POLITIK

Pengamat: Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Masih Proses, Skenarionya Sudah Matang!

DEMOCRAZY.ID
Desember 16, 2022
0 Komentar
Beranda
POLITIK
Pengamat: Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Masih Proses, Skenarionya Sudah Matang!

Pengamat: Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Masih Proses, Skenarionya Sudah Matang!

DEMOCRAZY.ID - Pengamat Ekonomi dan Politik, Anthony Budiawan, menilai perpanjangan masa jabatan presiden sedang berproses.


"Berbagai skenario sudah disiapkan dengan matang. Baik melalui MPR maupun PERPPU (Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang), atau bahkan dekrit presiden. Ada yang berpendapat, presiden dapat mengeluarkan dekrit untuk menyelesaikan segala masalah, termasuk konstitusi," bebernya.


Dia menegaskan, seolah-olah dekrit presiden adalah senjata pamungkas untuk menerobos hambatan konstitusi.


"Seolah-olah dekrit presiden merupakan hukum tertinggi, lebih tinggi dari konstitusi, dan bisa mengubah konstitusi," urainya.


Menurut Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) ini, tentu saja pendapat seperti itu sangat menyesatkan dan tidak benar.


Pertama, beber dia, konstitusi Indonesia tidak mengatur atau tidak mengenal dekrit presiden, sehingga dengan sendirinya dekrit presiden tidak sah secara konstitusi.


Sebagai penggantinya, konstitusi Indonesia memberi wewenang kepada presiden untuk mengeluarkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (PERPPU), dalam hal negara menghadapi keadaan kegentingan yang memaksa, atau darurat.


Dalam hal ini, PERPPU pada hakekatnya sama dengan dekrit presiden, tetapi terbatas hanya pada keadaan kegentingan yang memaksa, atau darurat saja.


Dekrit tidak lain adalah keputusan atau perintah atau maklumat dari eksekutif, umumnya kepala negara atau kepala pemerintah. Di Amerika Serikat, dekrit presiden dikenal dengan executive order.


Dalam kondisi apapun, dekrit presiden, executive order, atau PERPPU tidak boleh melanggar konstitusi, bahkan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang lainnya, karena dekrit dan PERPPU hanya mempunyai kekuatan hukum setara undang-undang.


Presiden sebagai pelaksana konstitusi harus tunduk kepada konstitusi. Maka itu, dekrit presiden tidak boleh melanggar konstitusi. Presiden bukan hukum tertinggi di sebuah negara.


Maka itu, kekuatan hukum dekrit presiden lebih rendah dari konstitusi, sehingga dekrit presiden tidak bisa mengubah konstitusi.


Artinya, dekrit presiden atau PERPPU tidak bisa mengubah masa jabatan presiden, atau periode jabatan presiden, atau penundaan pemilu yang harus dilaksanakan setiap lima tahun.


Dia menjelaskan, banyak pihak berpendapat bahwa dekrit presiden kembali ke UUD 1945 (asli) yang dikeluarkan presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 seolah-olah menjadi hukum tertinggi, di atas konstitusi, seolah-olah presiden bisa membuat perintah melebihi atau melanggar konstitusi.


Maka itu, tidak heran banyak yang berpendapat presiden Jokowi dapat mengeluarkan dekrit presiden untuk menunda pemilu, dengan alasan keadaan darurat, atau kegentingan yang memaksa.


Menurut Anthony Budiawan, dekrit presiden Soekarno 5 Juli 1959 merupakan perintah konstitusi (UUD Sementara, UUDS) ketika itu, yang berlaku mulai 15 Agustus 1950.


"Pasal 134 UUDS menyatakan: Konstituante (Sidang Pembuat Undang-undang Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-undang Dasar Sementara ini," jelas Anthony Budiawan dikutip Kamis (15/12/2022). [Democrazy/KJ]

Penulis blog