DEMOCRAZY.ID - Dalam beberapa hari terakhir, baliho-baliho besar bertuliskan "Terima Kasih Jokowi, Guru Bangsa" mulai memenuhi sudut-sudut kota di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di seluruh Indonesia.
Ucapan yang sama juga menjadi trending di media sosial, menimbulkan spekulasi mengenai upaya pencitraan yang terkoordinasi menjelang akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Fenomena ini segera memunculkan diskusi publik, termasuk di kalangan pengamat politik seperti Rocky Gerung, yang mempertanyakan apakah ini merupakan apresiasi tulus dari masyarakat atau hasil orkestrasi tim relawan dan buzzer pro-Jokowi.
Rocky Gerung, seorang pengamat politik yang dikenal kritis terhadap pemerintahan Jokowi, menyebut fenomena ini sebagai bagian dari proyek pencitraan yang telah berjalan selama 10 tahun.
Menurutnya, baliho-baliho tersebut tidak mencerminkan penghargaan tulus dari masyarakat, melainkan merupakan hasil kerja terorganisir yang bertujuan untuk memuliakan Jokowi di hari-hari terakhir masa jabatannya.
"Jokowi ini betul-betul mengidap narsisme tingkat tinggi, memuji diri sendiri dan memaksa orang lain untuk memuji dirinya," ujar Rocky dalam chanel Youtubenya.
Rocky juga menambahkan bahwa baliho-baliho ini menciptakan apa yang disebutnya sebagai "festival arogansi," di mana pencitraan terhadap prestasi Jokowi yang diduga dibuat-buat dipamerkan secara masif.
"Apa yang sebenarnya ingin dicapai dari semua ini? Tidak ada bukti yang jelas bahwa Jokowi layak mendapat ucapan terima kasih yang begitu besar, terutama mengingat indeks ekonomi, keadilan, lingkungan, dan demokrasi yang memburuk selama masa jabatannya," jelas Rocky.
Banyak pihak menduga bahwa ini merupakan upaya terakhir Jokowi untuk meninggalkan warisan positif di mata masyarakat.
Namun, kritik yang muncul menyoroti penggunaan dana publik untuk proyek-proyek pencitraan ini.
Beberapa media telah melaporkan bahwa anggaran negara mungkin telah digunakan untuk membiayai pemasangan baliho dan kampanye ucapan terima kasih tersebut, yang memperkuat anggapan bahwa ini bukanlah ekspresi spontan dari masyarakat.
Selain baliho, kritik juga diarahkan pada kemungkinan hubungan antara pencitraan Jokowi ini dengan susunan kabinet yang akan datang.
Spekulasi berkembang bahwa Presiden terpilih Prabowo Subianto akan menghadapi tekanan untuk mengakomodasi kepentingan Jokowi dalam penyusunan kabinet barunya.
"Prabowo kemungkinan besar akan harus mengakomodasi berbagai kepentingan politik dari Jokowi, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi efektivitas kabinetnya," ujarnya.
Sudah ada yang up di tiktok .... pic.twitter.com/g0BokH5FBZ
— Daeng Rahing (@AbdulRachimmks) October 16, 2024
Mobilisasi Opini Publik dan Krisis Kepemimpinan
Rocky Gerung membandingkan taktik pencitraan Jokowi ini dengan cara-cara yang digunakan pemimpin otoriter di masa lalu.
Ia menyebut contoh Adolf Hitler, yang juga dikenal karena menyewa seluruh aparat negara untuk memuliakan dirinya sebagai penyelamat bangsa.
Menurut Rocky, ini adalah bentuk mobilisasi opini publik yang biasa dilakukan oleh pemimpin yang ingin mempertahankan kekuasaannya atau mengamankan warisannya.
"Jokowi, dalam hal ini, berusaha memproyeksikan dirinya sebagai tokoh besar yang tak tergantikan, padahal kita tahu sejarah akan menguji semua klaim tersebut," kata Rocky.
Ia juga menyoroti bahwa pencitraan semacam ini bisa menjadi bumerang di masa depan, ketika masyarakat mulai menyadari bahwa pencapaian yang dipamerkan tidak sesuai dengan kenyataan.
"Anda bisa menipu beberapa orang dalam jangka waktu tertentu, tetapi tidak semua orang dalam jangka waktu yang lama. Jokowi mungkin berhasil mencitrakan dirinya sekarang, tetapi sejarah akan memberikan penghakimannya sendiri," ujarnya.
Warisan Jokowi dan Tantangan Bagi Prabowo
Di tengah transisi kekuasaan dari Jokowi ke Prabowo, banyak yang mempertanyakan warisan yang akan ditinggalkan Jokowi.
Proyek-proyek infrastruktur besar seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) memang menjadi salah satu kebanggaannya, tetapi sejumlah tantangan, seperti penurunan ekonomi dan lingkungan, akan menjadi beban bagi pemerintahan berikutnya.
Menurut Rocky, warisan yang ditinggalkan Jokowi bukan hanya proyek infrastruktur, tetapi juga potensi kebangkrutan dan ketidakstabilan ekonomi yang harus dihadapi oleh pemerintahan baru.
"Prabowo akan menghadapi tantangan besar, terutama karena dia harus menyusun kabinet yang bisa berfungsi secara efektif sambil mengakomodasi kepentingan politik Jokowi," jelas Rocky.
Namun, ia tetap optimistis bahwa masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, akan menjadi penentu masa depan negara.
"Anak-anak muda yang masih berpikir rasional dan memiliki moralitas tinggi adalah harapan kita. Mereka yang akan memastikan bahwa Indonesia kembali pada tatanan etika dan pikiran yang sehat," tutup Rocky.
Sumber: PorosJakarta