CATATAN POLITIK

'Jejak Rivalitas Militer dan Polisi dalam Pilkada Jateng'

DEMOCRAZY.ID
November 19, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
'Jejak Rivalitas Militer dan Polisi dalam Pilkada Jateng'


'Jejak Rivalitas Militer dan Polisi dalam Pilkada Jateng'


Pilkada Gubernur di Jawa selalu memiliki daya tarik tersendiri, namun Pilgub di Jawa Tengah (Jateng) kali ini menarik perhatian lebih, terutama dari perspektif seorang pengamat militer. 


Dalam kontestasi tersebut, dua calon gubernur yang maju adalah figur perwira tinggi militer dan perwira tinggi polisi. 


Hal ini menyoroti rivalitas panjang antara TNI (terutama Angkatan Darat) dan Polri, yang hingga kini masih menyisakan jejak yang dalam dalam kehidupan politik dan sosial Indonesia.


Rivalitas ini, baik di tingkat institusi maupun komunitas, memiliki dampak yang cukup besar. Konflik antara TNI dan Polri di tingkat institusi bisa lebih mudah dikelola dan dipahami, meskipun tetap ada ketegangan yang perlu diwaspadai. 


Sementara itu, di tingkat komunitas (yang seringkali melibatkan oknum), rivalitas ini lebih rumit dan sulit diatasi. Pada level pimpinan, meskipun terlihat harmonis dengan jabat tangan yang erat dalam acara resmi, realitas di lapangan tidak selalu demikian. 


Tentu saja, para pimpinan satuan di TNI dan Polri berusaha keras untuk menahan agar ketegangan ini tidak meledak.


Namun, ketegangan di lapangan, seperti yang terlihat dalam Pilkada Jateng ini, kerap muncul dalam bentuk sindiran atau konfrontasi melalui media sosial, yang sering melibatkan nama institusi.


Tradisi Konflik antara TNI dan Polri  


Publik Indonesia tentunya tidak asing dengan sejarah panjang rivalitas TNI dan Polri. Pada era Orde Baru, Polri yang masih berada di bawah ABRI sering kali terpinggirkan, baik dalam hal politik maupun pengambilan keputusan. 


Salah satu contoh yang mengingatkan kita pada politikisasi Polri adalah pengangkatan Kombes Sucipto Danukusumo sebagai Kapolri di awal 1960-an, yang mendapat dukungan langsung dari Presiden Soekarno. 


Pengangkatan ini dinilai sangat politis, mengingat Sucipto Danukusumo, yang lebih muda dan tidak lebih senior dibandingkan sejumlah perwira lainnya, langsung dipercepat pangkatnya menjadi Irjen. Ini hanya satu contoh bagaimana kepolisian sering kali dilibatkan dalam kekuasaan politik.


Pada masa Panglima ABRI, Jenderal Benny Moerdani (1983-1988), rivalitas ini semakin terasa dengan kebijakan "bonsai" terhadap Korps Brimob. 


Satuan elit ini yang seharusnya mendapatkan pengakuan lebih, justru pada masa itu berada di bawah Direktorat Samapta Polri dan dipimpin oleh seorang kolonel—suatu kondisi yang sulit dibayangkan dalam keadaan Brimob saat ini yang sudah bertransformasi menjadi pasukan elit dengan pimpinan bintang tiga. 


Penurunan peran Brimob ini memberikan dampak buruk bagi moralitas anggota Polri pada waktu itu.


Di sisi lain, rivalitas yang tereskalasi antara polisi dan tentara bahkan terkadang berujung pada bentrokan fisik. 


Salah satu yang paling terkenal adalah bentrokan antara Yonif 100/Raiders dan Brimob Polda Sumut di Binjai pada akhir tahun 2002, yang dipicu oleh masalah kesejahteraan. 


Konflik semacam ini bukanlah kejadian langka, melainkan masalah laten yang kerap muncul dalam interaksi antara TNI dan Polri, yang seakan tidak pernah berakhir.


Kondisi Terkini dalam Pilgub Jateng


Dengan latar belakang rivalitas militer dan polisi yang kental ini, Pilgub Jateng 2024 menjadi perhatian banyak pihak. 


Meskipun Prabowo Subianto, sebagai seorang figur militer, menunjukkan sikap mendukung salah satu calon gubernur yang tidak berlatar belakang militer, ini tetap mencerminkan sebuah adaptasi dalam konteks kekuasaan. 


Dalam jejak sejarahnya, Prabowo dikenal memiliki kecintaan mendalam terhadap Angkatan Darat, terutama karena ia berasal dari satuan yang sama, yakni Korps Baret Merah (Kopassus), dan bahkan pernah berperan besar dalam pembentukan Detasemen 81, satuan elit dalam Kopassus. 


Dukungan terhadap figur non-militer dalam Pilgub ini mungkin menunjukkan upaya Prabowo untuk lebih inklusif dalam strategi politiknya. Namun, tetap ada kekhawatiran bahwa dinamika ini hanya akan menciptakan ketegangan lebih dalam di level institusi.


Dukungan Regulasi dan Dampaknya


Sebagai bagian dari upaya untuk meredakan rivalitas ini, pemerintah telah mengusulkan beberapa regulasi yang berpotensi memberikan dampak besar. 


Salah satu usulan yang mencuat adalah revisi Undang-Undang TNI, khususnya pada pasal yang mengatur penempatan anggota TNI di jabatan sipil, seperti kementerian dan lembaga lainnya. 


Usulan perubahan ini memperluas kesempatan bagi TNI, khususnya perwira tinggi, untuk mengisi posisi di lembaga sipil, yang berpotensi menciptakan ruang yang lebih besar bagi keterlibatan militer dalam struktur pemerintahan sipil. 


Beberapa pihak khawatir bahwa regulasi ini bisa membuka jalan kembalinya doktrin Dwifungsi ABRI yang pernah berlaku pada masa Orde Baru.


Selain itu, Presiden Prabowo juga mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 139 Tahun 2024 yang mengatur penataan tugas dan fungsi kementerian. 


Dalam Perpres ini, TNI, Polri, dan Kejaksaan berada di bawah naungan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam). 


Menariknya, jabatan Menko Polkam kini dipegang oleh Jenderal Polisi (Purn) Budi Gunawan, yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). 


Pemberian peran yang lebih besar pada Polri, melalui peraturan ini, menunjukkan bagaimana pemerintah berusaha mengatur agar Polri memiliki pengaruh yang lebih kuat dalam pengambilan kebijakan di tingkat tinggi.


Pilkada Jateng 2024 mencerminkan ketegangan yang mungkin muncul akibat rivalitas panjang antara TNI dan Polri. 


Meskipun ada langkah-langkah untuk meredakan ketegangan ini, seperti pengaturan jabatan dan peran pemerintah, tantangan terbesar adalah bagaimana kedua institusi ini bisa benar-benar saling bekerja sama tanpa mengorbankan profesionalisme dan peran masing-masing. 


Sejarah menunjukkan bahwa rivalitas ini bukan hanya masalah institusi, tetapi juga terkait dengan pertarungan kekuasaan dan kesejahteraan yang lebih dalam. 


Pemerintah perlu memastikan bahwa peraturan yang dikeluarkan tidak justru memperburuk ketegangan antara TNI dan Polri, serta tetap menjaga prinsip-prinsip demokrasi yang sehat.


Rivalitas ini, yang kadang terabaikan dalam kehidupan sehari-hari, harus segera diatasi demi menciptakan stabilitas politik dan sosial di Indonesia.


Sumber: Inilah

Penulis blog