Konspirasi Jahat Menjegal Anies Baswedan: 'Demokrasi Yang Terkikis di Akhir Kekuasaan Jokowi' - DEMOCRAZY News
CATATAN POLITIK

Konspirasi Jahat Menjegal Anies Baswedan: 'Demokrasi Yang Terkikis di Akhir Kekuasaan Jokowi'

DEMOCRAZY.ID
Agustus 18, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
Konspirasi Jahat Menjegal Anies Baswedan: 'Demokrasi Yang Terkikis di Akhir Kekuasaan Jokowi'


Konspirasi Jahat Menjegal Anies Baswedan: 'Demokrasi Yang Terkikis di Akhir Kekuasaan Jokowi'


Pemilihan kepala daerah yang seharusnya menjadi pesta demokrasi kini berisiko berubah menjadi bencana demokrasi. 


Di akhir masa jabatannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama sejumlah partai politik diduga melakukan transaksi dan intimidasi untuk mencegah Anies Baswedan maju dalam Pilgub Jakarta 2024.


Jokowi, yang sempat berjanji untuk tidak terlibat dalam Pilkada 2024, kini bersama Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mendukung Prabowo Subianto, melakukan manuver politik demi menjadikan Ridwan Kamil sebagai Gubernur Jakarta periode 2024-2029. 


Salah satu langkah awal mereka adalah dengan ‘membajak’ tiga partai politik yang sebelumnya bersiap mengusung Anies, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasdem, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).


Selain menawarkan kompensasi politik dan ekonomi, kelompok ini dikabarkan juga menekan petinggi partai dengan menggunakan kasus hukum. 


Tujuannya jelas: Ridwan Kamil harus menang dengan mudah, baik melawan kotak kosong atau kandidat boneka.


Ambisi Jokowi untuk memenangkan Ridwan Kamil juga berkaitan dengan keinginannya agar anak bungsunya, Kaesang Pangarep, menjadi calon wakil gubernur. 


Anies Baswedan dianggap sebagai batu sandungan karena dalam beberapa survei, ia selalu unggul dibandingkan Ridwan. 


Menghadang Anies dengan mempersiapkan kotak kosong atau kandidat palsu dari jalur independen adalah strategi licik untuk memastikan kemenangan Ridwan Kamil.


Hasrat Jokowi untuk mencarikan pekerjaan bagi anak-anaknya juga sejalan dengan kepentingan Presiden terpilih Prabowo Subianto. 


Kehadiran Ridwan Kamil dalam Pilkada Jakarta akan memuluskan jalan Dedi Mulyadi, kader Partai Gerindra, menuju kursi Gubernur Jawa Barat, mengingat Ridwan saat ini adalah kandidat terkuat di provinsi tersebut.


Manfaat lain dari menjegal Anies adalah mengurangi jumlah kandidat potensial yang bisa menjadi pesaing Prabowo dalam Pemilihan Presiden 2029. 


Dua kepentingan ini memungkinkan Jokowi dan kartel politiknya bermanuver dengan leluasa, memotong satu per satu partai politik yang mendukung Anies.


Jokowi tampaknya menggunakan strategi yang sama dengan Pilpres sebelumnya: menggertak lawan politik dengan kriminalisasi hukum dan merayu mereka dengan iming-iming uang. 


PKS, yang memiliki jumlah kursi terbesar di Dewan Perwakilan Daerah Jakarta, dijanjikan kompensasi dan kursi wakil gubernur jika Kaesang batal menjadi calon pendamping Ridwan Kamil. 


Adapun Partai Nasdem diancam akan diseret dalam kasus hukum yang melibatkan wakil ketua umum partainya. 


PKB juga dikunci, mengingat ketua umumnya, Muhaimin Iskandar, tengah berseteru dengan pimpinan Nahdlatul Ulama. 


Kursi ketua umum bisa terancam jika PKB tidak bergabung dengan KIM Plus, koalisi yang akan mengusung Ridwan Kamil.


Dengan demikian, Anies hampir pasti ditinggalkan oleh ketiga partai tersebut. Sementara itu, PDI Perjuangan, meskipun ingin mengusung Anies, tidak memiliki cukup kursi di DPRD Jakarta untuk bergerak sendirian.


Modus memborong partai dengan tujuan melahirkan calon tunggal untuk melawan kotak kosong terus meningkat dari Pilkada ke Pilkada. Pada tahun 2020, sebanyak 25 pasangan kotak kosong berhasil memenangkan Pilkada. 


Tahun ini, jumlahnya meningkat. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memprediksi bahwa jika kesepakatan politik yang telah diumumkan tidak berubah, ada 34 Pilkada yang hanya diikuti satu pasangan calon.


Strategi merampas hak rakyat lewat pemilihan kotak kosong ini harus dilawan. Pilkada abal-abal akan menghilangkan esensi Pemilu sebagai cara demokratis untuk memilih pemimpin. 


Menang kotak kosong akan membuat kepala daerah terpilih menjadi jongos partai tanpa merasa berhutang budi kepada konstituen.


Untuk melawan taktik ini, rakyat harus memilih kotak kosong di bilik suara. Jika kotak kosong menang, Pilkada harus diulang. Proses politik memang jadi lebih panjang, tapi itu adalah cara melawan yang terbaik dan terhormat.


Sumber: Tempo

Penulis blog