CATATAN POLITIK

'Demokrasi di Tangan Jokowi, Ia menjadi Tirani yang Menindas'

DEMOCRAZY.ID
Agustus 31, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
'Demokrasi di Tangan Jokowi, Ia menjadi Tirani yang Menindas'


'Demokrasi di Tangan Jokowi, Ia menjadi Tirani yang Menindas'


Demokrasi adalah benih yang ditanam dengan harapan, namun tak jarang ia tumbuh menjadi pohon dengan ranting-ranting yang tak terduga arahnya. 


Dalam taman politik yang penuh badai, seperti Indonesia, demokrasi berkembang dengan segala sisi baik dan buruknya, namun tampaknya yang lebih subur adalah sisi kelamnya.


Aristoteles, filsuf Yunani kuno, menggambarkan pemerintahan dalam tiga bentuk. 


Pertama, pemerintahan oleh satu orang: di sisi terang, ia adalah kerajaan yang adil; di sisi gelap, ia berubah menjadi tirani yang menindas. 


Kedua, pemerintahan oleh segelintir orang: di tangan bijak, ia menjelma menjadi aristokrasi yang terhormat; namun, di tangan yang serakah, ia menjadi oligarki yang menghisap. 


Ketiga, pemerintahan oleh banyak orang: di bawah kendali akal sehat, ia membentuk polity yang berlandaskan hukum; namun, dalam keramaian tak terdidik, ia berubah menjadi demokrasi yang liar.


Dalam pandangan Aristoteles, “polity” adalah cita-cita tertinggi pemerintahan oleh rakyat, di mana kelas menengah terdidik yang luas menjadi penopang stabilitas dan rasionalitas politik. 


Namun, demokrasi dalam bentuknya yang menyimpang, bagi Aristoteles, adalah pemerintahan oleh banyak orang di mana rakyat miskin mendominasi. 


Demokrasi ini rentan terhadap logika kerumunan — kekuatan massa yang mudah terombang-ambing, layaknya buih di tengah badai. 


Bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan, “terlalu sedikit yang dipertaruhkan”; suara mereka menjadi barang dagangan, ditukar dengan janji-janji palsu yang murah.


Namun demikian, pemerintahan oleh sedikit orang pun bukanlah tanpa bahaya. Oligarki, yang terdiri dari mereka yang memiliki banyak hal untuk dilindungi, cenderung memperkaya diri sendiri dan mempertahankan kekuasaan dengan cara yang licik. 


Seperti kolam kecil yang tercemar, oligarki dengan cepat membusuk karena korupsi dan nepotisme. 


Di antara kedua kutub ini, Aristoteles melihat polity sebagai satu-satunya jalan tengah yang ideal, di mana kelas menengah terdidik menjamin keseimbangan, akal sehat, dan partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan politik.


Indonesia, di persimpangan jalan ini, menghadapi dilema yang rumit. Demokrasi kita tampak terperangkap di antara oligarki yang rakus dan rakyat miskin yang terpinggirkan. 


Para pendiri bangsa kita, dengan wawasan jauh ke depan, mencoba memasang sabuk pengaman dengan menciptakan “demokrasi Pancasila” — sebuah sistem yang dirancang untuk melampaui kepentingan golongan, mewakili seluruh kekuatan rakyat yang terwujud dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).


Namun, apakah demokrasi Pancasila ini telah memenuhi janji-janjinya? 


Ataukah ia hanya menjadi sebuah retorika kosong yang diselimuti oleh kepentingan pragmatis segelintir elit politik? 


Ketika oligarki semakin kuat mencengkeram, dan rakyat miskin semakin terabaikan, demokrasi kita semakin kehilangan roh dan tujuannya. 


Dalam gelapnya malam politik, sabuk pengaman itu tampaknya kian rapuh, seakan menanti untuk terlepas saat momentum krisis tiba.


Yang kita butuhkan sekarang bukan sekadar ritual demokrasi lima tahunan atau parade politik yang sarat janji. 


Yang kita perlukan adalah keberanian untuk membangun kembali fondasi sosial, menciptakan ruang bagi kelas menengah yang kuat dan terdidik, yang mampu menjadi penopang demokrasi sejati. 


Bukan demokrasi yang tunduk pada logika kerumunan atau nafsu oligarki, melainkan demokrasi yang tumbuh subur dari kedalaman bumi ibu pertiwi, yang berpijak pada kearifan lokal dan keadilan sosial.


Di antara kerumunan, kita butuh nalar; di antara kekuasaan, kita butuh moral. Indonesia tak boleh menunggu datangnya kelas menengah yang kuat seperti sebuah janji yang tak kunjung tiba. 


Ia harus berani mengikatkan diri pada tali kebijaksanaan, agar tidak terseret ke dalam jurang pragmatisme kerumunan atau jerat oligarki.


Demokrasi sejati adalah tentang menjahit harapan bersama, merajut masa depan yang inklusif, di mana setiap warga negara merasa memiliki dan berhak atas kemajuan. 


Mungkin di sinilah Indonesia dapat menemukan kembali roh demokrasinya yang hilang, bukan sebagai “demos” yang terombang-ambing, tetapi sebagai “rakyat” yang berpikir, peduli, dan bersatu untuk mewujudkan negeri yang adil dan makmur. ***

Penulis blog