Tamparan Untuk Jokowi: 'Disertasi Hasto Mengguncang Politik di Ujung Lengsernya Jokowi'
Oleh: Damai Hari Lubis
Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
Masa lengsernya Joko Widodo sebagai Presiden Indonesia ditandai oleh sebuah tamparan keras dari media, yang ramai menyoroti disertasi Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, dalam sidang terbuka promosi doktoral di Universitas Indonesia pada Jumat, 18 Oktober 2024.
Dalam sebuah momen yang bertepatan dengan hari-hari terakhir Jokowi di Istana, pidato akademik Hasto tidak hanya menjadi sorotan akademis, tetapi juga menciptakan sebuah narasi yang menyentil sejarah politik Jokowi.
Tamparan ini seakan menjadi pukulan terakhir sebelum Jokowi meninggalkan panggung politik formal Indonesia.
Simbol Politik dalam Kajian Akademik
Disertasi Hasto, yang digadang-gadang sebagai karya besar ilmiah, memuat kritik tajam terhadap mantan rekan separtainya.
Dalam kajiannya, Hasto menggunakan pendekatan ilmiah untuk menyoroti kebijakan dan tindakan yang dinilai mengkhianati partai dan bangsa.
Istilah “anak haram” yang Hasto sematkan kepada sosok yang pernah dibesarkan oleh partainya, menggambarkan bagaimana Jokowi, sebagai mantan kader PDIP, dinilai meninggalkan partainya dengan cara yang tidak etis.
Tamparan ini, meski berbalut dalam narasi akademis, terasa pedas dan menohok. Bukan hanya ditujukan kepada sosok Jokowi secara pribadi, tetapi juga menyingkap isu-isu moralitas politik yang melingkupi kepemimpinannya selama dua periode.
Bagaimana seorang presiden yang pernah berada di puncak kekuasaan kini berhadapan dengan disertasi yang mengurai sisi gelap sejarah politiknya?
Satire Akademis di Ujung Kekuasaan
Pidato Hasto muncul pada saat yang tepat, di saat Jokowi bersiap meninggalkan Istana Merdeka dan Istana Bogor—simbol kekuasaan yang pernah ia tempati dengan penuh percaya diri.
Jokowi pernah menyebut tinggal di istana sebagai sesuatu yang “serasa zaman kolonial”, tetapi publik menggambarkan Istana IKN yang ia bangun sebagai “istana hantu”, dengan segala misterinya, apakah bangunan ini akan berfungsi atau menjadi monumen kosong.
Disertasi ini juga muncul bersamaan dengan serah terima kekuasaan di Senayan, yang semakin memperkuat kesan bahwa apa yang terjadi bukan sekadar kritikan biasa, melainkan sebuah serangan yang direncanakan dengan matang.
Jokowi yang tengah melengser dari jabatan, diserang secara intelektual melalui disertasi yang dipresentasikan dengan penuh ketelitian di hadapan para akademisi.
Disertasi: Kritik dengan Landasan Ilmiah
Disertasi Hasto menonjol karena pendekatannya yang metodologis, menggunakan data dan fakta sejarah untuk memaparkan bagaimana Jokowi, yang pernah dianggap sebagai simbol perubahan, justru berakhir dengan narasi yang mengkhianati janji-janji reformasi.
Dengan pendekatan akademis yang ketat, Hasto memastikan bahwa kritiknya tidak terjebak dalam fitnah atau spekulasi, melainkan menjadi sebuah produk ilmiah yang sulit disangkal.
Di balik kritik ini, Hasto menunjukkan bahwa disertasi bukan sekadar karya tulis, melainkan sebuah bentuk klarifikasi sejarah politik.
Jokowi, yang pernah dipuja sebagai “anak emas” partai, kini dikaji dengan teliti dari sudut pandang akademis, mengungkapkan sisi-sisi yang mungkin selama ini tertutupi oleh pencitraan publik.
Moralitas di Balik Kritik
Dari perspektif moralitas, pertanyaan yang diajukan adalah: apakah pantas seorang mantan presiden dikritik melalui disertasi akademis? Dalam konteks sejarah politik, kritik ini penting dan pantas, mengingat bagaimana Jokowi pernah memimpin selama dua periode, tetapi meninggalkan berbagai kontroversi dan pertanyaan soal kepemimpinannya.
Disertasi Hasto mengingatkan bahwa sejarah politik bukanlah milik individu, melainkan milik publik yang berhak mengetahui kenyataan di balik layar politik.
Sebuah Kritik Ilmiah yang Mengesankan
Sebagai sebuah kritik yang didasarkan pada data dan fakta, disertasi Hasto Kristiyanto layak diapresiasi.
Dengan menyajikan narasi yang mendalam tentang pengkhianatan politik dan kesalahan-kesalahan strategis Jokowi, Hasto berhasil menciptakan sebuah karya ilmiah yang tidak hanya relevan secara akademis, tetapi juga memiliki dampak politik yang besar.
Disertasi ini juga menjadi pengingat bahwa sejarah politik tidak bisa disamarkan dengan narasi populis semata.
Dengan metodologi akademik yang tepat, Hasto berhasil membongkar sisi-sisi yang selama ini terabaikan dari kepemimpinan Jokowi, mengingatkan publik bahwa realitas sejarah tidak bisa diabaikan begitu saja.
Kesimpulan
Tamparan keras dari disertasi Hasto Kristiyanto di ujung lengsernya Jokowi menunjukkan bahwa masa jabatan seorang pemimpin, betapapun panjangnya, tidak kebal dari kritik dan evaluasi.
Disertasi ini tidak hanya menjadi simbol kritik yang cerdas dan ilmiah, tetapi juga menandai babak baru dalam perjalanan politik Indonesia, di mana akuntabilitas pemimpin dihadapkan pada pertanggungjawaban intelektual.
Hasto, melalui karyanya, mengajak publik untuk tidak melupakan sejarah, dan untuk terus mengamati dengan kritis setiap langkah pemimpin, baik yang masih berkuasa maupun yang telah lengser.
“Bravo Hasto” mungkin menjadi seruan yang layak, mengingat keberaniannya untuk berbicara melalui karya akademis yang memberikan tamparan terakhir kepada Jokowi di akhir masa jabatannya. ***