DEMOCRAZY.ID - Terungkap 4 kejanggalan baru di kasus polisi tembak mati pelajar di Semarang, Jawa Tengah.
Hingga kini, Polda Jawa Tengah belum menetapkan pelaku penembakan, Aipda Robig Zaenudin sebagai tersangka penembakan pelajar berinisial GRO (17).
Padahal dari fakta-fakta yang diungkap Polda Jawa Tengah, dipastikan Aipda Robig Zaenudin menembak GRO tanpa tembakan peringatan yang berujung tewasnya pelajar berprestasi tersebut.
Kabid Humas Polda Jawa Tengah, Kombes Pol Artanto, beralasan penetapan tersangka belum dilakukan karena kasusnya masih penyelidikan, belum masuk penyidikan.
"Penetapan tersangka dilakukan setelah kasus naik ke penyidikan. Saat ini, Aipda Robig masih dalam status terperiksa," ujar Artanto di sela-sela Aksi Kamisan di depan Mapolda Jateng, Kamis (28/11/2024).
Berikut 4 kejanggalan baru kasus ini:
Selisih Waktu Kematian dan Pemberitahuan Polisi, Terlalu Lama
Bude GRO, Diah Pitasari, mengungkap sikap polisi yang tak kunjung memberitahu keluarga mengenai tewasnya sang ponakan.
Menurut Diah, selisih waktu kematian GRO dengan waktu polisi memberitahu keluarga, sangat panjang.
Dimana, Diah menerima informasi berdasarkan berita yang beredar bahwa GRO meninggal dunia pukul 02.00 WIB, Minggu (24/11/2024).
Namun, pihak keluarga baru dikabari bahwa GRO meninggal dunia pukul 12.27 WIB.
"Kita belum tahu, kita yang tidak terima, GRO disebut gangster itu lho, janggalnya sampai kita menerima berita kok lama sekali, kalau di berita Gamma meninggal jam 02.00 WIB, kita menerima berita 12.27 WIB siang," katanya kepada TribunSolo.com, Jumat (29/11/2024).
"Itupun pas di kamar jenazah, Gamma sudah dikain kafani, hanya dibuka wajahnya, kita diminta memastikan itu Gamma, tidak lihat tubuh," sambungnya.
2. Polisi Cari Informasi tentang Korban
Tak hanya itu, Diah mengungkap bahwa pada Minggu subuh, ada anggota polisi yang mencari informasi mengenai Gamma ke tetangga sekitar.
"Kata tetangga sekitar subuh itu ada anggota yang mencari keberadaan GRO, tapi tidak ditemukan, karena pada saat kejadian, tidak ada data, hanya diketahui berdasar sidik jari, yang mengarah ke alamat Utinya," terangnya.
"Yang pertama ditanya, tetangga itu tidak tahu siapa GRO, jam 08.00-09.00, ada anggota yang menyisir, kebetulan tahu, kan sudah tahu posisi korban dimana, mengapa kita tahu 12.27 WIB, itu pun yang memberi kabar bukan anggota," terangnya.
Diah sendiri kenal betul siapa sosok GRO. Karena rumahnya tinggal Diah berdekatan dengan rumah nenek GRO.
Selain itu, Diah yang merawat GRO setelah ibu GRO meninggal dunia.
3. Polisi Tak Beri Tahu Penyebab Kematian Korban
Enam hari pascakematian GRO, keluarga korban menyetujui pembongkaran makam korban.
Kakek korban, S, mewakili keluarga setuju dan ikhlas atas pembongkaran GRO oleh polisi.
Dia berharap, pembongkaran makam itu memperlancar proses penanganan kejadian yang menewaskan cucunya. S mengaku tidak tahu penyebab kematian cucunya itu.
Oleh karena itu dia setuju dilakukan ekshumasi untuk mengetahui penyebab kematian GRO.
"Setuju (ekshumasi), demi keadilan," kata Siman kepada wartawan, termasuk Tribun Jateng, di TPU daerah Kecamatan Karangmalang, Kabupaten Sragen, Jumat (29/11).
