Ketika Media Internasional The Straits Times Menulis, ”Goodbye, Jokowi!”
“Goodbye” bukanlah ucapan perpisahan yang penuh kenangan indah, melainkan pernyataan yang seolah memberi jarak emosional dari warisan sekian banyak persoalan mendasar yang dia tinggalkan. Agak setara dengan pernyataan akhir dari sebuah perceraian dalam rumah tangga, atau putusnya hubungan yang disebabkan munculnya masalah. Seperti lirik sebuah lagu pop di awal-awal 2000-an, “I’m Sorry, Goodbye”
Pada 21 September 2024, hanya sebulan sebelum lengsernya Presiden Jokowi, media internasional yang berbasis di Singapura, The Straits Times, merilis sebuah artikel dengan judul provokatif, "Goodbye, Jokowi."
Artikel tersebut menyoroti dua hal yang berseberangan diametral, yakni—katakan saja—prestasi Jokowi dalam 10 tahun memimpin Indonesia, serta kegagalannya yang bisa dirasakan siapa saja dalam kehidupan demokrasi Indonesia saat ini.
Pilihan kata “Goodbye” dalam artikel tersebut menarik untuk dianalisis, mengingat sebelumnya, untuk tokoh-tokoh besar dan pemimpin pemerintahan, media-media internasional lebih memilih kata-kata seperti “The End of an Era” atau “Farewell” yang memberi kesan lebih hormat dan mendalam. Mengapa dalam kasus Jokowi, media memilih kata "Goodbye"?
Penggunaan kata “Goodbye” dalam konteks ini seolah mengindikasikan penutupan yang cepat dan langsung, tanpa nuansa penghormatan khusus. Hal itu mungkin karena meski Jokowi secara internasional dipuji karena pembangunan infrastrukturnya, dia telah menjadi sosok yang penuh kontradiksi di mata publik Indonesia dan bahkan dunia.
Jika pada masa Soeharto ada rasa kebosanan mendalam karena rezim telah berkuasa selama lebih dari 30 tahun, pada masa Jokowi, perasaan masyarakat mungkin lebih ambigu: terpecah antara rasa syukur atas infrastruktur yang lebih maju, tetapi kecewa karena kualitas demokrasi yang amat merosot, justru di usia negara yang seharusnya makin dewasa karena menua.
Barangkali pula, pilihan judul “Goodbye” dari The Straits Times itu juga bisa dibaca sebagai refleksi keterasingan Jokowi dari sebagian besar masyarakat dan para pengamat internasional. Umumnya mereka ini melihat Sang Presiden sebagai simbol dari presiden "populis", yang akhirnya terperangkap dalam lingkaran kekuasaan yang membatasi kebebasan dan integritas demokrasi.
Dengan kata lain, “Goodbye” bukanlah ucapan perpisahan yang penuh kenangan indah, melainkan pernyataan yang seolah memberi jarak emosional dari warisan sekian banyak persoalan mendasar yang dia tinggalkan.
Ini agak setara dengan pernyataan perpisahan dari sebuah perceraian dalam rumah tangga, atau putusnya hubungan yang disebabkan oleh munculnya masalah. Seperti lirik sebuah lagu pop di awal 2000-an, “I’m Sorry, Goodbye.”
“…Semakin hari semakin terungkap yang sesungguhnya
Kumakin kecewa ternyata kau penuh dusta
…Maaf kita putus. So thank you so much
I'm sorry goodbye…”
Infrastruktur: Keberhasilan Penuh Balutan Utang
Artikel tersebut memuji keberhasilan Jokowi di bidang infrastruktur, tetapi di balik pujian tersebut terdapat beban finansial yang harus dipikul generasi-generasi Indonesia mendatang. Proyek-proyek besar seperti kereta cepat Jakarta-Bandung, jalan tol trans-Jawa, dan bandara internasional baru, sementara tampak mengesankan, sebagian besar didanai melalui utang yang signifikan.
Seperti yang dikemukakan almarhum Faisal Basri, seorang ekonom senior Universitas Indonesia, infrastruktur Indonesia yang dibangun dengan utang berisiko menjerat negara dalam krisis di masa depan. Apalagi karena utang tersebut harus dilunasi oleh generasi Indonesia ke depan.
