EKBIS

"Jokowi dan Kemiskinan Yang Tak Dientaskan!"

DEMOCRAZY.ID
Maret 12, 2024
0 Komentar
Beranda
EKBIS
"Jokowi dan Kemiskinan Yang Tak Dientaskan!"

"Jokowi dan Kemiskinan Yang Tak Dientaskan!"

DEMOCRAZY.ID - “Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis, perhatian kepada masalah besar yang tak kunjung terpecahkan dari pengaturan kerja dan pemerataan benda–agar buah ciptaan dari pemikiran kita akan merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan. Janganlah kau lupakan hal ini di tengah tumpukan diagram dan persamaan,” demikian pesan Albert Einstein kepada para mahasiswa California Institute of Technology, Amerika Serikat, 1938.


Saat itu, fisikawan teoritis kelahiran Jerman 1879 sedang berbicara mengenai hakikat nilai dan ilmu dikutip dari Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (1978). 


Namun, pesan itu masih sangat relevan untuk menelaah kondisi kemiskinan di Indonesia kini.


Masalah besar yang tak kunjung terpecahkan seperti Einstein katakan itu adalah tingkat kemiskinan di Tanah Air yang mencapai 9,57 persen atau 26,36 juta penduduk per September 2022. 


Angka itu naik 0,35 persen dibandingkan 3 tahun sebelumnya. Pada September 2019, tingkat kemiskinan 9,22 persen atau 24,75 juta penduduk.


Yang lebih mengenaskan, menurut Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), tingkat kemiskinan selama delapan tahun pemerintahan Jokowi hanya turun 1,39 persen. Tingkat kemiskinan per September 2014 sebesar 10,96 persen, versus 9,57 persen per September 2022.


Dia pun menilai Pemerintahan Jokowi gagal mengatasi kemiskinan. Data tingkat kemiskinan tersebut jelas menunjukkan pemerintah sudah gagal mengentaskan kemiskinan.


“Sungguh malang nasib rakyat miskin Indonesia! Jangankan mengentaskan, sekadar mengurangi kemiskinan, dengan jumlah yang masuk akal, juga gagal,” tukas Anthony di Jakarta, Kamis (2/2/2023).


Secara internasional, di antara negara-negara Asean-4, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand dan Vietnam, kegagalan Indonesia dalam mengatasi kemiskinan semakin nyata.


Garis kemiskinan internasional adalah mereka yang berpendapatan di bawah 3,65 dolar AS per orang per hari mengacu pada kurs 2017 paritas daya beli alias Purchasing Power Parity. 


Angka itu sekitar Rp591.033 per bulan. Berdasarkan garis tersebut, kemiskinan Indonesia pada 2021 mencapai 22,4 persen.


Sedangkan kemiskinan Malaysia dengan garis kemiskinan yang sama hanya 0,4 persen pada 2015. Artinya, tingkat kemiskinan Malaysia saat ini kemungkinan besar sudah nol. 


Sedangkan kemiskinan Thailand dengan garis kemiskinan yang sama juga sangat rendah, hanya 0,7 persen pada 2020.


Vietnam yang baru menata kembali ekonominya pada 1986, hanya mempunyai tingkat kemiskinan 5,3 persen pada 2018. 


Padahal, negara berjuluk Naga Biru itu telah mengalami perang berkepanjangan dengan Perancis (1946-1954) dan Amerika Serikat (1954-1975), kemudian dengan China (1979-1991).


“Saat ini tingkat kemiskinan Vietnam tersebut pasti sudah jauh lebih rendah lagi,” ungkap Anthony.


Dia menegaskan, data yang disajikan Bank Dunia tersebut sangat jelas menunjukkan pemerintahan Jokowi gagal mengatasi kemiskinan.


Padahal, menurutnya, tahun 2022 yang lalu merupakan kesempatan sangat langka bagi pemerintah untuk mengurangi tingkat kemiskinan. 


Karena pendapatan negara pada 2022 naik drastis akibat kenaikan harga komoditas.


Realisasi pendapatan negara 2022 naik Rp623 triliun (31,1 persen) terhadap 2021, dan lebih tinggi Rp780 triliun (42,3 persen) dari yang dianggarkan di dalam APBN 2022.


