'Seperti Apa Jokowi Akan Dikenang?'
Seiring mendekatnya akhir masa jabatan kedua Joko Widodo, atau yang lebih dikenal sebagai Jokowi, warisan kepemimpinannya menjadi bahan perdebatan yang sengit.
Meskipun banyak yang memuji fokusnya pada pembangunan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, dan diplomasi internasional, para kritikus berpendapat bahwa kepemimpinan Jokowi secara signifikan telah merusak fondasi demokrasi yang telah dibangun Indonesia sejak jatuhnya rezim Suharto.
Tulisan ini akan mengulas berbagai cara di mana kepemimpinan Jokowi dianggap melemahkan demokrasi, dengan menyoroti pelemahan lembaga demokrasi, penindasan terhadap perbedaan pendapat, serta penguatan kekuasaan oligarki.
1. Pelemahan Lembaga-Lembaga Demokrasi
Salah satu kritik utama terhadap Jokowi adalah perannya dalam melemahkan lembaga-lembaga demokrasi kunci.
Di bawah kepemimpinannya, ada penurunan yang signifikan dalam independensi institusi negara yang seharusnya menjadi penjaga proses demokrasi.
Contohnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dulunya dianggap sebagai tulang punggung pemberantasan korupsi di Indonesia, mengalami pelemahan yang signifikan melalui reformasi hukum yang didorong oleh pemerintah Jokowi.
Kritikus berpendapat bahwa pelemahan KPK ini telah memperkuat praktik korupsi dan mengurangi akuntabilitas di kalangan pejabat pemerintah.
Selain itu, pelemahan independensi peradilan serta meningkatnya pengaruh eksekutif terhadap legislatif juga dianggap sebagai tanda kemunduran demokrasi.
Dengan kendali Jokowi atas koalisi politiknya, keseimbangan kekuasaan antara cabang-cabang pemerintahan semakin terganggu, mengakibatkan berkurangnya fungsi check and balances dalam sistem politik Indonesia.
2. Penindasan terhadap Perbedaan Pendapat dan Kebebasan Sipil
Selama masa kepemimpinannya, Jokowi juga menghadapi kritik yang semakin meningkat terkait respons pemerintah terhadap perbedaan pendapat.
Organisasi masyarakat sipil, aktivis, dan media melaporkan peningkatan pembatasan dan intimidasi. Misalnya, saat terjadi protes besar menentang Omnibus Law Cipta Kerja pada tahun 2020, terdapat laporan luas tentang penangkapan sewenang-wenang, pemutusan akses internet, serta pembungkaman terhadap para pengkritik.
Langkah-langkah ini memicu kekhawatiran tentang komitmen pemerintah terhadap perlindungan kebebasan berekspresi dan hak untuk berkumpul secara damai.
Selain itu, penggunaan instrumen hukum seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk menargetkan suara-suara kritis, khususnya di dunia maya, semakin meningkat.
Banyak yang melihat tindakan ini sebagai upaya untuk membungkam kritik dan menciptakan iklim ketakutan, yang berdampak pada kebebasan debat publik dan partisipasi sipil.
3. Meningkatnya Pengaruh Oligarki
Isu lain yang melekat pada warisan Jokowi adalah semakin menguatnya pengaruh oligarki dalam politik Indonesia.
Meskipun Jokowi pada awalnya dilihat sebagai orang luar yang tidak berasal dari kalangan elite politik, pemerintahannya semakin bersekutu dengan kepentingan bisnis besar.
Proyek-proyek ekonomi besar seperti pembangunan infrastruktur dan eksploitasi sumber daya alam sering kali lebih menguntungkan oligarki dan elite politik dibandingkan rakyat luas.
Konsolidasi kekuasaan oligarki ini menimbulkan kekhawatiran tentang melemahnya akuntabilitas demokratis, karena kekuasaan politik semakin terkonsentrasi di tangan segelintir orang.
