17 Agustusan di IKN: dari “The Hope” ke “Joko Mugabe”?
Upacara HUT RI di IKN itu bukan semata urusan seremonial. Bagi Jokowi, itu sebuah pertaruhan politik demi kelanjutan proyek mercusuarnya di akhir masa jabatan. Ibarat sebuah monolog dalam drama “Hamlet” karya sastrawan besar Inggris, William Shakespeare, yang muncul di babak ketiga, adegan pertama, dan menjadi salah satu kutipan paling terkenal dalam literatur Inggris.”To be, or not to be, that is the question". Bagi Jokowi, digelar atau tidaknya upacara HUT RI di IKN itu alhasil soal “hidup dan mati”.
Dua bulan menjelang berakhirnya era kepemimpinan Presiden Jokowi, Oktober mendatang, sulit menafikan bahwa mayoritas warisan Jokowi untuk Indonesia adalah problem dan kemudharatan. Bila kita mengamini edisi khusus majalah berita Tempo saja, kita akan mendapati 18 ‘dosa’ pemerintahan saat ini. Antara lain, berkembangnya dinasti dan oligarki politik, perlemahan institusi demokrasi, perlemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga, katakanlah, pemaksaan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Semua peninggalan itu menyiratkan bahwa warisan Jokowi untuk negeri ini kebanyakan adalah “puing-puing dan abu” (the legacy of ashes). Istilah itu berasal dari judul sebuah buku yang terbit 2007--"Legacy of Ashes: The History of the CIA"-- yang ditulis Tim Weiner. Judul yang merujuk pada kritik bahwa CIA, alih-alih meninggalkan warisan keberhasilan dan stabilitas, justru meninggalkan puing-puing dan kegagalan. Buku itu menggambarkan banyak operasi rahasia dan kebijakan CIA yang dianggap tidak berhasil, berdampak negatif, atau menghasilkan konsekuensi buruk. Bagi banyak kalangan, demikian pula akhir era kepemimpinan Jokowi.
Menariknya, di tengah lampu sorot menjelang ditutupnya tirai pertunjukan buat Jokowi itu, Presiden melontarkan ide yang terdengar ganjil dihadapkan pada realitas kenelangsaan yang mengungkung sosial-ekonomi banyak orang Indonesia hari-hari ini. Jokowi minta upacara kemerdekaan RI tahun ini—upacara terakhirnya sebagai presiden--digelar di dua tempat berbeda, satu di Istana Merdeka, Jakarta, seperti biasa. Lainnya di sebuah lanskap yang tengah dikampanyekan sebagai simbol, berjarak sekitar 1.260 kilometer dari ibu kota lama, IKN namanya. Nama yang selama ini penuh kontroversi.
Alasan untuk itu pernah disebut Jokowi, yakni sebagai simbol dari transisi perpindahan pemerintahan tertinggi, dari Jakarta ke IKN. "Ini kan masa transisi, dari Jakarta menuju IKN Nusantara, sehingga perjalanan menuju pindahnya harus kelihatan,” kata Jokowi usai menghadiri penimbangan serentak di Posyandu Terintegrasi RW 02 RPTRA Taman Sawo Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (11/6/2024). “Jadi, di sini (Jakarta) tetap dilakukan, di sana (IKN) dilakukan."
Pernyataan Jokowi itu kontan memicu pemberitaan dan komentar di semua lini media. Kapan pun upacara dilangsungkan di Jakarta, tampaknya tak akan banyak masalah. Tapi di IKN? Orang pun menghubungkannya dengan pemberitaan viral yang belum lama-lama amat soal bandara di IKN yang belum berfungsi, jalanan yang masih menyisakan sekian banyak “pekerjaan rumah”, jaringan air minum yang masih alpa, belum lagi garansi pasokan listrik untuk kelancaran upacara.
Kondisi yang secara tak langsung diakui Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, meski yang bersangkutan menyampaikannya untuk konteks lain. "Jalur transportasi dari Balikpapan ke IKN terbatas. Tol belum sepenuhnya jadi. Bandara di IKN juga belum jadi,”kata Pratikno di Gedung Kementerian Sekretariat Negara, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (6/8/2024), saat membantah soal adanya penyewaan mobil hingga 1.000 unit, termasuk 100 unit Alphard.
