AGAMA HUKUM

Gerakan Rakyat Anti Komunis Jabar Dorong Lahirnya UU Anti-Islamofobia

DEMOCRAZY.ID
Juni 02, 2022
0 Komentar
Beranda
AGAMA
HUKUM
Gerakan Rakyat Anti Komunis Jabar Dorong Lahirnya UU Anti-Islamofobia

Gerakan Rakyat Anti Komunis Jabar Dorong Lahirnya UU Anti-Islamofobia

DEMOCRAZY.ID - Gerakan Islamofobia sudah saatnya diakhiri dengan berbagai hal termasuk dengan gerakan anti Islamofobia. 


Diharapkan gerakan ini bisa menjadi alat pemersatu umat Islam.


Demikian disampaikan Ketua Gerakan Rakyat Anti Komunis (Gerak) Jabar Ustaz Roinul Balad saat memberikan sambutan dalam acara “Silaturahami Dai se-Jabar” yang dilajutkan dengan diskusi dengan mengambil tema: “Tarik Ulur UU Anti Islamofobia di Indonesia”, di Masjid Al Lathiif Kota Bandung, Rabu (01/6/2022).


Ia menambahkan Gerakan Islamofobia sendiri telah menjadi media untuk memecah belah elemen masyarakat baik internal umat Islam maupun antar sesama anak bangsa. 


Tindakan Islamofobia ini, lanjutnya, jelas sangat mengganggu bahkan merusak keharmonisan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


“Padahal umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas, tapi justru takut pada agamanya sendiri. Tentu ini sungguh ironis,” imbuhnya.


Ketua Gugus Tugas Desk Anti Islamofobia, Ferry Juliantono dalam paparannya menyampaikan bahwa PBB sendiri yang pada 15 Maret 2022 lalu sudah menjadikan “Hari Anti Islamofobia” harusnya menjadi momen bagi pemerintah Indonesia untuk meratifikasi.


“Kami sendiri di Gugus Tugas sudah membuat rancangan RUU Anti Islamofobia yang Insyaallah dalam waktu dekat akan kita sampaikan ke DPR RI untuk bisa menjadi RUU,” paparnya.


Ferry sendiri menilai bahwa UU Anti Islamofobia di Indonesia sangat penting. 


Sebab, sambungnya, Indonesia yang mayoritas beragama Islam harusnya dirangkul, dilindungi untuk menjadi kekuatan dalam membangun NKRI yang sangat luas ini.


“Namun demikian penting kiranya kita khususnya unsur pemerintah dan pihak-pihak yang berkepentinganya menyamakan dulu persepsi apa itu Islamofobia? Sebab jika tidak ada kesamaan persepsi maka semua pihak bisa membuat arti dan makna sendiri-sendiri dan akan sulit menyelesaikan persoalan bangsa akibat dari Islamofobia,” paparnya.


Sekjen Syarikat Islam itupun merekomendasikan agar persoalan-persoalan yang terkait dengan Islamofobia misalnya kriminalisasi ulama dan aktivis Islam harus diselesaikan secara terbuka dan fair. 


Dalam hal ini pihaknya juga akan mencoba melakakukan examinasi public terhadap kasus-kasus tersebut.


“Hal ini penting, sebab jika dibiarkan maka akan menjadi referensi orang atau kelompok lain,” jelasnya.


Akademisi dan Pemerhati Sosial Politik, Hadiyanto A.Rachim, dalam paparannya menyampaikan, secara pribadi dirinya menilai tidak perlu adanya UU Anti Islamofobia khususnya di Indonesia. 


Ia berasalan Indonesia yang penduduknya moyoritas beragama Islam sangat ironis jika ada UU Anti Islamofobia.


“Ini seperti umat Islam yang mayoritas justru malah ikuat arus mainstream. Pasti ini persoalan yang mendasar,” jelasnya.


Namun demikian dirinya sangat setuju dan mendukung jika para pelaku penistaan agama Islam dan pelecehan terhadap ulama serta tindakan diskriminatif terhadap Islam harus mendapat mendapat penanganan hukum secara adil dan transparan. 


Dirinya pun mengajak elemen umat Islam untuk memiliki dan membangun kesadaran kolektif yang sifatnya kolaboratif.


“Kolaboratif tentunya dalam segala bidang, jangan sampai ekonominya jalan sendiri, politiknya jalan sendiri, atau pendidikannya jalan sendiri. Harusnya kolaboratif itu bukan sekedar tataran wacana atau diskusi saja melainkan dalam tataran praktik di lapangan,” ajaknya.


Menurut Ketua Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI) KH. Athian Ali M. Dai, ada sejumlah hal yang harus dilakukan kaum muslimin khususnya di Indonesia untuk menghadapi gerakan Islamofobia.


“Pertama, tidak melayani atau menanggapi apa yang dilakukan orang atau kelompok yang melakukan Islamofobia dimana tanggapan tersebut hanya dilakukan di dunia maya. Tetapi harus dilaporkan secara bersama-sama dan masif sehingga diharapkan aparat penegak hukum pun segera ambil tindakan,” ungkapnya.


Kedua, menurut Kiaa Athian, jangan terbawa arus dengan pengkotak-kotakan Islam versi mereka misalnya istilah Islam moderat, Islam radikal, Islam garis keras hingga Islam intoleran dan sebagainya.


“Yang ketiga adalah mendesak DPR RI untuk merativikasi keputusan PBB dimana 15 Maret sebagai hari Anti Islamofobia untuk keluarnya UU Anti Islamofobia,” ungkapnya. [Democrazy/SI]

Penulis blog