CATATAN HOT NEWS POLITIK

'Joget Gemoy Yang Diulang-Ulang Itu Sungguh Mengerikan'

DEMOCRAZY.ID
Desember 14, 2023
0 Komentar
Beranda
CATATAN
HOT NEWS
POLITIK
'Joget Gemoy Yang Diulang-Ulang Itu Sungguh Mengerikan'


'Joget Gemoy Yang Diulang-Ulang Itu Sungguh Mengerikan'


[KOLOM] - Kekhawatiran yang coba saya ingkari berbulan-bulan lamanya, jebol di sesi pertama debat di pelataran depan gedung Komisi Pemilihan Umum (12/12).


Donald Trump juga berjoget pada tahun 2019. Boris Yeltsin melakukan hal yang sama di 1996. Trump ajojing selepas lolos dari serangan Covid 19. 


Yeltsin dikenal punya riwayat penyakit jantung. Jadi, kedua tokoh tadi berjoget dalam rangka meyakinkan publik bahwa mereka sehat. 


Dan karena sehat, target Trump dan Yeltsin, masyarakat tidak ragu akan kesanggupan mereka memimpin Amerika Serikat dan Rusia.


Dari situ, masuk akal jika Prabowo, dengan usianya yang sudah lanjut dan kondisi kesehatannya yang jauh dari prima, melakukan pendekatan serupa guna mempengaruhi persepsi publik. No problem. Setiap kontestan Pilpres boleh bikin siasatnya masing-masing.


Tapi Trump dan Yeltsin bergoyang asyik cuma di saat berada di panggung dan ketika musik mengalun. Pun hanya satu dua kali. 


Mereka tidak menjadikan joget sebagai strategi branding yang dipertontonkan terus menerus.


Pada titik itulah joget gemoy Prabowo tampak sangat bermasalah. Prabowo joget terlalu sering. Tanpa musik pula. 


Dan seperti tak kenal situasi. Saat ditanya hal serius, tanpa jawaban tuntas, Prabowo justru "menggenapi" jawabannya dengan berjoget.


Sebagai orang yang mendukung Prabowo pada dua kali Pilpres, saya terpukau oleh kegesitan Prabowo di tahun 2014 dan 2019.


Sekarang bukan kondisi fisik Prabowo yang saya risaukan. Toh dia sudah menjalani pemeriksaan di rumah sakit.


Joget berulang tanpa memperhatikan konteks acara, ditambah pernyataan-pernyataan Prabowo yang serba mengambang dan terputus, itulah yang membuat saya waswas akan satu hal. 


Yaitu, executive functioning Prabowo. Executive functioning bersangkut paut dengan kesanggupan manusia mengelola informasi lalu membuat keputusan yang solid.


Joget Prabowo terkesan sebagai bentuk kompensasi, sekaligus pengalihan perhatian audiens, atas menurun jauhnya kemampuan Prabowo berpikir strategis dan tuntas di level tertinggi pejabat negara.


Strategi branding lewat joget juga berpotensi menjadi senjata makan tuan. Ketika orang-orang di sekitar Prabowo terus mengarahkan Prabowo untuk berjoget, itu berarti mereka bukan melatih Prabowo untuk memulihkan executive functioning-nya, melainkan justru mempertumpul kapasitas kognitif Prabowo.


Terus terang, keanehan demi keanehan yang Presiden Joe Biden perlihatkan di ruang publik merupakan gambaran pembanding tentang betapa tingginya risiko bahaya ketika orang nomor satu mengalami masalah pada executive functioning-nya.


Beruntung Amerika Serikat punya Kamala Harris. Dapat disaksikan di Youtube bagaimana sang Wakil Presiden, pada berbagai kesempatan, "menyelamatkan" Biden dari kekacauan perkataan dan perbuatannya.


Membayangkan Harris, saya semakin risau. Saya berharap Prabowo sehat. Tapi sebagai bentuk kepedulian, tentu saya juga terpanggil untuk memikirkan apa yang akan terjadi seandainya Prabowo berada pada situasi ketika harus memberikan ruang lebih luas kepada Gibran untuk mengatur negara.