Alhasil, kesan dipaksakan pun wajar mengemuka. "Ketika upacara 17 Agustus bisa dilakukan di Jakarta, why not? Mengapa mesti kita paksakan di IKN?" tanya ekonom Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Jaenal Effendi. Menurut Jaenal, daripada memaksakan upacara HUT Ke-79 RI di IKN, Jokowi seharusnya mengalihkan anggaran untuk pengentasan kemiskinan dan memperkuat pertumbuhan ekonomi lokal.
Show-off atau?
Mengapa Jokowi sampai sebegitu ngotot ingin agar rencananya menggelar upacara HUT RI di IKN terlaksana? Menurut pengamat kebijakan publik yang se-almamater dengan Jokowi, yakni Universitas Gadjah Mada (UGM), Bayu Dardias Kurniadi, digelarnya upacara HUT RI di IKN itu bukan semata urusan seremonial. Bagi Jokowi, kata Bayu, itu sebuah pertaruhan politik sang bakal mantan presiden demi kelanjutan proyek mercusuarnya di akhir masa jabatan. Ibarat sebuah monolog dalam drama “Hamlet” karya sastrawan besar Inggris, William Shakespeare, yang muncul di babak ketiga, adegan pertama, dan menjadi salah satu kutipan paling terkenal dalam literatur Inggris.”To be, or not to be, that is the question". Bagi Jokowi, digelar atau tidaknya upacara HUT RI di IKN itu alhasil soal “hidup dan mati”.
Barangkali Bayu benar, dan karena itu pula Presiden tampaknya tak mempersoalkan biaya yang harus dibayar untuk melunaskan hasratnya itu. Bayu menyatakan, harga yang harus dibayar itu adalah mengorbankan anggaran yang besar dan rasa empati Presiden ke masyarakat yang tengah mengalami kesulitan ekonomi.
"Kondisi kelas menengah saat ini terpuruk. Ada perlambatan ekonomi. Di sisi lain ada glorifikasi 17 Agustus.Ini jelas menyakiti hati rakyat," ujar Bayu. Hanya karena hal tersebut—sekali lagi—adalah pertaruhan politik Jokowi maka dia akan melakukan apa pun untuk mewujudkannya. “Ketika bicara politik, maka kalkulasi ekonomi, bahkan empati, jadi nomor sekian,"kata Bayu.
Jika disederhanakan, upacara HUT RI di IKN bagi Jokowi sama dengan kata Inggris, “necessarily", yang berarti sesuatu yang harus terjadi atau musti dilakukan karena tidak ada pilihan lain.
Cermati saja suara dari Istana untuk soal tersebut. Saat ditanya wartawan berkaitan dengan suara-suara di masyarakat soal anggaran yang bengkak, Presiden Joko Widodo menyatakan kenaikan itu wajar. Menurut Presiden, dengan upacara yang digelar di dua tempat, wajar apabila ada anggaran yang lebih besar. Presiden sendiri mendaku kenaikan anggaran tidak signifikan. "Iya namanya dulu (upacara) hanya di satu tempat. Ini karena ada transisi sehingga menjadi di dua tempat," ujar Jokowi di JCC, Senayan, Jakarta, Jumat (9/8/2024). “Saya kira anggaran biasa, wajar, dan juga anggarannya di Kementerian Sekretariat Negara."
Sementara Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Moeldoko, punya logikanya sendiri. “Kalau untuk National Day atau Hari Kemerdekaan, menurut saya nggak ada yang mahal. Karena itu adalah hari kita,” kata Moeldoko di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (6/8/2024). Apalagi, kata dia, peringatan HUT RI tahun ini pertama kalinya digelar di IKN. "Mestinya ini kan case-case tertentu. Memaknainya adalah jangan disamakan, apple to apple, dengan situasi yang umum. Ya, bagi saya untuk kepentingan Hari Ulang Tahun negara itu nggak ada yang mahal."
Seperti juga rekannya dari UGM, Bayu, pengamat kebijakan public dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, sependapat kalau upacara Hari Kemerdekaan di IKN itu dipaksakan. Bagi Trubus, hal tersebut tak lain untuk memamerkan warisan politik Jokowi kepada publik dalam negeri dan investor di luar negeri bahwa Indonesia mampu membangun ibu kota baru.”Padahal, kalau berpijak pada kebijakan anggaran yang efisien, mestinya pemerintah cukup menggelar di satu lokasi saja, yakni di Istana Merdeka Jakarta,”kata Trubus.
