'DPR Sudah Menyatakan Kemenag Bersalah, Penjarakan Yaqut - Makzulkan Jokowi!'
Penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan haji oleh Kementerian Agama (Kemenag) bukan lagi sekadar isu administratif.
Berdasarkan hasil temuan DPR RI, pelanggaran ini sudah masuk dalam kategori “resmi” dan politikus senior seperti Nusron Wahid dengan tegas menyatakan bahwa Kemenag telah melanggar aturan.
Ini adalah pelanggaran yang serius, dan tak bisa hanya berhenti pada sekadar kritik atau perbaikan prosedur. Kita berbicara soal pelanggaran yang memiliki konsekuensi hukum.
Banyak orang mungkin bertanya-tanya, apa artinya penyalahgunaan ini “resmi”? Jawabannya cukup sederhana.
Dalam ranah politik, ketika parlemen melalui mekanisme resmi memutuskan bahwa sebuah institusi seperti Kemenag melanggar aturan, itu bukan lagi sekadar opini atau isu yang bisa didiskusikan secara akademis. Ini adalah fakta hukum dan politik.
Pelanggaran tersebut harus ditindaklanjuti ke ranah hukum, dan hal ini memberi dasar kuat bagi penegak hukum—Polisi, Kejaksaan, dan KPK—untuk segera mengambil langkah.
Kemenag yang seharusnya menjadi lembaga yang paling dipercaya dalam mengelola urusan haji, malah terjebak dalam praktik-praktik yang melanggar hukum.
Dana haji yang seharusnya dikelola dengan transparan dan jujur, menjadi sumber ketidakberesan yang merugikan masyarakat. Ini bukan hanya soal uang, tapi soal kepercayaan yang disalahgunakan.
Kepercayaan publik yang selama ini disematkan kepada Kemenag telah runtuh, dan ini adalah pelanggaran yang harus diselesaikan di meja hijau.
Sudah saatnya kita tidak lagi hanya menuntut “pembenahan” yang sering kali berakhir hanya sebagai janji manis tanpa realisasi.
Penegakan hukum harus segera dilakukan. Aparat harus turun tangan dan menyeret siapa saja yang bertanggung jawab ke pengadilan.
Adili pelaku yang terlibat dalam kasus penyalahgunaan dana haji, termasuk mereka yang berada di level pengambilan keputusan.
Penjara adalah tempat yang tepat bagi mereka yang mengkhianati kepercayaan publik, apalagi dalam urusan yang sepenting ibadah haji.
Lebih dari itu, ini bukan hanya soal individu di Kemenag, tapi soal tanggung jawab di level tertinggi.
Sebagai Presiden, Jokowi memegang tanggung jawab paling besar atas kinerja kementeriannya.
Dalam sebuah sistem pemerintahan, seorang presiden tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab atas apa yang terjadi di bawahnya.
Jika Kemenag terbukti bersalah, maka Jokowi harus siap menghadapi konsekuensinya.
Impeachment atau pemakzulan adalah langkah yang sah dan konstitusional jika terbukti ada pelanggaran berat dalam pengelolaan negara di bawah kepemimpinannya.
Tindakan ini bukan sekadar politis, tetapi juga demi keadilan bagi rakyat. Kita tidak boleh terus-menerus membiarkan pelanggaran hukum dan penyalahgunaan kekuasaan tanpa sanksi tegas.
Jika sistem pemerintahan dan hukum kita ingin dipercaya, maka harus ada langkah nyata dalam menegakkan keadilan.
Saatnya kepolisian dan lembaga penegak hukum bergerak. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu.
Dan bagi Presiden Jokowi, jika pelanggaran ini benar-benar terbukti melibatkan level tertinggi, maka konsekuensi politik berupa impeachment harus menjadi opsi yang serius dipertimbangkan.
Sebab di dalam demokrasi, tidak ada seorang pun yang kebal hukum. Tidak juga seorang presiden.
LENGKAP! Ini Isi '9 Poin' Temuan Pansus Soal Penyelenggaraan Haji 2024
DEMOCRAZY.ID - Panitia Khusus atau Pansus Angket Haji 2024 DPR RI memaparkan hasil temuannya usai melakukan penyeledikan.
