'Kebodohan Jokowi Yang Telanjang'
Di bawah sinar terik kekuasaan, kebodohan seorang pemimpin tak bisa disembunyikan oleh pakaian protokoler atau kata-kata yang indah.
Presiden Joko Widodo, yang pernah dipuja sebagai sosok sederhana dengan visi rakyat, kini berdiri di hadapan kita, telanjang dalam kebodohannya.
Bukan kebodohan dalam arti keterbatasan intelektual, melainkan kebodohan dalam kebijakan, kepemimpinan, dan moralitas yang terkuak seiring waktu.
Jokowi, dalam pemerintahannya yang telah berlangsung hampir satu dekade, telah memperlihatkan kebodohan yang mengerikan dalam berbagai aspek.
Ia gagal memahami esensi dari kepemimpinan yang sejati, yang bukan hanya tentang membangun infrastruktur megah, tetapi tentang membangun jiwa bangsa ini.
Di tengah megahnya proyek-proyek yang ia banggakan, seperti jalan tol dan ibu kota baru, Jokowi seolah lupa bahwa rakyatnya bukanlah batu bata atau semen yang bisa diatur dan dipindahkan sesuka hati.
Mereka adalah manusia, dengan kebutuhan yang lebih mendasar dari sekadar jalan raya; mereka butuh keadilan, kesejahteraan, dan pendidikan yang layak.
Ketika pandemi COVID-19 melanda, kebodohan Jokowi semakin telanjang di hadapan kita. Alih-alih mengambil tindakan tegas sejak awal, ia terjebak dalam keragu-raguan dan inkonsistensi kebijakan.
Bagaimana bisa seorang pemimpin yang diklaim memiliki “tangan dingin” dalam memimpin justru bingung dan terlambat dalam menghadapi krisis kesehatan yang paling mematikan di era modern ini?
Keputusan-keputusan yang diambil, mulai dari pelonggaran PSBB hingga penanganan vaksinasi yang terkesan asal-asalan, hanya menunjukkan betapa Jokowi dan lingkarannya tidak memiliki visi jangka panjang yang jelas.
Lebih lanjut, kebodohan ini juga tampak dalam cara Jokowi mengelola ekonomi. Dalam retorikanya, ia sering kali berbicara tentang pertumbuhan dan investasi, tetapi kenyataannya rakyat semakin terpuruk dalam ketidakpastian ekonomi.
Pengangguran meningkat, harga-harga melambung, sementara utang negara kian menumpuk tanpa ada strategi yang jelas untuk membayarnya.
Ia tampak lebih peduli pada angka-angka yang bisa dipamerkan di panggung internasional, daripada kenyataan pahit yang dihadapi oleh rakyatnya sehari-hari.
Tak hanya itu, kebodohan Jokowi juga terlihat dalam caranya menangani masalah hukum dan keadilan. Di bawah pemerintahannya, hukum sering kali diperalat untuk membungkam kritik dan melindungi kepentingan elit.
Keputusan-keputusan kontroversial, seperti revisi UU KPK dan Omnibus Law, yang dilakukan dengan cara yang tergesa-gesa dan mengabaikan aspirasi rakyat, adalah bukti nyata bahwa Jokowi tak memahami pentingnya keadilan dan partisipasi publik dalam demokrasi.
Jokowi mungkin berpikir bahwa ia bisa menyembunyikan kelemahannya di balik popularitasnya, tetapi kenyataannya, kebodohannya semakin mencolok.
Rakyat semakin sadar bahwa di balik senyuman dan janji-janji manisnya, ada seorang pemimpin yang tidak siap, tidak kompeten, dan tidak memiliki keberanian moral untuk memimpin bangsa ini ke arah yang benar.
Kebodohan Jokowi bukan lagi rahasia, tetapi sebuah kenyataan yang telanjang di hadapan kita semua. Dan semakin ia berusaha menutupi kesalahannya dengan retorika atau proyek-proyek ambisius, semakin jelas pula ketidakmampuannya dalam memimpin.
Bangsa ini butuh pemimpin yang tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga memahami esensi dari kepemimpinan yang sejati – sesuatu yang, sayangnya, Jokowi tidak miliki.
Benarkah?