S mengaku tidak tahu, cucunya meninggal dunia karena tertembak.
Penyebab kematian cucunya tersebut diketahui saat hendak dilakukan proses ekshumasi, setelah mendapatkan informasi yang beredar di masyarakat.
Dia tidak diberi tahu dari pihak berwenang penyebab kematian cucunya saat jenazah dibawa ke rumah duka di Kabupaten Sragen untuk dimakamkan.
Di sisi lain dia juga tidak tahu apakah ada luka-luka pada jenazah cucunya.
"Dibuka namung rai thok, kepengen weruh bener putu kula napa mboten (Dibuka hanya bagian wajah saja, ingin tahu apakah benar cucu saya atau bukan)," ungkapnya.
S mengungkapkan, cucunya merupakan sosok yang pendiam dan penurut.
Biasanya cucunya itu pulang ke Sragen saat momen Lebaran atau libur sekolah.
"Pendiam, bukan anak nakal, penurut. Kalau tidak diajak ngomong, tidak ngomong," ungkapnya.
4. Polisi Tak Mau Perlihatkan CCTV ke Komnas HAM
Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Pol Artanto mengatakan, mengklaim memiliki bukti rekaman CCTV terkait penembakan itu.
"Nanti akan dilakukan penyelidikan dan kroscek dengan saksi-saksi yang ada," sambung Artanto.
Meski mengaku punya bukti rekaman CCTV, Artanto menolak memperlihatkan rekaman adegan penembakan tersebut.
"(Jangan) Itu sebagai alat kita untuk proses hukum. Bukti kita jangan sampai (keluar) lalu menjadi konsumsi banyak orang," dalih Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Jawa Tengah Kombes Pol Artanto di Mapolrestabes Semarang, Rabu (27/11/2024).
Menurutnya, adegan ini menjadi bagian krusial terutama soal klaim polisi bahwa Aipda Robig Zaenudin diserang ketiga korban meliputi GRO (korban tewas), AD (luka tembak di dada) dan SA (luka tembak di tangan).
Polisi menuding ketiga korban menyerang terlebih dahulu ke Aipda Robig sehingga dia meletuskan pistolnya sebanyak dua kali.
"(Nembaknya) pakai senjata organik. Dimiliki oleh yang bersangkutan," beber Artanto.
Polisi juga enggan membeberkan posisi penembakan antara Aipda Robig dengan korban.
"Itu nanti kita sampaikan diproses penyelidikan," terang Artanto.
Dia juga membantah soal kabar Aipda Robiq tengah mabuk minuman keras ketika kejadian penembakan.
"Anggota itu mau pulang ke rumah lalu melintas ada keompok kreak (gangster)," bebernya.
Terpisah, Koordinator Sub Penegakan HAM Pemantauan dan Penyelidikan, Uli Parulian Sihombing mengatakan, pihak kepolisian tak memperlihatkan video penembakan kepadanya.
Video yang dimaksud adalah saat Aipda Robif Zenudin (38) menembak tiga pelajar berinisial GRO, AD (17), dan SA (16).
GRO meninggal dunia akibat ditembak satu kali di bagian pinggul.
Lalu, satu tembakan lainnya menyasar AD dan SA yang mengalami luka tembak di tangan dan dada.
Video tersebutlah yang tak diperlihatkan kepada Komnas HAM.
Meski begitu, pihaknya bakal menelusuri informasi tersebut dengan mekanisme tersendiri untuk mendapatkan alat bukti sesuai SOP yang ada di Komnas HAM.
"(tidak dilihatkan) karena itu untuk kebutuhan kepolisian jadi kami tidak bisa mengomentari itu," ungkapnya.
Komnas HAM meminta polisi untuk lebih transparan dalam penanganan kasus ini.
Ia juga menyebut, penanganan tawuran bukan dengan menembak.
"Penanganan kasus tawuran sudah seharusnya menggunakan tindakan humanis (bukan ditembak)," ungkapnya.