'Gibran, Fufufafa dan Bom Waktu Politik'
"Jejak langkah kita di masa lalu adalah bayangan yang akan selalu mengikuti, apakah itu terang atau gelap." – Plato
Media sosial di era digital telah berkembang menjadi pedang bermata dua bagi pejabat publik. Apa yang dulu hanya percakapan kasual kini dapat berubah menjadi bom waktu yang meledak di kemudian hari.
Kasus akun Kaskus Fufufafa, yang diduga terkait dengan akun milik Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka, menunjukkan betapa jejak digital dapat menjadi ancaman yang serius ketika terungkap kembali, terutama ketika menyangkut hujatan yang mengarah kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Kontroversi ini memperlihatkan bagaimana unggahan masa lalu di media sosial bisa menjadi bumerang yang menghancurkan reputasi di kemudian hari.
Menurut laporan We Are Social dan Hootsuite pada Januari 2023, jumlah pengguna media sosial di Indonesia mencapai 191 juta orang, yang merupakan 69% dari total populasi negara. Tak heran menurut Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit, media sosial telah menjadi sumber informasi utama setelah televisi, terutama dalam hal politik.
“Media sosial itu sangat penting untuk membangun citra politik seseorang. Orang-orang sekarang mendapatkan informasi politik dari media sosial setelah televisi,” ungkap Fahmi kepada reporter inilah.com.
Kasus seperti Fufufafa membuktikan bahwa konten kontroversial lebih cepat menarik perhatian dan terlibat dengan publik dibandingkan konten positif. Dalam politik, narasi negatif lebih mudah menyebar dan memengaruhi persepsi publik.
Penelitian dari Institute for Digital Democracy pada 2022 juga menunjukkan bahwa konten negatif memiliki kemungkinan 70% lebih besar untuk dibagikan dibandingkan konten positif. 85% masyarakat mengakui bahwa mereka lebih tertarik pada berita kontroversial daripada berita positif.
Fenomena ini tidak hanya dialami oleh Gibran. Politisi seperti Pramono Anung dan Ridwan Kamil juga mengalami hal serupa, di mana unggahan lama mereka di media sosial digunakan sebagai senjata untuk menyerang reputasi mereka.
Jejak digital, yang seringkali tidak dikelola dengan baik, dapat digali dan dieksploitasi oleh lawan politik atau bahkan publik yang haus akan kontroversi.
Seperti yang dijelaskan Ismail, tren ini kian menjadi-jadi karena keinginan publik untuk mengetahui siapa sebenarnya tokoh-tokoh politik yang tengah naik daun.
"Ketika seseorang sudah menjadi tokoh publik, jejak digitalnya akan dikulik. Ini yang sering menjadi masalah karena narasi negatif lebih mudah viral," katanya.
Mengelola Citra Digital di Era Informasi
Dari sisi keamanan digital, pengamat IT dari ICT Institute Heru Sutadi menekankan pentingnya manajemen jejak digital bagi pejabat publik.
“Jejak digital, baik positif maupun negatif, harus dikelola dengan hati-hati. Apa yang kita posting sekarang bisa mempengaruhi karier kita di masa depan,” jelasnya.
Kasus Fufufafa tidak hanya menjadi perhatian publik, tetapi juga menimbulkan tuntutan untuk pengungkapan identitas di balik akun tersebut.
Menurut Heru, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memiliki kemampuan untuk melacak akun anonim seperti ini melalui teknologi pelacakan digital. Namun, ia juga menekankan pentingnya transparansi dalam proses pengungkapan identitas.
"Kominfo seharusnya memiliki kemampuan untuk melacak akun-akun anonim ini, termasuk siapa di balik akun Fufufafa. Namun, harus ada transparansi dan bukti yang kuat jika ingin mengaitkan seseorang dengan akun tersebut,” tambahnya.
Kasus ini menyoroti kebutuhan mendesak akan literasi digital, terutama bagi pejabat publik yang citranya rentan terhadap eksploitasi media sosial. Menurut data Kominfo, tingkat literasi digital di Indonesia pada 2022 berada pada skor 3.49 dari 5, yang berarti masih dalam kategori "sedang".
Menurutnya, pendidikan literasi digital sangat penting untuk mencegah terjadinya kasus-kasus serupa.
“Pejabat publik harus berpikir dua kali sebelum memposting sesuatu di media sosial. Jejak digital bukan hanya soal masa kini, tetapi juga tentang dampaknya di masa depan," ujar Heru.
Kasus Hoaks dan Disinformasi
Pada tahun 2022, Mafindo mencatat ada 2.298 kasus hoaks yang tersebar di media sosial, dengan topik politik menduduki posisi tertinggi yaitu 42% dari total hoaks.
Dalam dunia politik yang terus berkembang, media sosial telah menjadi arena baru untuk berperang. Seperti yang diungkapkan Ismail Fahmi, publik tidak lagi mencari informasi dari sumber-sumber tradisional seperti Google, tetapi beralih ke platform seperti TikTok dan Twitter untuk menemukan narasi politik terkini.
Menurut survei Edelman Trust Barometer 2023, tingkat kepercayaan publik Indonesia terhadap informasi di media sosial mencapai 68%, lebih tinggi dibandingkan media tradisional yang berada di angka 62%.
Informasi yang sudah diframing atau dimanipulasi dengan baik, bahkan hoaks, sering kali lebih efektif dalam membentuk opini publik daripada data sebenarnya.
"Sekarang ini, kalau ada kegiatan positif tapi tidak di-share di media sosial, ya dianggap tidak ada," jelasnya. Ini menunjukkan bahwa dalam dunia politik saat ini, citra bukan hanya tentang kinerja, tetapi juga tentang bagaimana narasi dibentuk dan disebarkan melalui media sosial.
Kasus Fufufafa adalah pengingat bagi pejabat publik tentang pentingnya mengelola citra mereka dengan baik di media sosial.
Apa yang dulunya dianggap tidak penting bisa kembali menghantui di masa depan. Jejak digital yang buruk dapat dengan cepat merusak reputasi, terutama di dunia politik yang dinamis.
Dalam era di mana informasi menyebar dengan cepat dan sering kali tidak terkendali, kemampuan untuk mengelola citra digital menjadi kunci dalam mempertahankan kepercayaan publik.
Pada akhirnya, seperti yang diperingatkan Plato, jejak langkah kita akan selalu mengikuti, apakah itu terang atau gelap. Di era digital ini, pejabat publik harus lebih bijak dan berhati-hati dalam membangun jejak digital mereka, karena apa yang mereka tulis hari ini bisa menjadi alat bagi orang lain untuk menjatuhkan mereka di masa depan.
Sumber: Inilah