Hal itu dibacakan oleh Ketua Pansus Haji Nusron Wahid dalam Rapat Paripurna terakhir DPR RI.
Dalam paparannya, Nusron menyebut temuan pertama adalah soal kelembagaan. Kemenag dalam menyelenggarakan Haji masih berperan double sebagai regulator dan operator.
Sementara itu, dalam penyelenggaraan ibadah haji di Arab Saudi tidak lagi menggunakan pendekatan Government to Government.
Akan tetapi berubah menjadi Government to Bussines, sehingga pelayanannya diberikan kepada pihak syarikah menggunakan kerangka bisnis.
Kedua mengenai kebijakan, pertama, dalam pembagian Kuota Haji Tambahan Tahun 1445 H/2024 M, Pansus menemukan dugaan ketidakpatuhan terhadap Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, tentang alokasi kuota ditetapkan kuota haji khusus sebesar 8% dari kuota haji Indonesia.
"Dua, Kementerian Agama c.q. Dirjen PHU melakukan ketidakpatuhan dengan mengajukan pencairan nilai manfaat pada tanggal 10 Januari 2024 sebelum diterbitkannya KMA No. 130 Tahun 2024 pada tanggal 15 Januari 2024 yang seharusnya menjadi basis penghitungan kuota," kata Nusron.
Kemudian beberapa poin berikutnya salah satunya yakni pelayanan di Armuzna dan selama pelaksanaan rangkaian ibadah haji banyak ditemukan ketidaksesuaian dengan ketentuan, kontrak dan standar pelayanan.
Berikut poin lengkap hasil temuan Pansus Haji DPR RI:
Pertama, Kelembagaaan
Kementerian Agama RI dalam penyelenggaraan ibadah haji masih berperan double sebagai regulator dan operator.
Sementara dalam penyelenggaraan ibadah haji di Arab Saudi tidak lagi menggunakan pendekatan Government to Government akan tetapi berubah menjadi Government to Bussines, sehingga pelayanannya diberikan kepada pihak syarikah menggunakan kerangka bisnis.
Kedua, Kebijakan
1. Dalam pembagian Kuota Haji Tambahan Tahun 1445 H/2024 M, Pansus menemukan dugaan ketidakpatuhan terhadap Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, tentang alokasi kuota ditetapkan kuota haji khusus sebesar 8% dari kuota haji Indonesia.
2. Kementerian Agama c.q. Dirjen PHU melakukan ketidakpatuhan dengan mengajukan pencairan nilai manfaat pada tanggal 10 Januari 2024 sebelum diterbitkannya KMA No. 130 Tahun 2024 pada tanggal 15 Januari 2024 yang seharusnya menjadi basis penghitungan kuota.
Ketiga, Distribusi Kuota Haji
1. Pengisian kuota haji reguler untuk jemaah yang membutuhkan pendamping, penggabungan, dan pelimpahan porsi masih ada celah atau kelemahan dimana pendamping diisi oleh jemaah haji reguler yang bukan mahromnya.
2. Sampai tahun 2024, Kementerian Agama masih belum mengupayakan secara maksimal untuk menyelesaikan masalah 5,678 nomor porsi kuota "batu" yaitu porsi haji reguler yang belum diketahui secara pasti dimana jemaah haji berada/bertempat tinggal.
3. Terdapat ketidaksinkronan antara Keputusan Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah Nomor 118 Tahun 2024 tertanggal 29 Januari 2024 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemenuhan Kuota Haji Khusus Tambahan dan Sisa Kuota Haji Khusus Tahun 1445 Hijria dan Surat Edaran Direktur Bina Haji Khusus dan B-116038/DJ/Dt.II.IV.2/HJ.00/2/2024 tentang Penyampaian Daftar Nama Jemaah Haji Khusus Berhak Lunas Pengisian Sisa Kuota Tahun 1445H/2024M dengan UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Pasal 65 ayat (2).
4. Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI sebagai aparatur pengawas internal tidak menjadikan pembagian kuota haji tambahan tahun 2024 sebagai obyek pengawasan, sementara pembagian tambahan kuota haji tahun 1445 H/2024 M ada potensi tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Keempat, Siskohat dan Siskopatuh
1. Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) tidak bisa terjamin keamanannya, karena tidak ada audit terhadap sistem secara berkala. Selain itu, terlalu banyaknya pemangku kepentingan yang dapat mengakses seperti Subdit Siskohat di Kementerian Agama RI, Subdit Pendaftaran Haji Reguler, Subdit Haji Khusus, Subdit Dokumentasi, Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi, Kantor Kementerian Agama Kabupaten / Kota, Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji sehingga rawan diintervensi dan membuka celah orang yang tidak berhak berangkat haji dapat berangkat haji.
2. Sistem Komputerisasi Pengelolaan Terpadu Umrah dan Haji Khusus (Siskopatuh) tidak bisa terjamin keamanannya, karena tidak ada audit terhadap sistem secara berkala. Selain itu, terlalu banyaknya pemangku kepentingan yang dapat mengakses seperti Subdit Siskohat di Kementerian Agama RI, Subdit Perizinan, akreditasi dan Bina Haji Khusus, Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji dan umrah, dan PIHK sehingga rawan diintervensi dan membuka peluang orang berangkat haji tanpa antrian.
3. Lemahnya pengawasan terhadap verifikator yang ditandai dengan adanya jemaah haji yang tidak sesuai dengan Siskohat serta celah perubahan data.
Kelima, Pendaftaran
1. Di dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 226 Tahun 2023 tentang Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus; Keputusan Menteri Agama Nomor 1063 Tahun 2023 tentang Setoran Pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi, dan BAB III Poin B, Keputusan Direktur Jenderal PHU No. 118 Tahun 2024 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemenuhan Kuota Haji Khusus Tambahan dan Sisa Kuota Haji Khusus Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi, prosedur pengisian sisa kuota tidak mencerminkan keadilan. Ketentuan tersebut mengakibatkan adanya praktik pemberangkatan 3.503 jemaah haji khusus dengan status tanpa antri (mendaftar tahun 2024 dan berangkat tahun 2024).
2. Ketentuan Pasal 65 ayat (3) UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah yang menentukan pemenuhan kuota haji khusus berbasis usulan data dari PIHK dan kesiapan jemaah. Ketentuan ini membuka peluang penyalahgunaan kesempatan oleh PIHK, dan berpotensi melanggar asas keadilan. Penyalahgunaan kesempatan tersebut berupa mengubah urutan keberangkatan dan/atau tahun keberangkatan.
Keenam, Nilai Manfaat
Dalam mempergunakan nilai manfaat, ditemukan adanya ketidakadilan, dimana mereka yang belum berhak untuk berangkat menggunakan nilai manfaat tahun berjalan yang didapatkan dari jemaah haji lain yang berada pada daftar antrian.
Ketujuh, Jemaah Cadangan Lunas Tunda
Jumlah Jemah Haji Lunas tunda sampai tahun 2024 adalah sebesar 30% dari kuota haji nasional. Seharusnya merekalah yang diprioritaskan untuk diberangkatkan terlebih dahulu. Namun, karena ada mekanisme penggabungan mahrom, jemaah lansia dan disabilitas, hak jemaah haji lunas tunda menjadi tidak pasti keberangkatannya. Hal tersebut menimbulkan ketidakadilan bagi jemaah lunas tertunda keberangkatannya.
Kedelapan, Pelaporan dan Pengawasan
Pasal 82 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah mengatur tentang pelaporan pelaksanaan operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus (PIHK) kepada Menteri. Ketentuan ini tidak dilengkapi dengan ketentuan sanksi bagi PIHK yang tidak dilaporkan. Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan kontrol Kementerian Agama terhadap jumlah keberangkatan dan kepulangan jemaah haji khusus oleh PIHK yang seharusnya dilaporkan kepada DPR RI setelah penyelenggaraan Haji.
Kesembilan, Pelayanan
Pelayanan di Armuzna dan selama pelaksanaan rangkaian ibadah haji banyak ditemukan ketidaksesuaian dengan ketentuan, kontrak dan standar pelayanan.
Sumber: FusilatNews