Lengsernya Jokowi: 'Ibarat Pesawat Turbulensi Politik Menuju Hard Landing'
Ibarat pesawat yang terbang tinggi, masa kepemimpinan Jokowi pernah melambung dengan harapan besar dan janji manis.
Namun, seiring berjalannya waktu, turbulensi politik, sosial, dan ekonomi mulai mengguncang stabilitas pemerintahan.
Bagaimana kisah lengsernya Jokowi dapat diibaratkan sebagai sebuah pesawat yang oleng dan berakhir dengan hard landing?
Awal Penerbangan: Lepas Landas dengan Penuh Harapan
Pada awal masa jabatannya, Jokowi dipandang sebagai pemimpin rakyat. Ia dianggap sederhana, merakyat, dan tulus dalam niatnya untuk memperbaiki kondisi bangsa.
Ibarat seorang pilot yang baru menaklukkan langit, Jokowi membawa angin segar yang membuat rakyat Indonesia berharap pada perubahan yang lebih baik.
Infrastruktur masif dibangun, dan program-program populis seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) diperkenalkan sebagai janji peningkatan kesejahteraan rakyat.
Pesawat Jokowi, di awal penerbangannya, tampak stabil. Penumpang, yang dalam hal ini adalah rakyat Indonesia, merasa nyaman dan optimis.
Namun, seperti dalam penerbangan panjang, tantangan tak terhindarkan mulai muncul, menimbulkan tanda-tanda olengnya pesawat kepemimpinan.
Turbulensi Politik: Makin Oleng Menuju Titik Krisis
Turbulensi mulai terasa ketika Jokowi memutuskan untuk lebih dekat dengan kekuatan oligarki.
Kebijakan yang diambil, terutama yang terkait dengan proyek-proyek besar seperti pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dan berbagai proyek infrastruktur lainnya, semakin memperkuat keterikatan pemerintahannya dengan para konglomerat.
Masyarakat mulai merasa ditinggalkan dan terpinggirkan dalam pengambilan kebijakan.
Gelombang turbulensi semakin keras ketika isu korupsi di era kepemimpinan Jokowi semakin mencuat. Banyak skandal besar, seperti kasus Jiwasraya, Asabri, dan bansos pandemi, menunjukkan bagaimana korupsi tetap menjadi penyakit akut di dalam pemerintahan. Pesawat kepemimpinan Jokowi pun mulai oleng, dan kepercayaan publik mulai luntur.
Keputusan Jokowi yang sering kali dianggap tidak konsisten dan berlawanan dengan semangat reformasi hukum dan keadilan sosial, seperti melemahkan KPK dan memaksakan revisi Undang-Undang Cipta Kerja, semakin memperuncing krisis legitimasi.
Di sini, pesawat kepemimpinannya mulai kehilangan arah, terjebak dalam badai politik dan ekonomi yang tak terkendali.
Desakan Ekonomi: Mesin yang Melemah
Jika politik menjadi salah satu sumber turbulensi, ekonomi adalah mesin pesawat yang mulai melemah. Di tengah janji pembangunan besar-besaran, rakyat justru semakin merasakan kesenjangan sosial yang semakin dalam.
Pandemi COVID-19 memperburuk keadaan, dan meskipun pemerintah mencoba merespons dengan berbagai bantuan dan stimulus, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia tak sepenuhnya pulih.
Utang negara semakin menumpuk, sementara defisit anggaran semakin membesar. Pengelolaan sumber daya alam yang seharusnya menjadi kekuatan, justru dikelola secara tidak bijak.
Impor pangan dan energi terus meningkat, sementara pertumbuhan sektor industri mandek. Mesin ekonomi negara seperti melemah, dan pesawat kepemimpinan Jokowi pun semakin tidak stabil.
Ketika harga kebutuhan pokok melonjak dan daya beli masyarakat menurun, pesawat semakin oleng. Ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah mencapai titik tertinggi.
Di tengah upaya pemerintah untuk terus terbang, tekanan dari berbagai arah—baik dari dalam maupun luar negeri—membuat laju penerbangan tak lagi terkendali.
Hard Landing: Akhir yang Tak Terhindarkan
Setelah melalui berbagai turbulensi politik dan ekonomi, akhirnya pesawat kepemimpinan Jokowi harus menghadapi pendaratan yang sulit.
Ibarat pesawat yang terpaksa melakukan hard landing, lengsernya Jokowi adalah sebuah akhir yang tidak bisa dihindari dari perjalanan panjang penuh tantangan.
Suara protes dari berbagai elemen masyarakat—baik mahasiswa, buruh, petani, dan kaum intelektual—menjadi gelombang yang semakin tak terbendung.
Gelombang unjuk rasa yang kian membesar adalah sinyal bahwa pesawat akan segera mendarat, meski tidak dengan mulus.
Kegagalan Jokowi dalam memenuhi janji-janji politiknya, terutama dalam hal pemberantasan korupsi, penegakan hukum yang adil, dan pemerataan ekonomi, membuat landasan pendaratannya dipenuhi rintangan.
Di sisi lain, keputusan-keputusan kontroversial terkait IKN, revisi UU Cipta Kerja, dan kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat kecil mempercepat proses lengsernya.
Pada akhirnya, pesawat oleng ini harus mendarat dengan keras. Jokowi, yang dulu dianggap sebagai harapan bangsa, harus menerima kenyataan bahwa kepemimpinannya berakhir dengan ketidakpuasan besar dari masyarakat.
Meski pesawatnya selamat dari kehancuran total, ia tidak bisa menghindari kerusakan besar yang terjadi selama perjalanan.
Kesimpulan: Sebuah Pelajaran dari Penerbangan Panjang
Lengsernya Jokowi dapat diibaratkan sebagai pesawat yang oleng dan akhirnya harus melakukan hard landing.
Penerbangan yang dimulai dengan penuh optimisme dan harapan, berakhir dengan guncangan keras akibat turbulensi politik, ekonomi, dan sosial yang tak tertangani dengan baik.
Kisah ini mengajarkan bahwa penerbangan sebuah kepemimpinan membutuhkan komitmen kuat, konsistensi, dan keberpihakan nyata pada rakyat.
Dalam dunia politik, sebagaimana dalam penerbangan, pendaratan yang mulus tidak hanya ditentukan oleh keterampilan di awal, tetapi juga oleh kemampuan untuk menghadapi setiap badai dan menjaga arah di tengah turbulensi.
Sumber: Fusilat