Sampai di situ, maaf, sekarang giliran saya yang tak sanggup berpikir strategis dan tuntas. Saya takut, benar-benar takut, untuk berpikir lebih jauh itu.


Allahu a'lam.


Dinilai Sering Joget Tak Sesuai Situasi, Pakar Psikologi Risaukan Kondisi Psikis Prabowo


Dinilai Sering Joget Tak Sesuai Situasi, Pakar Psikologi Risaukan Kondisi Psikis Prabowo


DEMOCRAZY.ID - Pakar psikologi forensik Reza Indrari Amriel merisaukan joget "gemoy" secara berulang yang dilakukan calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto, yang dilakukan tanpa memperhatikan konteks dari acara.


"Sekarang bukan kondisi fisik Prabowo yang saya risaukan. Toh dia sudah menjalani pemeriksaan di rumah sakit. (Tapi) Joget berulang tanpa memperhatikan konteks acara," kata Reza kepada wartawan di Jakarta, Rabu (13/12/2023).


Sebagai orang yang mendukung Prabowo pada dua kali Pilpres, Reza mengaku terpukau oleh kegesitan Prabowo di tahun 2014 dan 2019.


Menurut dia, joget "gemoy" Prabowo menjadi strategi branding dalam rangka meyakinkan publik bahwa mereka sehat.


Hal serupa pernah dilakukan oleh Donald Trump (Presiden Amerika Serikat ke-45) pada tahun 2019 setelah dinyatakan lolos dari serangan COVID-19.

 

Selanjutnya, Boris Yeltsin (Perdana Menteri Rusia era 90-an), yang dikenal mempunyai riwayat penyakit jantung juga melakukan hal serupa pada tahun 1996.


Kedua tokoh itu, kata Reza, berjoget dalam rangka meyakinkan publik bahwa mereka sehat. 


Karena sehat, target Trump dan Yeltsin, masyarakat tidak ragu akan kesanggupan mereka memimpin Amerika Serikat dan Rusia.


Dari dua pendekatan itu, menurut Reza, masuk akal jika Prabowo, dengan usianya yang sudah lanjut dan kondisi kesehatannya yang jauh dari prima, melakukan pendekatan serupa guna mempengaruhi persepsi publik.


"No problem. Setiap kontestan Pilpres boleh bikin siasatnya masing-masing," ujar sarjana Psikologi itu.


Namun, lanjut dia, Trump dan Yeltsin bergoyang asyik cuma di saat berada di panggung dan ketika musik mengalun. Itu pun hanya satu-dua kali.


Keduanya tidak menjadikan joget sebagai strategi branding yang dipertontonkan terus menerus.


Reza berpandangan pada titik tersebut joget gemoy Prabowo tampak bermasalah.


"Prabowo joget terlalu sering. Tanpa musik pula dan seperti tak kenal situasi. Saat ditanya hal serius, tanpa jawaban tuntas, Prabowo justru "menggenapi" jawabannya dengan berjoget," paparnya.


Reza menyampaikan, joget berulang tanpa memperhatikan konteks acara, ditambah pernyataan-pernyataan Prabowo yang serba mengambang dan terputus, itulah yang membuatnya waswas akan satu hal, yaitu executive functioning Prabowo.


Ia menjelaskan, executive functioning bersangkut-paut dengan kesanggupan manusia mengelola informasi lalu membuat keputusan yang solid.


Joget Prabowo terkesan sebagai bentuk kompensasi, sekaligus pengalihan perhatian audiens, atas menurun jauhnya kemampuan Prabowo berpikir strategis dan tuntas di level tertinggi pejabat negara.


Dia mengingatkan strategi branding lewat joget juga berpotensi menjadi senjata makan tuan. 


Ketika orang-orang di sekitar Prabowo terus mengarahkan Prabowo untuk berjoget, itu berarti mereka bukan melatih Prabowo untuk memulihkan executive functioning-nya, melainkan justru mempertumpul kapasitas kognitif Prabowo.


"Sudah hampir dua jam debat berlangsung. Executive functioning Prabowo tertakar, dan saya berempati pada beliau," ujar Reza.



SumberAntara

Penulis blog