DEMOCRAZY.ID - Presiden Joko Widodo diingatkan tidak menggunakan Kapolda dan Kapolres untuk kepentingan pribadinya.
Pasalnya, pengumpulan Kapolda dan Kapolres di Ibu Kota Nusantara (IKN) pada Kamis (12/9), berdekatan dengan agenda aksi relawan berani mati pembela Jokowi.
Analis politik dari Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga menganggap wajar jika publik mengaitkan pertemuan Jokowi dengan Kapolda dan Kapolres dengan munculnya aksi relawan berani mati bela Jokowi pada 22 September mendatang.
Menurutnya, Jokowi sedang meminta agar Kapolda dan Kapolres memastikan aksi relawan berani mati pembela Jokowi itu berjalan lancar.
"Kapolda dan Kapolres mungkin saja diminta untuk memastikan aksi bela mati Jokowi terjaga sehingga kemungkinan bentrok dengan elemen masyarakat lainnya dapat dicegah," kata Jamiluddin, Minggu (15/9).
Ia menambahkan, kalau hanya itu motif mengundang Kapolda dan Kapolres, tentu sangat disayangkan.
Sebab, hal itu tak sebanding dengan ongkos yang dikeluarkan setiap Kapolda dan Kapolres ke IKN.
"Diundangnya Kapolda dan Kapolres ke IKN semoga tak berkaitan dengan rencana aksi bela mati Jokowi," kata Jamiluddin.
"Dengan begitu, Jokowi tidak menggunakan Kapolda dan Kapolres untuk kepentingan sempit yang merugikan keuangan negara," demikian Jamiluddin.
“Pasukan Berani Mati” Bela Jokowi Ancaman Demokrasi atau Loyalitas Buta?
Oleh: Agusto Sulistio
Pegiat Sosmed
Gerakan yang dikabarkan akan terjadi pada 22 September 2024 dengan mengatasnamakan “Pasukan Berani Mati Bela Jokowi” menjadi perhatian serius di tengah kondisi politik Indonesia, terlebih di akhir masa jabatan Presiden Jokowi.
Meskipun gerakan ini belum terbukti secara nyata, viralnya berita ini di berbagai media jelas berpotensi merusak citra Presiden Jokowi di masa-masa kritis menjelang berakhirnya kekuasaan.
Dalam konteks demokrasi dan stabilitas politik, gerakan seperti ini harus ditangani dengan pendekatan yang tegas namun sesuai dengan hukum dan konstitusi yang berlaku.
Pandangan Umum dan Teori Kepemimpinan Demokratis
Menurut teori kepemimpinan demokratis yang dikemukakan oleh berbagai pemikir dan pakar psikologi dunia, seorang pemimpin yang baik adalah mereka yang mendengarkan suara rakyat, menghormati aturan hukum, dan membangun pemerintahan yang transparan.
Teori ‘Democratic Leadership’ yang dirumuskan oleh pemikir seperti John Dewey dan Max Weber menyatakan bahwa dalam sistem demokrasi, seorang pemimpin harus bertindak sebagai pelayan masyarakat dan memimpin dengan mengutamakan kepentingan umum, bukan mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara otoritarian atau melalui kekerasan.
Pakar psikologi politik seperti David G. Winter juga mengungkapkan, bahwa pemimpin yang efektif dalam sistem demokrasi adalah mereka yang memahami pentingnya proses transisi kekuasaan yang damai.
Ketidakmampuan seorang pemimpin untuk menerima akhir masa jabatannya dapat menimbulkan krisis politik dan mengarah pada situasi yang berbahaya, seperti munculnya milisi atau gerakan-gerakan ekstrem yang bertujuan mempertahankan status quo.
Dalam hal ini, gerakan seperti “Pasukan Berani Mati” sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip kepemimpinan demokratis.
Penggunaan ancaman kekerasan atau milisi untuk mempertahankan pemimpin hanya akan memperburuk kondisi sosial-politik, menciptakan ketegangan, dan merusak fondasi demokrasi yang seharusnya dijaga dengan baik.
Kapolri Harus Tindak Cepat
Untuk mencegah semakin buruknya situasi, tindakan segera dari aparat hukum, khususnya pihak kepolisian di bawah Jenderal Pol. Sigit Listyo Prabowo sangat diperlukan.