Pengaruh yang semakin besar dari para oligarki terhadap pembuatan kebijakan dan institusi pemerintahan di bawah kepemimpinan Jokowi dianggap sebagai ancaman serius terhadap nilai-nilai demokrasi seperti transparansi dan kesetaraan.
4. Kemunduran Demokrasi dalam Tata Kelola Daerah
Pemerintahan Jokowi juga dikritik karena mengurangi otonomi pemerintah daerah dan lokal, yang merupakan salah satu ciri khas dari upaya desentralisasi Indonesia pasca-Suharto.
Para pengkritik berpendapat bahwa sentralisasi kekuasaan di bawah Jokowi telah merusak kemampuan pemerintah daerah untuk mengatasi tantangan khusus di wilayah mereka sendiri serta mewakili kepentingan rakyat setempat.
Pergeseran dalam tata kelola ini diiringi dengan munculnya dinasti politik, termasuk dari keluarga Jokowi sendiri, yang semakin memperkuat kekhawatiran tentang konsentrasi kekuasaan dan merosotnya kompetisi demokratis.
5. Proyek Ambisius Ibu Kota Negara (IKN) dan Investasi Pertambangan serta Program Hilirisasi.
Salah satu inisiatif besar yang akan menjadi bagian dari warisan Jokowi adalah rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur, yang dikenal dengan proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Meskipun proyek ini dipandang sebagai langkah besar dalam menciptakan pusat pemerintahan yang lebih berkelanjutan dan mengurangi beban Jakarta, banyak kritik yang menilai bahwa proyek ini lebih didorong oleh ambisi politik dan ekonomi yang didominasi oleh elit dan oligarki.
Proyek ini dinilai minim konsultasi publik dan tidak mencerminkan prioritas rakyat, terutama ketika Indonesia masih menghadapi tantangan sosial dan ekonomi yang mendesak, seperti kemiskinan dan ketimpangan.
Selain itu, kebijakan Jokowi di sektor pertambangan juga mendapat sorotan tajam. Pembukaan besar-besaran terhadap investasi asing dan eksploitasi sumber daya alam seringkali dianggap merugikan lingkungan dan masyarakat lokal.
Kebijakan ini, meskipun mendorong pertumbuhan ekonomi jangka pendek, menimbulkan dampak negatif jangka panjang terhadap lingkungan hidup serta hak-hak masyarakat adat yang tanahnya tergusur oleh proyek-proyek tambang dan perkebunan.
Para kritikus menyebut kebijakan ini sebagai bentuk "kutukan sumber daya" di mana kekayaan alam justru menjadi sumber ketidakadilan dan perpecahan sosial.
Kesimpulan: Warisan yang Kompleks
Saat Jokowi bersiap untuk meninggalkan jabatannya, warisannya akan tetap kompleks dan kontroversial.
Di satu sisi, ia mungkin akan dikenang karena proyek infrastruktur yang ambisius, reformasi ekonomi, dan upayanya untuk meningkatkan posisi Indonesia di panggung internasional.
Di sisi lain, kemunduran demokrasi yang terjadi di bawah kepemimpinannya tidak bisa diabaikan. Pelemahan lembaga demokrasi, penindasan terhadap perbedaan pendapat, penguatan pengaruh oligarki, sentralisasi kekuasaan, serta proyek-proyek kontroversial seperti IKN dan kebijakan pertambangan menunjukkan bahwa Jokowi mungkin akan dikenang sebagai pemimpin yang, meskipun populer, telah merusak sistem demokrasi yang membawa dirinya ke tampuk kekuasaan.
Dalam konteks evolusi demokrasi Indonesia, masa kepemimpinan Jokowi menjadi peringatan tentang rapuhnya capaian demokrasi.
Kepresidenannya menunjukkan risiko dari populisme, sentralisasi, dan kekuatan oligarki yang dapat mengikis pencapaian demokrasi yang telah diraih selama dua dekade terakhir. ***