Trubus sendiri lebih melihat hal itu sebagai dobelnya pengeluaran dan buang-buang anggaran saja. Ia yakin, kalau pun ada benefit, itu jauh dari signifikan. "Jadi saya lihat ini hanya pamer saja dan harapan Jokowi kepada Prabowo agar melanjutkan pembangunan IKN," kata Trubus. “Meski sampai sekarang pendukung Prabowo lebih fokus kepada soal makan gratis, ketimbang IKN."
Prediksi ‘Penghamburan’
Media massa juga tak berhenti hanya pada kata “hambur” dan “buang-buang biaya” semata. Beberapa mencoba mengkalkulasi perkiraan biaya yang digunakan untuk upacara HUT RI tahun ini.
Ekonom UPN Veteran-Jakarta, Achmad Nur Hidayat, pernah mencoba menghitung sebelum bertemu dengan angka Rp44,8 miliar. Tapi, menurut Nur Hidayat, angka itu jumlah minimal, belum termasuk biaya angkutan dan sewa kendaraan yang mahal. Sayang, Nur Hidayat tidak merinci dengan detil darimana angka total tersebut ia peroleh.
Sebagai gambaran, temuan LSM Fitra pada 2012 menunjukkan pergelaran peringatan HUT RI di Jakarta saja bisa menelan anggaran sekitar Rp7,8 miliar. Fitra saat itu menyatakan, besaran dana itu terbilang fantastis untuk sebuah acara seremonial kenegaraan (saat itu).
Pada simulasi perhitungan berdasarkan data yang sudah beredar, seperti kemungkinan jumlah tamu, harga sewa mobil, hingga tarif tiket PP (Jakarta-Kalimantan Timur) dan hotel. Saat itu angka juga masih merujuk pernyataan Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Asosiasi Pengusaha Rental Mobil Daerah Indonesia (Asperda) Kaltim, Damun Kiswanto, yang mengatakan bahwa Kementerian Sekretariat Negara telah memesan 1.000 unit mobil dengan 100 unit mobil mewah jenis Alphard, untuk memenuhi kebutuhan pergerakan tamu negara dan manusia jenis very very important person (VVIP).
Hal yang abu-abu, paling tidak karena telah dibantah Kepala Sekretariat Presiden, Heru Budi Hartono. Heru menyebut pihaknya menyiapkan kendaraan untuk rangkaian pergerakan presiden saat HUT RI itu hanya sekitar 30 unit. Heru juga membantah klaim Ketua DPD Asosiasi Pengusaha Rental Mobil Daerah Indonesia Kaltim, Damun Kiswanto, yang menyebut Kemensetneg telah meneken kontrak sewa 1.000 unit mobil.
Persoalannya, angka Heru itu berbeda dengan data yang disampaikan Sekretaris Kemensetneg, Setya Utama. Setya mengatakan, pemerintah menyewa sekitar 100 kendaraan untuk kebutuhan operasional saat upacara HUT RI di IKN. Sedangkan untuk mobilisasi dari dan ke kawasan inti IKN, sarana transportasi yang digunakan adalah bus.
Dengan asumsi masih memakai angka Damun, anggaran untuk kendaraan yang dicatat mencapai Rp15 miliar. Dengan asumsi ada 1.000 tamu dan per orang dapat kamar, diprediksi biaya yang harus dikeluarkan untuk penginapan atau tempat istirahat tamu undangan adalah Rp475 juta. Rinciannya 500 orang dapat kamar Rp400 ribu per malam aau total Rp200 juta, dan 500 orang dapat kamar Rp550 ribu per malam atau Rp275 juta.
Dengan biaya penerbangan pergi-pulang dari Jakarta-Kaltim, yang tiketnya sekitar Rp1.685.000 hingga Rp2.142.000 per orang, didapat asumsi jumlah sebesar Rp 3,7 miliar. Rinciannya: 500 orang dengan penerbangan termurah Rp3,2 juta = Rp1,6 miliar, dan 500 orang dengan penerbangan termahal Rp4,2 juta = Rp2,1 miliar.
