Pelantikan Gibran Tidak Sah: 'Sebuah Potensi Pemakzulan Berdasarkan Kajian Konstitusional'
Pelantikan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden terpilih pada tahun 2024 telah menimbulkan berbagai kontroversi dan perdebatan.
Salah satu suara yang paling kritis terhadap legitimasi pelantikan ini adalah Professor Denny Indrayana, seorang ahli Hukum Tata Negara terkemuka.
Dalam kajian hukumnya, Indrayana menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat pencalonan Gibran, yaitu Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, tidak hanya cacat konstitusional, tetapi juga tidak sah secara hukum.
Hal ini menjadi dasar kuat untuk mempertanyakan sahnya pelantikan Gibran dan membuka peluang pemakzulan.
Cacat Konstitusional Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023
Pada dasarnya, Putusan MK Nomor 90 ini memberikan kelonggaran bagi Gibran untuk mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden, meskipun ia tidak memenuhi batas usia minimal yang diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
MK memutuskan bahwa pengalaman kepala daerah dapat dijadikan dasar pengecualian dari syarat usia tersebut.
Namun, menurut Professor Denny Indrayana, putusan ini cacat konstitusional karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang diatur oleh UUD 1945.
Syarat usia calon presiden dan wakil presiden telah diatur dengan jelas dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dan MK seharusnya tidak membuat pengecualian yang bertentangan dengan norma konstitusi.
Indrayana berpendapat bahwa tindakan MK dalam memberikan pengecualian ini merusak kepercayaan publik terhadap integritas lembaga peradilan konstitusi dan membuka celah untuk pelanggaran hukum lebih lanjut.
“Putusan ini tidak hanya cacat konstitusional, tetapi sebenarnya tidak sah sehingga tidak bisa menjadi dasar pencalonan dalam Pilpres 2024,” tegas Indrayana.
Jika dasar hukum pencalonan seseorang cacat, maka hasil dari pencalonan tersebut, termasuk pelantikannya, juga berpotensi batal demi hukum.
Resiko Tidak Memenuhi Syarat sebagai Pasangan Calon
Selain itu, Indrayana menekankan bahwa setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden harus memenuhi syarat konstitusional yang telah diatur.
Dalam hal ini, pencalonan Gibran yang menyandarkan diri pada Putusan MK 90 sangat berisiko tidak memenuhi syarat sebagai pasangan calon yang sah.
Salah satu kriteria penting yang harus dipenuhi oleh pasangan calon adalah syarat usia minimal, yang dalam UUD 1945 telah ditetapkan dengan jelas.
Jika syarat ini dilanggar, maka seorang calon presiden atau wakil presiden berpotensi tidak sah menurut hukum, dan implikasinya bisa sangat serius, termasuk kemungkinan pemakzulan.
Potensi Pemakzulan
Menurut kajian lebih lanjut, salah satu alasan konstitusional bagi seorang presiden atau wakil presiden untuk diberhentikan dari jabatannya adalah karena tidak lagi memenuhi syarat sebagai pasangan calon yang sah.
Dalam hal ini, jika pencalonan Gibran dianggap tidak sah, maka konsekuensi logisnya adalah pelantikannya sebagai wakil presiden juga tidak sah.
Ini membuka peluang bagi proses pemakzulan berdasarkan ketentuan dalam UUD 1945 yang mengatur pemberhentian presiden dan wakil presiden.
Pemakzulan dapat terjadi jika ada pelanggaran serius terhadap syarat-syarat konstitusional yang mendasari pemilihan dan pelantikan seorang pejabat publik.
Dalam kasus Gibran, jika pengadilan atau lembaga terkait memutuskan bahwa pencalonannya tidak sah sejak awal, maka proses pemakzulan harus dipertimbangkan secara serius oleh lembaga legislatif.
Etika dan Integritas Lembaga Hukum
Selain itu, Professor Indrayana juga menekankan pentingnya menegakkan kembali integritas Mahkamah Konstitusi melalui proses peninjauan kode etik.
Keputusan yang diambil dalam Putusan Nomor 90 ini menunjukkan adanya pelanggaran terhadap kode etik yang seharusnya dijaga oleh para hakim konstitusi.
Oleh karena itu, Indrayana merekomendasikan agar pelanggaran kode etik yang terjadi dalam pengambilan keputusan ini diproses dengan serius.
Tujuan utamanya adalah untuk menegakkan kembali martabat, harkat, dan kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan tertinggi dalam menjaga konstitusi.
Indrayana menegaskan, “Kita harus mendorong semua elemen bangsa yang masih memegang teguh prinsip-prinsip konstitusi dan cinta Indonesia untuk bersama-sama memproses pelanggaran kode etik yang terjadi dalam putusan ini.”
Dengan demikian, proses penegakan hukum dapat berjalan dengan adil dan tidak menciderai kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.
Kesimpulan
Pelantikan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden terpilih membawa tantangan hukum yang serius berdasarkan kajian konstitusional dari Professor Denny Indrayana.
Putusan MK yang menjadi dasar pencalonan Gibran dinilai cacat konstitusional dan tidak sah, sehingga membuka kemungkinan pelantikan tersebut tidak sah menurut hukum.
Dengan demikian, pemakzulan terhadap Gibran dapat menjadi opsi yang harus dipertimbangkan jika ia terbukti tidak memenuhi syarat sebagai calon wakil presiden.
Proses penegakan hukum yang adil dan transparan sangat diperlukan untuk menjaga integritas lembaga-lembaga negara dan kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi di Indonesia.
Sumber: FusilatNews