Tidak hanya itu, dalam berbagai forum, Faisal sering menyoroti bahwa utang yang digunakan untuk membiayai infrastruktur tidak hanya membengkak tetapi juga menjadi beban bagi pemerintah mendatang, dengan bunga yang terus meningkat tanpa diimbangi peningkatan penerimaan pajak yang memadai.
Sementara itu, Bhima Yudhistira, direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), mengkritik keras proyek infrastruktur di bawah pemerintahan Jokowi. Bhima menyatakan, banyak proyek besar, termasuk proyek Ibu Kota Negara (IKN), tidak memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian daerah maupun tingkat daya saing ekonomi Indonesia. Salah satu kritik utamanya adalah proyek-proyek itu tidak berhasil menurunkan biaya logistik, yang merupakan salah satu tujuan utama pembangunan infrastruktur.
Namun, bukan pembangunan fisik yang paling mengkhawatirkan dalam masa kepemimpinan Jokowi, melainkan degradasi demokrasi dan transparansi. Meski serba sedikit, The Straits Times menyinggung masalah itu dengan menyebutkan penurunan kebebasan sipil dan ruang demokrasi selama masa kepresidenannya.
Kebebasan pers, misalnya, mengalami tekanan besar, dengan berbagai undang-undang yang digunakan untuk menekan kritik dan membungkam suara-suara yang berseberangan dengan pemerintah. Salah satu undang-undang yang paling kontroversial adalah UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang sering digunakan untuk mempidanakan kritik di media sosial.
Tentang itu, Edward Aspinall, pakar politik Indonesia dari Australian National University, Canberra, Australia, berkomentar bahwa Jokowi telah merusak demokrasi Indonesia dengan mengabaikan reformasi politik yang seharusnya ia perkuat selama masa transisi demokrasi. Sebaliknya, kata Aspinall, Jokowi lebih memilih stabilitas kekuasaan jangka pendek.
Aspinall, dalam New Mandala—media yang dikelola Coral Bell School of Asia Pacific Affairs in the College of Asia and the Pacific, ANU—dan The Diplomat, juga mencatat bahwa di bawah Jokowi, kontrol terhadap media dan militerisasi pemerintahan semakin meningkat, dan itu memperburuk situasi. Kebijakan-kebijakan seperti itu menurunkan kebebasan sipil dan menggerus norma-norma demokrasi.
Pandangan tersebut memperkuat kesan bahwa Jokowi, meskipun memulai karier politiknya sebagai sosok reformis dan demokratis, akhirnya terjerumus ke dalam pola otoritarianisme yang mereduksi hak-hak sipil.
Salah satu indikasi kuat dari keruntuhan demokrasi adalah revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019, yang secara signifikan melemahkan wewenang lembaga antikorupsi tersebut. Jokowi, yang pada awalnya memposisikan dirinya sebagai pendukung pemberantasan korupsi, justru terlihat melindungi oligarki dan melemahkan lembaga-lembaga pengawas yang seharusnya menjadi penjaga integritas pemerintahan.
Kegagalan Revolusi Mental
Artikel The Straits Times juga mengulas popularitas Jokowi yang tetap tinggi, dengan angka persetujuan publik yang mencapai 72 persen pada 2022, menurut sebuah lembaga survei. Namun, di balik angka-angka itu, ada pertanyaan yang perlu dijawab: seberapa akuratkah survei-survei ini? Di Indonesia, budaya politik uang dan pencitraan politik yang diorkestrasi bukanlah hal yang asing.
Jokowi, yang secara konsisten menggunakan pencitraan sebagai strategi politiknya, tidak luput dari kritik publik mengenai kemungkinan popularitas itu bisa saja difabrikasi. Tak ada jaminan bahwa angka-angka popularitas tersebut bukan bagian dari kampanye pencitraan yang dirancang secara matang oleh tim komunikasi politiknya.
Salah satu janji utama kampanye Jokowi adalah "Revolusi Mental"—sebuah upaya untuk mengubah budaya korupsi, memperkuat etika birokrasi, dan menanamkan nilai-nilai moral yang kuat di masyarakat.
