DEMOCRAZY.ID - Singapura merupakan negara dengan perluasan wilayah melalui reklamasi yang telah berkembang sejak beberapa tahun belakangan.
Tak heran pasir sangat dihargai di Singapura, menurut Today Online, dalam film dokumenter 2018 oleh Ms Kalyanee Mam.
Pasir adalah sumber daya dunia terbesar kedua yang digunakan manusia setelah air, kata Mr Marc Goichot, Timbal Air World Wide Fund for Nature (WWF).
Reklamasi lahan telah mendorong Singapura menjadi importir pasir terbesar di dunia, menurut laporan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2014.
Singapura mendapatkan pasir dari beberapa negara seperti Kamboja hingga Indonesia.
Awalnya Indonesia telah menghentikan penjualan pasir ke Singapura, namun belakangan diungkapkan bahwa Indonesia kembali diperbolehkan untuk mengirim pasir ke Singapura.
Melansir, DailyIndonesia.co.kr hal ini diungkapkan melalui ekspor pasir laut yang diperbolehkan setelah 20 tahun.
Hal itu menyebabkan kekhawatiran tentang erosi pantai hingga kerusakan ekosistem laut. Akibat dari ulah kapal keruk skala besar yang mengganggu penangkapan ikan.
Hal itu membuat Indonesia dituduh menjual tanah milik negara kepada Singapura. Pada tanggal 5 Juni 2023, Presiden Joko Widodo mengubah peraturan sedimen air laut.
Sehingga menyebabkan pasir yang diendapkan di laut dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur pemerintah atau kontruksi sektor swasta.
Hingga awal tahun 2000-an, Indonesia mengekspor lebih dari 53 juta ton pasir laut ke Singapura.
Dua Pulau Dikeruk Demi Singapura, Ini Sejarah Kelam Ekspor Pasir Laut Indonesia
Perdagangan ekspor pasir laut Indonesia telah mengalami sejarah yang kontroversial, dengan beberapa pulau di Indonesia menghilang akibat ekspor pasir tersebut, terutama untuk memperluas wilayah Singapura.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang mendapatkan izin dari Presiden Joko Widodo, praktik pengerukan dan ekspor pasir laut kembali diizinkan, menghidupkan kembali masa lalu yang kontroversial tersebut.
Banyak penolakan dan keberatan dilayangkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas keputusannya membuka kembali ekspor pasir laut di Indonesia.
Penolakan tersebut datang dari aktivis lingkungan maupun mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) periode 2014-2019, Susi Pudjiastuti.
Sempat Dilarang di Era Presiden Megawati
Keputusan Jokowi dalam peraturan tersebut telah melanggar pelarangan selama 20 tahun sejak masa pemerintahan Presiden kelima, Megawati Soekarnoputri.
Pada saat itu, Megawati melarang ekspor pasir laut yang diatur oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Rini Soemarno, melalui Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 117 Tahun 2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Laut.
Pelarangan ekspor pasir laut dilakukan untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas, terutama tenggelamnya pulau-pulau kecil.
Pelarangan ekspor tersebut akan ditinjau ulang setelah program pencegahan kerusakan terhadap pesisir dan pulau-pulau kecil terimplementasi.
Sebelum dilarang ekspor, Indonesia adalah pemasok utama pasir laut untuk Singapura.
Menurut laporan Reuters, Indonesia pertama kali melarang ekspor pasir laut pada tahun 2003. Pelarangan tersebut diperkuat pada tahun 2007 sebagai respons terhadap tindakan ilegal pengiriman pasir ke Singapura.
"Sebelum pelarangan, Indonesia adalah pemasok utama pasir laut Singapura untuk perluasan lahan, dengan pengiriman rata-rata lebih dari 53 juta ton per tahun antara 1997 hingga 2002," tulis laporan tersebut.
Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2019, Singapura adalah importir pasir laut terbesar di dunia.
Singapura telah mengimpor sekitar 517 juta ton pasir laut dari negara-negara tetangganya, termasuk Malaysia, dalam dua dekade terakhir.
Dua Pulau Hilang dari Perairan Indonesia
Pada tahun 2007, Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu, Freddy Numberi, mengakui bahwa ekspor pasir laut untuk proyek reklamasi Singapura telah menghilangkan dua pulau milik Indonesia, yaitu Pulau Nipah dan Pulau Sebatik. Oleh karena itu, larangan ekspor tersebut ditegaskan.
Menurutnya, Indonesia tidak mendapatkan manfaat apa pun dari ekspor pasir laut tersebut, sementara negara ini juga menderita kerugian.
Selain mengakibatkan hilangnya pulau-pulau, ekspor pasir laut juga menyebabkan kerusakan lingkungan dan memerlukan biaya yang besar untuk pemulihan.
Freddy menyatakan bahwa pulau-pulau terluar Indonesia rentan terhadap ekspor pasir laut. Ia mengklaim bahwa ada beberapa pulau yang belum diakui oleh Pemerintah Indonesia, tetapi sudah dikunjungi oleh orang asing.
Salah satu pulau yang terkena dampak ekspor pasir laut adalah Pulau Nipah, yang terletak di Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam.
Pulau Nipah merupakan bagian dari gugusan pulau terluar Indonesia yang berbatasan dengan Singapura di sebelah utara.
Pada tahun 2004, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyatakan bahwa pulau yang tidak berpenghuni ini hampir tenggelam.
Saat air surut, luas area pulau tersebut sekitar 60 hektar, tetapi saat air pasang, hanya tersisa seonggok tanah berukuran tidak lebih dari 90x50 meter.
Mantan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, Soenarno, pernah mengunjungi langsung Pulau Nipah yang berjarak 4,8 mil di sebelah barat laut Pulau Batam. Ia menyatakan bahwa dibutuhkan 2 juta kubik pasir untuk mereklamasi pulau tersebut.
Situasi ini menunjukkan betapa ekspor pasir laut dapat berdampak negatif bagi lingkungan dan keberlanjutan pulau-pulau di Indonesia.
Pulau-pulau yang merupakan aset berharga Indonesia terancam tenggelam dan mengalami kerusakan yang sulit untuk diperbaiki.
Kontroversi terkait ekspor pasir laut ini semakin menegaskan perlunya peninjauan ulang terhadap kebijakan tersebut.
Selain mempertimbangkan dampak lingkungan yang merugikan, perlu juga memperhatikan keberlanjutan dan perlindungan pulau-pulau di Indonesia. [Democrazy/HN]