004-2014), SBY rupanya tidak melupakan teman-temannya, yang karena berbagai alasan sempat terpinggirkan, salah satunya adalah Robert Romulo Simbolon. Benar, saat Gus Dur menjadi Presiden (1999-2001), nama Agus Wirahadikusumah demikian moncer, namun kariernya ibarat roller coaster, muncul cepat, hilangnya juga cepat. SBY sudah masuk kabinet saat Gus Dur dan Megawati berkuasa, namun belum bisa banyak membantu Agus WK dan RR Simbolon, dalam ikhtiar menyelamatkan karier keduanya.
Saat menjadi Presiden itulah, SBY mulai memiliki ruang untuk menyelamatkan RR Simbolon, dengan mengangkatnya sebagai Sekretaris Menkopolhukam, yang kebetulan Menkopolhukam juga generasi Akabri 73, yakni Djoko Sujanto (AAU 1973).
Dengan menjadi Sekretaris Menkopolhukam, RR Simbolon bisa memasuki masa pensiun dengan menyandang pangkat bintang tiga (letnan jenderal). Agus WK sayangnya sudah lebih dulu berpulang pada akhir tahun 2001, jauh sebelum SBY berkuasa.
Apa yang pernah dialami Mas Eros (Djarot) juga bisa menjadi pembelajaran, dalam konteks tidak pernah masuk lingkaran kekuasaan saat Megawati berkuasa. Eros Djarot sempat sangat dekat dengan Megawati, sejak Megawati masih Ketua Umum PDI (belum memakai label Perjuangan), hingga sebagai Ketua Umum PDI-P.
Eros adalah nama besar di bidang kesenian (musik dan film), kemudian berlanjut membangun karier sebagai politisi, tak salah bila Eros memilih PDI di masa Orde Baru, mengingat latar belakang keluarganya sebagai Soekarnois.
Eros ikut berkeringat agar Megawati bisa menjadi tokoh besar, dan ikut andil menjadikan Mega sebagai simbol perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Salah satu peran Eros adalah menyiapkan naskah pidato bagi Megawati.
Namun ketika Megawati sudah di puncak kekuasaan (2001-2004), dengan berbagai alasan Eros ditinggalkan. Bahkan ketika Eros mendirikan partai (2002), Megawati tidak berkenan ketika nama partainya memakai label Bung Karno (PNBK), sehingga akronim BK harus direvisi menjadi Banteng Kemerdekaan.
Satu hal yang menarik adalah, Eros tetap berjiwa besar, dalam berbagai tulisan atau ucapan, tidak ada narasi dendam Eros terhadap PDIP. Eros tetap memberikan masukan yang bernas pada PDIP, seperti ketika PDIP diserang dari segala penjuru.
Sumber: INILAH