DEMOCRAZY.ID - Kehobahan soal akun Fufufafa yang diketahui telah menghina sejumlah tokoh politik masih terus bergulir. Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka diduga sebagai pemilik akun kontroversial tersebut
Ahli hukum tata negara Feri Amsari menyayangkan kurangnya respon dari Gibran padahal dirinya menjadi tertuduh utama.
"Bayangkan, satu republik heboh soal siapa pemilik akun ini, tapi sama sekali tidak ada pembuktian," kata Feri, dikutip dari YouTube Abraham Samad, Sabtu (30/11/2024).
Seharusnya, lanjut Feri, Gibran memberi bantahan sekaligus menyertakan bukti bahwa pemilik akun misterius itu memang bukan miliknya.
Kemudian setelah itu, Gibran berupaya membersihkan nama baiknya dari tuduhan.
Namun kenyataannya, yang terjadi justru sebaliknya. Tidak ada langkah untuk memperbaiki nama baik atau mengklarifikasi secara mendalam.
"Seharusnya, Wakil Presiden bersikap tegas dengan mengatakan 'itu bukan akun saya' dan bersama-sama membuktikan kebenarannya," katanya.
Jika kondisinya demikian dan dibiarkan berlarut-larut, Peneliti senior di Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Unand itu khawatir bahwa fufufafa memang milik Gibran.
Apalagi sudah banyak bukti-bukti bertebaran di media sosial yang menunjukkan keterkaitan Gibran dengan Fufufafa.
Salah satunya adalah kesamaan nomor telepon antara Gibran dan akun Fufufafa.
"Nomor telepon itu bahkan tercatat digunakan saat Gibran mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo. Jika benar, ini menjadi persoalan serius," tambah Lulusan pendidikan pascasarjana dari William & Mary Law School, Virginia, Amerika Serikat (AS) tersebut.
Tuntutan Publik dan Potensi Langkah Hukum
Feri juga menyoroti lemahnya upaya Wakil Presiden dan pendukungnya dalam membantah tudingan tersebut.
Ia menyebut bahwa publik memiliki hak untuk membawa persoalan ini ke jalur hukum.
"Publik bisa menyusun laporan resmi soal dugaan pelanggaran konstitusi atau perbuatan tercela oleh Wakil Presiden dan menyerahkannya ke parlemen untuk ditindaklanjuti," jelasnya.
Ia juga membuka kemungkinan untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika terdapat bukti kuat bahwa akun Fufufafa terlibat dalam pelanggaran hukum, termasuk dalam proses pemilu.
"Jika kasus ini dibawa ke sidang MK, kita bisa membongkar berbagai kejahatan pemilu yang mungkin dilakukan oleh akun tersebut maupun aktor-aktor di baliknya," tegasnya.
Potensi Pemakzulan di Depan MK
Lebih jauh, Feri menyebut bahwa jika sidang MK menemukan bukti pelanggaran konstitusi, maka langkah pemakzulan terhadap Wakil Presiden bisa menjadi opsi yang dipertimbangkan.
"Ini akan menjadi preseden pertama di mana seorang Wakil Presiden atau Presiden dimakzulkan atas dugaan melanggar konstitusi. Kita perlu mendengar bagaimana mereka membantah tudingan ini di forum resmi," ujarnya.
[VIDEO]
Gibran Bisa Dimakzulkan dari Kursi Wapres Atas Kasus Akun Fufufafa, Bivitri Ungkap Caranya!
Wakil Presiden (Wapres) RI, Gibran Rakabuming Raka berpotensi untuk dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya yang diduga sebagai pemilik akun Kaskus Fufufafa.
Bahkan, Gibran disebut bisa dijerat dengan pasal pemakzulan jika terbukti sebagai pemilik akun Fufufafa.
Pernyataan itu diungkapkan oleh Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti alias Bibip saat ditemui Jurnalis di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (26/11/2024).
Awalnya, Bibip menyebut memang sulit menyeret Gibran menggunakan pasal pidana karena bisa jadi tidak diproses oleh aparat penegak hukum.
Namun, menurutnya, Gibran bisa dikenakan pasal pemakzulan 7A dan 7B sehingga dia bisa diturunkan dari jabatannya sebagai wapres.
Setelah itu, baru dilanjutkan prosea hukum lain terkait dugaan kepemilikan akun Fufufafa.
"Bedanya, pasal pidana pasti laporannya harus ke polisi dulu. Polisi, jaksa, terus pidana. Kalau pasal 7A dan 7B itu lebih banyak persoalan politiknya. Karena itu ada di konstitusi. Jadi pertama-tama kita harus menyajikan bukti dan argumen ke DPR dulu. Karena DPR yang harus ke MK," jelas Bivitri usai acara diskusi 'Pelanggaran Konstitusi, Etika, Fufufafa dan Akibat Hukumnya' di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa.
Namun, menggunakan pasal pemakzulan juga bukan perkara mudah. Karena dibutuhkan proses politik yang melibatkan DPR.
"Walaupun nanti secara hukum dibuktikan oleh MK, tapi lebih berat situasi politiknya pasti kalau pakai konstitusi," ujar Bivitri.
Akademisi Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera itu mengatakan kalau cara tersebut bisa jadi berat karena gugatan pemakzulannya perlu dilakukan oleh anggota DPR.
Namun, sebagaimana diketahui bahwa partai-partai di parlemen saat ini termasuk dalam koalisi pemerintah, kecuali PDI Perjuangan yang belum menyatakan sikap.
"Setelah dibaca petanya, ternyata pasal 7A dan 7B itu menunjukkan bahwa ini sangat berat untuk politiknya. Jadi kalau saya sih melihatnya ya paling satu, PDI perjuangan doang (oposisi). Itu juga masih setengah-setengah ya," tuturnya.
Oleh sebab itu, Bivitri mendorong adanya gerakan dari maayarakat sipil untuk mendorong pemakzulan tersebut.
"Saya kira akan sangat berat kalau ngarepinnya cuma DPR. Makanya alternatifnya yaitu gerakan oleh masyarakat sendiri. Itu yang masih kita dorong," pungkasnya.
Sumber: Suara