DEMOCRAZY.ID - BARU-BARU INI pernyataan kontroversial kembali muncul dari sekretaris jenderal dan ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Saifullah Yusuf dan Yahya Cholil Staquf.
Sejak awal menjabat hingga hari ini, keduanya rutin melontarkan pernyataan-pernyataan yang menyudutkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Dalam rilis sebagaimana ditulis oleh berbagai media (26 Juli 2024), Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menuding bahwa elite PKB menjauhkan partai itu dari struktural NU.
Ia juga menyatakan bahwa PBNU akan membentuk tim lima untuk meluruskan sejarah sekaligus mengembalikan PKB ke pemilik sahnya, yakni PBNU.
Tak berselang lama, Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) lantas mengklarifikasi pernyataan Gus Ipul melalui konferensi pers pascarapat pleno PBNU (28 Juli 2027).
Ia menyatakan bahwa pembentukan tim lima adalah usulan pribadi Gus Ipul dan bukan keputusan organisasi.
Dengan nada yang lebih berhati-hati, Gus Yahya mengatakan bahwa rapat pleno mengutus dua pengurus PBNU untuk mendalami masalah dinamika hubungan antara PBNU dan PKB.
Dari 17 menit durasi siaran pers yang diunggah di kanal YouTube NU Online, Gus Yahya membahas ”keputusan tambahan” mengenai relasi PKB dan NU selama enam menit.
Sementara itu, 11 menit lainnya digunakan untuk membahas enam keputusan inti (mulai rencana strategis NU, desain strategi transformasi digital NU, desain akademi kepemimpinan nasional NU, peraturan organisasi untuk peningkatan kinerja, pelurusan narasi sejarah pendirian NU, hingga masa jabatan rektor di kampus-kampus NU).
Jika dihitung, rata-ratanya keputusan inti dibahas dalam waktu 1 menit 50 detik. Itu setara dengan 10,7 persen durasi untuk setiap topik.
Selebihnya, 35 persen durasi dihabiskan hanya untuk membahas keputusan tambahan mengenai relasi PKB dan NU.
Angka-angka itu belum termasuk durasi tanya jawab dengan para wartawan. Jika itu turut dikalkulasi, persentase durasi pembahasan mengenai PKB tentu akan lebih tinggi lagi.
Fakta tersebut menunjukkan betapa energi dan waktu Gus Yahya lebih banyak dihabiskan untuk mengurusi PKB daripada NU itu sendiri.
Padahal, pada kesempatan yang sama ia juga mengatakan bahwa ”NU tidak mau hanya mengurusi PKB”.
Sikap ketua umum PBNU akhir-akhir ini saling kontradiktif dengan pernyataan-pernyataannya yang tersebar di media massa sejak akhir 2021 hingga menjelang Pemilu 2024.
Ia kerap melontarkan kalimat-kalimat nyinyir, mulai PKB bukan representasi NU, PKB memperalat dan mengooptasi NU, orang NU tidak boleh menggunakan identitas NU sebagai modal politik, hingga NU akan menjaga jarak dengan politik praktis.
Berlandaskan pernyataan-pernyataan pimpinan tertingginya itu, salah seorang pengurus PBNU lantas memojokkan PKB.
Ia mempermasalahkan penggunaan Mars Harlah Satu Abad NU untuk publikasi acara Sarasehan Nasional Satu Abad NU yang diselenggarakan PKB.
Padahal, Gus Yahya justru menghadiri acara serupa yang diselenggarakan beberapa partai lain, yang juga menggunakan simbol-simbol harlah NU.
Gus Yahya bahkan melontarkan pernyataan bahwa NU dan partai tersebut bukan sekadar partner, melainkan juga komponen senyawa.
Ketika orang NU sendiri dilarang menggunakan identitas NU sebagai modal politik, Gus Yahya justru mempersilakan orang lain menggunakannya.
Ketika Gus Yahya menyatakan bahwa NU akan menjaga jarak dengan politik praktis, ia justru mensenyawakan NU dengan partai politik tertentu. Sikap kontradiktif itu dalam peribahasa Jawa disebut ”isuk dele, sore tempe” alias mencla-mencle.
Dalam paradigma retorika baru, manuver Gus Yahya membuktikan bahwa legitimasi semu (pseudo-legitimation) memang benar adanya.
Chaim Perelman dalam bukunya, The new rhetoric and the humanities: Essays on rhetoric and its applications, mengatakan bahwa kenyataan selalu berhadapan dengan legitimasi semu yang diaktifkan secara institusional oleh para pemimpin organisasi.
Kondisi itu terjadi ketika tindakan organisasi diambil dari pilihan-pilihan irasional. Pilihan-pilihan tindakan yang didasarkan pada kepentingan, hasrat, dan prasangka.
Menurutnya, fenomena itu lebih memungkinkan muncul ketika organisasi berada pada kondisi ketidakteraturan dan terbuka untuk penggunaan legitimasi yang kontroversial.
Persis seperti kisi-kisi yang ditulis Chaim Perelman, legitimasi semu Gus Yahya diaktivasi secara institusional dengan menggiring narasi bahwa pembahasan relasi PKB dan NU muncul dari permintaan dan komplain dari para peserta rapat pleno.
Rapat pleno seakan menjadi stempel resmi dari pernyataan-pernyataannya yang telah rutin dilontarkan sejak lama.
Para syuriyah, tanfidziyah, a’wan, ketua lembaga, dan badan otonom yang hadir dijadikan sebagai tameng legitimasi institusional atas kepentingan, hasrat, dan prasangka pribadi.
Kepentingan, hasrat, dan prasangka pribadi Gus Yahya makin kentara ketika ia mencampuradukkan masalah Pansus Hak Angket Penyelenggaraan Ibadah Haji dengan memanasnya hubungan PBNU dan PKB.
Ia bahkan menuduh bahwa terbentuknya pansus tersebut karena Yaqut Cholil Qoumas sebagai menteri agama juga merupakan adik kandungnya. Kenyataannya, Pansus Haji disepakati DPR RI dan bahkan bukan diusulkan anggota Fraksi PKB.
Kenapa legitimasi semu itu memungkinkan untuk muncul? Bisa jadi karena nilai-nilai luhur yang kita genggam selama ini, yakni rasa hormat, takzim, dan kepatuhan mutlak kepada kiai telah membuka jalan penggunaan legitimasi yang penuh kontroversi.
Meski begitu, sebagai warga nahdliyin, kita tetap harus berpegang pada prinsip memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik. Memelihara sikap hormat, takzim, dan kepatuhan kepada kiai. Selebihnya, biarlah publik yang menilai.
Akan tetapi, tidak perlu juga takut beropini dan mengkritisi, karena bagi nahdliyin jaringan kultur seperti kita, tak akan ada surat peringatan atau ancaman pembekuan mendekat.
Hal mana terjadi pada warga di garis struktur di level wilayah ke cabang, yang mana hari ini menahan gemas karena antara hati dan pikirannya, keduanya tengah dibonsai.
Benarkah? CMIIW, correct me if i wrong. Salim wolak-walik untuk pimpinan-pimpinan kita di NU yang masih ikhlas berkhidmat. Wallahu a’lam bisshowab.
Sumber: Disway