Viralitas berita tentang gerakan ini bisa memicu ketakutan, meningkatkan polarisasi di masyarakat, dan merusak stabilitas sosial-politik Indonesia. Oleh karena itu, upaya penyelidikan dan tindakan preventif harus segera dilakukan demi kedamaian dan stabilitas negara.
Teori Rule of Law yang dikembangkan oleh para pemikir seperti Albert Venn Dicey menegaskan bahwa hukum harus ditegakkan secara adil dan merata tanpa diskriminasi. Semua tindakan yang berpotensi menimbulkan gangguan terhadap ketertiban umum, terutama yang menggunakan kekerasan, harus diproses secara hukum tanpa pandang bulu.
Jika ada peran tokoh atau elite pemerintah serta partai politik yang terlibat dalam gerakan 22 September ini, tindakan tegas harus diambil tanpa ada pengecualian.
Tindakan diskriminatif atau tebang pilih dalam penanganan masalah ini akan merusak kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum dan memperburuk situasi politik yang sudah sensitif.
Gerakan 22 September 2024 dan Citra Presiden Jokowi
Sebagai pemimpin yang berada di akhir masa jabatannya, Presiden Jokowi harus menyikapi isu ini dengan bijak. Jika gerakan ini dibiarkan berkembang, hal tersebut tidak hanya akan memperburuk citra Jokowi sebagai pemimpin yang tidak mampu menjaga stabilitas, tetapi juga menodai warisan politiknya.
Di tengah transisi kekuasaan, seorang presiden harus menunjukkan keikhlasan dalam melepas jabatannya dan mendukung proses demokrasi yang sehat, seperti yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh besar dunia.
Pemikir seperti Niccolò Machiavelli dalam karyanya ‘The Prince’ menyebutkan bahwa pemimpin yang kuat adalah mereka yang dapat menyeimbangkan antara kekuasaan dan moralitas.
Namun, di era modern, pendekatan Machiavellian ini telah dikritik oleh banyak pakar kepemimpinan demokratis yang menekankan pentingnya legitimasi rakyat dan integritas moral seorang pemimpin.
James MacGregor Burns, seorang ahli teori kepemimpinan, menggambarkan bahwa pemimpin yang transformatif adalah mereka yang mampu mempengaruhi dan menginspirasi rakyatnya tanpa harus mengandalkan kekerasan atau ketakutan.
Pemimpin yang Mengakhiri Masa Jabatannya dengan Positif
Sejarah modern memberikan banyak contoh pemimpin yang berhasil mengakhiri masa jabatannya dengan positif dan memberikan dampak baik bagi negaranya maupun dunia internasional. Salah satu contohnya adalah Nelson Mandela, yang dengan penuh keikhlasan meninggalkan jabatan presiden setelah satu periode, meskipun ia sangat dihormati dan diinginkan untuk terus memimpin.
Mandela memahami bahwa kekuasaan tidak seharusnya menjadi tujuan utama seorang pemimpin, melainkan pengabdian kepada rakyatnya.
Angela Merkel juga menunjukkan teladan yang baik dengan secara suka rela meninggalkan kursi kanselir Jerman setelah empat periode, meskipun masih memiliki dukungan kuat. Keputusannya untuk mengakhiri jabatannya menunjukkan komitmen pada proses demokrasi dan kepemimpinan yang bertanggung jawab.
Penutup
Dalam situasi seperti ini, penting bagi Presiden Jokowi untuk mengambil langkah yang bijaksana dan mendukung stabilitas sosial-politik negara. Membiarkan atau bahkan secara diam-diam mendukung gerakan seperti “Pasukan Berani Mati” akan memberikan dampak negatif yang besar bagi bangsa dan negara, serta merusak citranya di mata dunia.
Dengan menunjukkan komitmen terhadap konstitusi dan penegakan hukum yang adil, Presiden Jokowi dapat memastikan bahwa masa transisi kekuasaannya akan berlangsung damai, tanpa menciptakan perpecahan di masyarakat.
Demi keamanan dan persatuan Indonesia, aparat keamanan harus bertindak cepat dan tegas terhadap segala ancaman yang dapat menciptakan instabilitas. Hukum harus ditegakkan tanpa diskriminasi, dan setiap tokoh atau elit yang terlibat harus dihadapkan pada proses hukum yang adil.
Dengan cara ini, bangsa Indonesia dapat menjaga kedamaian dan stabilitas politik yang diperlukan untuk masa depan yang lebih baik.
Kampus UI Salemba
11 September 2024