DEMOCRAZY.ID - Suara siaran radio ketoprak berbahasa Jawa terdengar dari rumah sederhana kecil, dengan dinding anyaman bambu, dan beralaskan tanah di Padukuhan Susukan II, Kalurahan Genjahan, Ponjong, Gunungkidul, DI Yogyakarta, Jumat (2/8/2024) siang.
Tidak lama pemilik rumah Sarno (84) keluar menggunakan batik berwarna coklat lengan panjang, dan celana panjang biru tua.
Dengan ramah Sarno mempersilakan masuk. Di atas meja ruang tamu terdapat belasan medali, lencana, hingga sertifikat saat dirinya ikut beberapa kali operasi militer saat menjadi anggota militer sukarela.
Tak jauh dari meja tamu, terdapat sebuah tempat tidur di atasnya terdapat beberapa bantal dengan sprei putih.
"Ini dulu bekas kandang ayam, dan saya juga di sini. Sekarang saya sendiri tidur di sini," kata Sarno, saat ditemui di rumahnya, Jumat (2/8/2024).
Terlibat berbagai operasi
Sambil menunjukkan surat tanda penghargaan 'Satya Lenjana Wira Dharma' yang ditandatangani Menteri Koordinator keamanan dan pertahanan/keamanan Kepala staf angkatan Bersendjata A.H. Nasution, pada 26 Maret 1966, Sarno menceritakan dirinya menjadi anggota militer sukarela sejak tahun 1960 sampai 1969.
"Dimulai tahun 1960 DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) di Jawa Barat. Kedua di Sumatera pemberantasan PRRI. Ketiga kali di Sulawesi itu memberantas Kahar Muzakkar. Keempat kali itu ke Irian, merebut Irian Barat (Trikora), habis itu saya ke Kalimantan 1964, saya sampai 1,5 tahun lah di sana,” ucap dia.
Lalu dirinya 1966 sampai 1967 dirinya ikut pembersihan G30S, dan disiagakan untuk operasi Timor timor (Timor Leste).
"Sampai tahun 1969, ndak (masuk TNI), saya masuk wajib militer darurat. Saat itu lima tahun selesai, aturannya begitu. Saya sudah 9 tahun, saya dapat bintang sewindu juga itu," kata dia.
Sarno mengatakan, beberapa temannya di militer sukarela masuk sekolah dan melanjutkan karier di militer. Namun, dirinya yang sempat menjadi wakil komandan malah tidak bisa melanjutkan pendidikan.
Dia lalu memutuskan bekerja di Bandung, Jawa Barat, sebagai penjaga pasar. Hingga menikah dan pulang ke Gunungkidul, dirinya bekerja sebagai petani.
Ia menikah dua kali, karena istri pertamanya meninggal setelah 20 tahun bersama. Istri keduanya juga meninggal setelah 15 tahun bersama. Namun, kedua pernikahan tidak dikaruniai keturunan.
Makan harap bantuan
Setelah istri keduanya meninggal, dirinya pulang ke Susukan II, dan dibuatkan rumah kecil beralaskan tanah berukuran sekitar 8x6 meter.
Lampu penerangan kecil setiap malam memberikan cahaya redup untuk tubuh rentanya.
Sarno tidak berpenghasilan dan hidup sebatang kara. Untuk kembali bekerja jelas tidak memungkinkan karena tubuhnya tidak sekuat dulu lagi.
"Saya sekarang menganggur. Sekarang saya sendiri, makan kalau tidak diberikan saya tidak makan," ucap dia.
Bahkan, saat teman-temannya yang lain bisa mengurus menjadi anggota veteran, dirinya tidak bisa, dan sudah dua kali dilakukan.
Sambil menatap dalam, ia sering meratapi kehidupannya yang dijalani.
"Saya setiap hari nelongso nangis dalam batin. Saya kurang apa, perlengkapan sudah baik semua. Boleh dibaca surat saya semuanya bersih, baik," ucap pria kelahiran 21 April 1940.
Seorang kerabat Sarno, Sukiran (66) membenarkan Sarno telah tinggal di rumah tersebut sebatang kara sejak kurang lebih 20 tahun.
Selain tetangga sekitar, dia mendapatkan bantuan beras dan telur dari salah satu gereja.
Beberapa tahun terakhir kesehatan Sarno menurun, bahkan tiga kali operasi yakni 2 kali prostat, dan 1 kali hernia. Semuanya tercover BPJS Kesehatan.
"Makan dapat dari yayasan sudah setahun terakhir. Utamanya mengandalkan saudara dan tetangga," ucap dia.
Sumber: Kompas