DEMOCRAZY.ID - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eisha Maghfiruha Rachbini mencatat, tata kelola keuangan negara di 2 peride Jokowi 'ngeri-ngeri sedap'.
Lantaran angka defisitnya jauh di atas presiden sebelumnya. Lebih besar pengeluaran ketimbang pemasukan.
"Secara periodik sejak 2015-2023, sejak Jokowi memerintah terlihat bahwa rata-rata defisit fiskal mengalami pelebaran. Selisih penerimaan dan pengeluaran, terjadi gap yang sangat lebar," papar Eisha, Jakarta, dikutip Selasa (17/9/2024).
Selanjutnya, Eisha menunjukkan hasil perthitungan rata-rata defisit sejak era Megawati, SBY dan Jokowi.
Di mana, rata-rata defisit di era Megawati berada di angka 1,5 persen. Sedangkan rata-rata defisit era SBY turun menjadi 1,2 persen. Namun lompat tinggi di era Jokowi sebesar 2,8 persen.
Dia pun menyoroti jebloknya penerimaan pajak, sementara pengeluaran pemerintah cukup besar.
Jika dibuat perbandingan antara target dan realisasi pajak di 10 tahun pemerintahan Jokowi, acapkali penerimaan pajak mengalami gagal target. Bahkan angka gapnya terlalu tinggi (shortfall).
"Hanya pada 2021-2023 usai pandemi COVID-19, realisasi penerimaan pajak lebih tinggi dari target. Karena tertolong harga komoditas Indonesia yang booming di pasar global. Dampak dari geopolitik," terangnya.
Akibat terjadinya defisit APBN, lanjut Esha, pemerintah membiayai operasional dari dana-dana utang.
Rasio pajak Indonesia jauh tertinggal dibandingkan sejumlah negara tetangga, seperti Malaysia, Filipa atau Vietnam.
"Apalagi kalau dibandingkan Jepang atau China, semakin besar ketertinggalan Indonesia," ungkapnya.
Masih kata Eisha, struktur penerimaan pajak di Indonesia lebih dominan korporasi ketimbang pribadi, atau PPH Badan.
Personal income tax hanya 9 persen dari total pajak. Sedangkan dari sisi added tax terdapat 15-29 persen adalah pajak lain-lain.
Sedangkan dari perspektif neraca belanja, lanjutnya, keseimbangan primer terlihat bahwa belanja pemerintah pusat, masih didominasi pembayaran utang.
Ada pula belanja pegawai, sementara belanja modal masih rendah bahkan menurun.
"Utang terlihat tidak menyebtuh sektor produktif karena dilihat untuk membiayai belanja modal hanya sedikit. Yang besar untuk belanja pegawai. Sehingga tidak mendorong produktivitas jangka panjang," paparnya.
Terkait menggunungnya utang pemerintah hingga Rp8.502,7 triliun per Juli 2024, lanjut Eisha, narasi yang dibangun para menteri sektor ekonomi di Kabinet Indonesia Maju (KIM) adalah masih aman. Karena rasio utang terhadap GDP (Gross Domestic Product) masih di bawah 60 persen.
"Namun harus dilihat secara proporsional. Utang dibagi dalam utang jangka pendek dan jangka panjang. Kalau utang jangka panjang kita proporsinya 90 persen, sisanya 10 persen adalah jangka pendek," ungkapnya.
Komponen lain yang harus diperhatikan, lanjut Eisha, bunga surat utang (yield) yang diterbitkan pemerintah Indonesia sebesar 7,2 persen, boleh jadi yang tertinggi di Asia.
Ambil contoh Singapura, yield-nya hanya 3,2 persen, Vietnam dan Thailand sekitar 2,7 persen. Artinya, bunga yang harus kita bayar lebih besar ketimbang negara lain.
Sumber: Inilah