“Dengan perhitungan itu, maka kemungkinan total anggaran tambahan yang diperlukan berdasarkan asumsi-asumsi di atas adalah sebesar Rp19,175 miliar,” tulis CNN Indonesia Kamis (8/8/2024). Angka itu didapat dari biaya sewa kendaraan Rp15 miliar, biaya sewa penginapan Rp475 juta, dan biaya penerbangan Rp3,7 miliar. “Namun biaya tersebut hanya asumsi kemungkinan tambahan anggaran pelaksanaan upacara HUT RI di IKN. Itu pun hanya menghitung pengeluaran berdasarkan jumlah tamu undangan, akomodasi, belum mencakup biaya untuk panitia hingga petugas upacara,” tulisnya lebih lanjut.
Dari “Hope” ke “Joko Mugabe”?
Sejatinya, Presiden Jokowi memulai langkah kepemimpinannya dengan doa dan harapan. Bukan hanya dari dalam negeri, melainkan dari dunia internasional. Majalah terkemuka dunia, Time, misalnya. Time pernah menerbitkan edisi Presiden Joko Widodo sebagai sampul utama, berjudul "Jokowi: A New Hope" pada Oktober 2014. Edisi itu mencerminkan harapan besar yang ditempatkan pada Jokowi setelah terpilih sebagai presiden Indonesia pada 2014. Saat itu ia dianggap sebagai pemimpin baru yang membawa harapan dan perubahan untuk Indonesia.
Sayangnya, di akhir-akhir waktu sebelum lengser Oktober nanti, Jokowi justru seolah mengalami semacam akhir yang buruk (su’ul khatimah) secara politik. Tak hanya kinerja dua periode yang disebut Majalah Tempo diisi 18 dosa kepada warga, realitas sosial ekonomi Indonesia pun seolah mencerminkan raport merah menyala.
Terutama dalam urusan penyediaan lapangan kerja. Berdasarkan laporan “World Economic Outlook April 2024” yang disusun Dana Moneter Internasional (IMF), Indonesia adalah negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di antara enam negara ASEAN pada 2024.
Menurut data yang diperoleh IMF, Indonesia menempati posisi pertama dalam proporsi jumlah pengangguran di negara-negara ASEAN per April 2024. Indonesia yang berpenduduk 279,96 juta orang itu mencatatkan angka pengangguran terbuka sebesar 5,2 persen. Di bawahnya ada negara yang selalu “panas”, Filipina, dengan 5,1 persen (114,16 juta penduduk); Malaysia: 3,5 persen (33,46 juta penduduk); Vietnam: 2,1 persen (100,77 juta penduduk); Singapura: 1,9 persen (5,94 juta penduduk) dan Thailand: 1,1 persen (70,27 juta penduduk).
Alhasil, dikuatkan angka perolehan TheGlobalEconomy.com, tingkat pengangguran di Indonesia tergolong cukup tinggi di kawasan. Sebagai perbandingan, negara-negara seperti Kamboja memiliki tingkat yang sangat rendah, yaitu 0,23 persen, dan Thailand di 0,94 persen (angka 2022). Posisi Indonesia dalam pengibaratan TheGlobalEconomy.com,”Kira-kira di tengah hingga ujung atas spektrum dalam tingkat pengangguran terbuka di kawasan ASEAN.”
Apakah Jokowi akan meninggalkan “legacy of ashes” seperti misalnya Ferdinand Marcos, atau Presiden Zimbabwe, Robert Mugabe yang di akhir hidupnya dikenal dunia sebagai pecundang. Tentu kita harus ber-"isti'adzah"alias memohon perlindungan kepada Allah dari hal itu. Bagaimanapun, taruhannya adalah nasib bangsa dan 270 juta warga kita.
Harapan untuk itu masih menyala, meski seperti lagu lama Cornel Simandjuntak, “Kupinta Lagi”, yang ada hanya ”Kulihat terang, tapi tak benderang”. Toh walaupun tingkat pengangguran dan jumlah kaum “hopeless of job” kita tinggi, Indonesia tidaklah mengalami depresi ekonomi yang sangat parah, hiperinflasi, merosot parahnya ekonomi, mata uang yang kehilangan nilai, serta utang luar negeri yang menggunung tinggi. Yang terjadi di negara kita masih jauh dari kondisi Zimbabwe di bawah Mugabe, dengan utang nasional yang terus membengkak tanpa ada tanda-tanda pemulihan. Presiden kita tetap Joko Widodo, tak akan pernah jadi “Joko Mugabe”.
Sumber: Inilah