Namun, janji itu tidak pernah terlihat nyata. Justru, selama masa kepemimpinannya, Indonesia mengalami kemunduran dalam pemberantasan korupsi. Revisi UU KPK adalah salah satu indikasi paling mencolok dari kegagalan Jokowi dalam mewujudkan revolusi mental yang dia janjikan sendiri.
Pakar hukum Todung Mulya Lubis menilai Jokowi, yang seharusnya menjadi pelindung lembaga antikorupsi, justru membiarkan KPK dirusak oleh kepentingan politik dan ekonomi yang lebih besar. Ia juga menyayangkan bahwa revisi undang-undang telah menjadikan KPK sebagai alat politik pemerintah, yang dapat digunakan untuk melawan oposisi, bukan untuk mengungkap kebenaran dan keadilan.
"Saya merasa sedih, di periode kedua Presiden Jokowi seharusnya bisa membuat warisan yang bagus buat bangsa ini, meninggalkan sejarah perjuangan pemberantasan korupsi yang bagus, dengan hasil yang bagus," kata Todung kepada Law Justice.co.
Kondisi birokrasi pemerintahan juga banyak dikritik. Meski era Soeharto dikenal dengan praktik korupsi dan nepotisme yang meluas, birokrasi pada masa itu dianggap lebih efektif dan terorganisasi dengan baik dalam menjalankan pemerintahan.
Namun, di era Jokowi, birokrasi justru melemah, dengan banyak pejabat yang terlibat dalam praktik korupsi, dan sistem pemerintahan yang semakin tidak transparan. Kritik keras terhadap Jokowi berasal dari kenyataan bahwa "Revolusi Mental" yang dia janjikan gagal total dalam meningkatkan etika birokrasi.
Ada pula yang kemudian berkembang luas di masa kekuasaan Jokowi, yakni autocratic legalism. Berdasarkan catatan jurnal “The Theory and Practice of Legislation”, edisi Mei 2024, legalisme otokratik terjadi ketika proses pembuatan undang-undang dilakukan secara kilat tanpa proses deliberatif yang sungguh-sungguh dan kesertaan partisipasi publik yang otentik, karena hanya demi melayani kepentingan elite.
Di sini, berdasarkan penelitian Frank Feulner, ditemukan bahwa selama periode kedua pemerintahan Joko Widodo, Dewan Perwakilan Rakyat bukan hanya tak peduli pada laju kemerosotan demokrasi. Lebih dari itu, mereka justru menjadi aktor paling aktif dalam autocratic legalism tersebut.
Lihatlah berbagai penggerogotan institusi-institusi demokrasi lain: perubahan KPK dari lembaga independen menjadi lembaga kepanjangan tangan eksekutif; atau penggunaan MK untuk membuka jalan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai kandidat wakil presiden.
Perubahan dalam setting kelembagaan demokrasi itu tidak sekadar mengakibatkan lembaga-lembaga itu menjadi kurang efektif. Lebih dari itu, karakter lembaga-lembaga tersebut berubah secara mendasar menjadi kantong-kantong dalam otoritarianisme (authoritarian enclaves) baru.
Pragmatisme pembangunan itu yang akhirnya membuat Presiden Joko Widodo melakukan kesalahan serupa dengan Soeharto, yakni memisahkan pembangunan ekonomi dari demokrasi dan hak asasi. Akibatnya, periodenya ditandai dengan meluasnya problem lingkungan dan kemunduran dalam ruang civic di kalangan civil society.
Bedanya, di masa Soeharto pragmatisme dipilih sebagai jalan untuk memastikan kestabilan politik demi pertumbuhan ekonomi, sementara pragmatisme Jokowi akibat keterbatasan wawasan di awal pemerintahannya dan keinginan segera membedakan diri dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Barangkali, dengan sekian banyak rapor merah setelah satu dekade berkuasa itu, kalimat “Goodbye” yang dipilih The Straits Times memang proporsional dan layak. "Goodbye" mungkin mencerminkan kelelahan politik yang dirasakan banyak pihak terhadap warisan Jokowi yang penuh kontradiksi.
“…ia sama sekali tidak meninggalkan warisan yang cukup jelas untuk dijadikan pijakan supaya Indonesia berjalan selamat dan lebih tenang ke masa depan.”
Sumber: INILAH