Kebijakan Manipulatif Jokowi Harus Dipertanggungjawabkan: 'Tidak Bisa Diselesaikan Dengan Permohonan Maaf'
Kebijakan seorang presiden seharusnya mencerminkan komitmen kepada rakyat dan transparansi dalam pengelolaan negara. Namun, sejumlah kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama masa jabatannya menimbulkan kontroversi dan kritik tajam.
Banyak pihak menilai bahwa beberapa kebijakan Jokowi manipulative. Lebih menguntungkan segelintir pihak, termasuk keluarganya sendiri, daripada rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Beberapa contoh nyata dari kebijakan manipulatif ini mencakup isu impor beras, pembagian bantuan sosial (bansos), pengelolaan tambang nikel, investasi asing di Ibu Kota Negara (IKN) baru, nilai tukar rupiah, pertumbuhan ekonomi, dan komitmen anti korupsi serta utang.
Impor Beras yang Kontroversial
Salah satu kebijakan yang mendapat sorotan tajam adalah kebijakan impor beras. Pada awal masa jabatannya, Jokowi sering menekankan pentingnya swasembada pangan dan menolak impor beras. Namun, kenyataannya, Indonesia tetap mengimpor beras dalam jumlah besar.
Data-data yang disampaikan oleh pemerintah terkait kebutuhan impor sering kali dianggap manipulatif dan tidak sesuai dengan realitas di lapangan.
Impor beras ini tidak hanya merugikan petani lokal yang berjuang untuk bersaing dengan harga beras impor yang lebih murah, tetapi juga menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan integritas kebijakan pangan nasional.
Pembagian Bantuan Sosial yang Dipolitisasi
Pembagian bansos seharusnya menjadi program yang murni untuk membantu masyarakat miskin dan terdampak pandemi. Namun, dalam praktiknya, program ini sering kali dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
Salah satu contohnya adalah dugaan bahwa program bansos digunakan untuk mendongkrak popularitas putra Presiden, Gibran Rakabuming Raka.
Penyaluran bansos yang tidak merata dan adanya indikasi penyalahgunaan wewenang demi kepentingan politik pribadi sangat mencederai semangat keadilan sosial yang seharusnya menjadi landasan utama program ini.
Pengelolaan Tambang Nikel yang Menguntungkan Asing
Pengelolaan tambang nikel di Indonesia juga menjadi sorotan. Kebijakan Jokowi yang membuka peluang besar bagi investor asing, khususnya dari China, dalam mengelola tambang nikel di Indonesia sering kali dianggap lebih menguntungkan pihak asing daripada negara sendiri.
Alih-alih meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dan meningkatkan pendapatan negara, kebijakan ini justru dianggap lebih banyak memberikan keuntungan kepada investor asing.
Dalam jangka panjang, hal ini dapat menimbulkan ketergantungan ekonomi yang tidak sehat dan mengurangi kedaulatan negara atas sumber daya alamnya.
Investasi Asing di IKN yang Tidak Terwujud
Salah satu klaim besar Jokowi adalah bahwa banyak investor asing yang antre untuk berinvestasi di Ibu Kota Negara (IKN) baru. Namun, kenyataannya hingga saat ini, belum ada investor asing yang benar-benar berkomitmen untuk berinvestasi di IKN.
Klaim ini ternyata tidak sesuai dengan realitas dan menimbulkan kekecewaan serta pertanyaan tentang validitas informasi yang disampaikan kepada publik.
Kegagalan untuk menarik investasi asing ini menyoroti masalah mendasar dalam perencanaan dan komunikasi kebijakan yang tidak transparan.
Nilai Tukar Rupiah yang Tak Tercapai
Jokowi pernah berjanji untuk menjaga nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat pada kisaran 10.000 per 1 USD.
Namun, pada kenyataannya, nilai tukar rupiah terus mengalami fluktuasi yang signifikan dan tidak stabil. Hingga akhir masa jabatannya, target tersebut tidak tercapai, yang mengakibatkan ketidakpercayaan di kalangan pelaku ekonomi dan masyarakat.
Ketidakmampuan untuk menjaga stabilitas nilai tukar ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas kebijakan ekonomi yang diterapkan.
Pertumbuhan Ekonomi yang Gagal Terwujud
Jokowi juga menjanjikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 6% selama masa jabatannya. Sayangnya, target ini tidak pernah tercapai.
Pertumbuhan ekonomi yang stagnan dan tidak merata menunjukkan adanya ketidakmampuan dalam mengelola kebijakan ekonomi yang efektif. Hal ini semakin diperparah dengan dampak pandemi COVID-19 yang memperlihatkan kerentanan ekonomi Indonesia.
Kegagalan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi ini menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat yang berharap akan adanya perbaikan kesejahteraan.
Komitmen Anti Korupsi dan Anti Utang yang Dipertanyakan
Di awal masa jabatannya, Jokowi berjanji untuk memerangi korupsi dan mengurangi utang negara. Namun, dalam praktiknya, korupsi masih merajalela di berbagai sektor pemerintahan. Selain itu, utang negara justru meningkat secara signifikan selama masa jabatannya.
Kebijakan pinjaman luar negeri yang tidak terkendali menambah beban finansial bagi negara dan generasi mendatang. Ketidaksesuaian antara janji dan realisasi ini menimbulkan pertanyaan tentang keseriusan dan integritas dalam mengelola pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi.
Kesimpulan
Kebijakan manipulatif Jokowi harus dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat. Transparansi, integritas, dan keadilan harus menjadi prinsip utama dalam setiap kebijakan pemerintah. Rakyat Indonesia berhak mendapatkan penjelasan yang jelas dan jujur tentang setiap kebijakan yang diambil, serta dampaknya terhadap kesejahteraan mereka.
Sudah saatnya kebijakan yang lebih berpihak kepada rakyat, bukan kepada kepentingan politik dan ekonomi segelintir pihak, menjadi prioritas utama pemerintahan.
Pertanggungjawaban atas kebijakan yang diambil bukan hanya bentuk tanggung jawab moral, tetapi juga kewajiban konstitusional yang harus ditegakkan. ***