“Ternyata, pemerintah gagal memanfaatkan kenaikan pendapatan ini untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Entah tidak mampu atau tidak mau,” tuturnya.


Tetapi, apapun alasannya, masyarakat melihat telah terjadi proses pemiskinan, yang membuat angka kemiskinan naik 0,03 persen atau 200 ribu penduduk selama periode Maret 2022 hingga September 2022.


Anthony menengarai beberapa penyebab utama kenaikan kemiskinan ini. 


Pertama, kenaikan pajak (PPN) pada 1 April 2022, yang membuat harga barang-barang konsumsi naik.


Kedua, kenaikan harga komoditas pangan dan inflasi global. Salah satunya harga minyak goreng yang melonjak tajam, bahkan sempat langka akibat korupsi izin ekspor, yang pelakunya hanya dihukum sangat ringan, padahal kelangkaan minyak goreng sempat memakan dua korban jiwa antrian minyak goreng yang “meng-ular”.


Ketiga, kenaikan harga BBM pertalite dan solar pada 3 September 2022 dengan alasan APBN akan jebol karena subsidi BBM. 


Itu kemudian dikoreksi menjadi subsidi energi, mencapai Rp502 triliun, yang kemudian dipropagandakan akan naik lagi menjadi Rp700 triliun, akibat kenaikan konsumsi BBM.


Ternyata, sambung Anthony, semua alasan ini tidak benar, tidak terbukti, atau bohong. 


Faktanya, realisasi subsidi BBM dan LPG 3 kilogram untuk tahun 2022 ternyata hanya Rp115,6 triliun. 


Bahkan subsidi listrik 2022 turun 0,64 persen dibandingkan 2021, akibat kenaikan tarif listrik.


Terakhir, keempat, yang tidak kalah fatalnya, realisasi defisit APBN 2022 hanya Rp464 triliun, jauh di bawah defisit yang dianggarkan sebesar Rp868 triliun. “Selisih Rp404 triliun!” timpal dia.


Oleh karena itu, pemerintah seharusnya mempunyai ruang gerak fiskal sangat besar untuk menekan tingkat kemiskinan.


Anthony mencontohkan, kenaikan harga BBM pada 3 September 2022 diperkirakan hanya mengurangi subsidi BBM sekitar Rp32 triliun. 


Angka ini sangat tidak signifikan dibandingkan kenaikan pendapatan negara maupun ruang gerak defisit anggaran yang masih sangat besar, yaitu Rp404 triliun. 


Tetapi, dampak kenaikan harga BBM ini sangat fatal, tingkat kemiskinan naik.


Membiarkan realisasi defisit APBN jauh di bawah yang dianggarkan, tetapi di saat bersamaan mengakibatkan tingkat kemiskinan meningkat, dapat masuk kategori kejahatan kemanusiaan.


Apa gunanya APBN yang sudah disetujui oleh DPR kalau realisasinya jauh melenceng dari rancangan, yang berakibat fatal bagi kepentingan rakyat? Bukankah APBN dirancang untuk kepentingan rakyat banyak?


Maka itu, DPR seharusnya memanggil Menteri Keuangan dan Presiden untuk minta penjelasan terkait realisasi defisit APBN yang jauh melenceng tersebut.


“Di mana peran DPR? Apa gunanya DPR? Semua ini terkesan ada pembiaran dan kesengajaan pemiskinan,” ujar Anthony.


Pemerintahan Jokowi tentu tak terima jika dikatakan, sebagai hasil dari rapat dan studi banding di hotel masalah kemiskinan hanya disimpan pada tumpukan diagram dan persamaan (meminjam kata-kata Einstein tadi) dan tak dientaskan. 


Sebab, pemerintah sudah menganggarkan Rp500 triliun yang bisa didapatkan oleh orang miskin Rp19 juta per orang.


Namun sayang, faktanya justru membenarkan kata-kata Einstein itu di mana angka kemiskinan di Indonesia masih tetap tinggi. 


Uang ratusan triliun untuk mengentaskannya, mengutip Menpan-RB Abdullah Azwar Anas, hanya dapat menurunkan tingkat kemiskinan 0,6 persen. Suatu angka yang sangat rendah. Jauh panggang dari api! [Democrazy/Inilah]

Penulis blog