DEMOCRAZY.ID - Majelis hakim PTUN Jakarta akan membacakan putusan soal gugatan PDIP yang menyoal penetapan hasil Pilpres 2024 pada Kamis (10/10) mendatang.
Dalam permohonannya, PDIP meminta majelis hakim tak menerbitkan dan melakukan tindakan administratif apa pun sebagai bagian dari pelaksanaan Keputusan KPU 360/2024 sampai dengan perkara a quo berkekuatan hukum tetap.
Dalam pokok perkara, PDIP meminta majelis hakim PTUN Jakarta menyatakan batal Keputusan KPU dimaksud.
Selain itu, majelis hakim diminta memerintahkan KPU untuk mencabut kembali Keputusan KPU 360/2024.
"Memerintahkan kepada tergugat untuk melakukan tindakan mencabut dan mencoret pasangan Calon Presiden Prabowo Subianto dan Calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih berdasarkan suara terbanyak sebagaimana tercantum pada Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 360 Tahun 2024," bunyi petitum PDIP.
Bagaimanakah konsekuensi hukum apabila putusan hakim pada akhirnya menerima permohonan PDIP itu, terutama terkait pelantikan presiden dan wapres terpilih yang dijadwalkan digelar di MPR pada 20 Oktober mendatang?
Dekan FH Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto memprediksi gugatan PDIP itu tidak dapat diterima oleh majelis hakim PTUN.
"Saya menyatakan ini kemungkinan adalah tidak dapat diterima bukan ditolak," kata Aan lewat sambungan telepon kepada CNNIndonesia.com, Selasa (8/10).
Aan berpendapat demikian berangkat dari kompetensi atau kewenangan pengadilan dalam mengadili suatu perkara.
Ia berpandangan penanganan perkara PHPU merupakan ranah MK dan administrasi sengketa pemilu di Bawaslu.
Kini, persoalan PHPU dan administrasi sengketa Pilpres 2024 pun telah usai yang ditandai dengan Putusan MK tentang PHPU 2024.
"Ini terkait dengan kompetensi, kewenangan mengadili dari PTUN yakni kompetensi absolutnya enggak masuk. Jadi bukan wewenang dari PTUN [memutuskan permohonan PDIP itu]," ujarnya.
Sebab keduanya--proses di Bawaslu dan MK--sudah selesai, Aan pun berpandangan tak ada lagi jalur hukum yang bisa ditempuh.
"Seharusnya dulu itu sebelum masuk ke MK, putusan bawaslu dibawa ke PTUN, itu baru benar, punya kompetensi PTUN," ucap dia.
Potensi bahaya vacuum of power
Selain itu, Aan menilai akan sangat berbahaya jika permohonan itu dikabulkan majelis hakim lantaran akan terjadi kekosongan kekuasaan alias vacuum of power usai Jokowi purnatugas sebagai Presiden RI pada 20 Oktober mendatang.
Ia menjelaskan Keputusan KPU 360/2024 menetapkan Prabowo-Gibran sebagai satu kesatuan. Artinya, tak bisa hanya salah satu saja yang tak dilantik.
"Satu nomor Keputusan KPU yang artinya bila dikabulkan, maka dalam satu nomor Keputusan tersebut terkena dua orang sebagai paket presiden dan wakil presiden," ujar dia.
"Masalahnya jika sampai di atas 20 Oktober, maka akan terjadi kekosongan. Sementara menteri triumvirat pun tidak ada, bahaya ini," imbuh Aan.
Senada, Guru Besar Hukum Tata Negara FH UI, Jimly Asshidiqie menilai sekalipun majelis hakim mengabulkan gugatan PDIP, hal itu takkan memengaruhi pelantikan presiden-wakil presiden terpilih pada 20 Oktober 2024 mendatang.
"Misalnya pun saking bebalnya majelis hakimnya mengabulkan, kan masih ada banding di PT-TUN dan kasasi di MA, maka pelantikan 20 Oktober 2024 tidak akan terpengaruh," kata Jimly.
Mantan Ketua MK itu berpendapat jika memang PTUN mengabulkan gugatan PDIP, maka gal itu hanya akan menjadi 'bahan gorengan' bagi pihak yang memainkan isu gagalnya Gibran dilantik menjadi wapres.
"Kecuali hanya menambah minyak saja bagi pihak-pihak yang terus saja aktif menggoreng isu di seputar Gibran," ucapnya.
Sumber: CNN